Perempuan
Perkasa untuk Pattani
Oleh : Hesti Handayani
Hukum Ekonomi Syariah ‘14
Desiran
ombak pantai ini memaksa aku harus menjatuhkan air mataku untuk yang kesekian
kalinya, deburannya sangat kuat dengan hembusan angin yang membuat arlogi ku
penuh dengan tumpukan debu halus hasil sulingan dari pasir pantai yang di bawa
lari oleh angin, aku duduk dengan bersangga tangan ku dibelakang, kuselonjorkan
kakiku sambil aku tumpuk dengan sesekali waktu aku letakkan kepala di atas bahu
sebelah kiri disisi lain ucapan Alhamdulillah
yang terus menghujani dalam hati dan sedikit sekali keluar dari mulutku. Aku
sengaja memang ketika diajak muridku untuk pergi ke pantai aku langsung mencari
tempat ternyaman, yaitu tepian pantai. Hamparan luas yang tidak ada ujungnya
seakan membawa aku melihat bahwa di balik sana dan sangat dekat sekali adalah
tanah air, yang di dalam nya ada ibuku yang sangat kurindukan sekali kehangatan
pelukannya yang tidak sedikit pula ia mengatakan “lama sekali kamu di sana
nak, kapan pulang? Ibu sudah rindu”. “Rindu itu berat bu, ibu nggak akan
kuat biar aku saja” sesekali becandaanku dalam telepon sambil menghibur hati
ku sendiri yang sebenarnya di dalam hati itu menangis tapi aku harus kuat,
karena sebuah pengabdian itu tidak enak harus membutuhkan perjuangan yang
sangat ekstra, harus siap hati, siap mental, siap fisik dan harus siap
segalanya dan untuk kali ini aku harus menjadi perempuan perkasa.
Iya,
pengabdian. Melakukan pengabdian di negara lain bagiku sangat berat karena
sudah membawa nama negara yakni mempertahankan Indonesia dari sindiran-sindiran
orang negara sana. Aku harus mempertahankan citra baik nama Indonesia,
seakan-akan aku harus menguasai seluruh wilayah yang ada di Indonesia untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan orang usil yang membuatku gelagapan menjawabnya.
Pernah sekali aku disodorkan sebuah video yang mana video itu mengundang
pertanyaan “ini di indonesia? Kok gini ya”. Mereka juga suka
menceritakan Indonesia yang menggelitik telingaku dan seakan aku ingin pulang
saja. Karena mereka taunya aku orang Indonesia dan pasti tau semuanya. Selain
dari pada itu, aku juga harus mempertahankan citra baik kampusku. Hidup dalam
bagian keluarga besar kampus dakwah dan peradaban inilah yang membuatku harus
banyak lagi belajar lebih dalam tentang agama. Seperti halnya disini, ketika
aku baru datang aku dikenalkan dengan julukan baru yakni Ustadzah Indonesia,
berat sekali bukan. Dalam hal ini aku dituntut harus pandai semuanya, mengajar
ngaji, menjadi imam sholat jamaah, mengajar kitab, pandai berbahasa arab,
pandai berbahasa inggris,dan mencerminkan sikap yang baik layaknya sikap
muslimah dalam kitab. Selain dari pada itu, menjadi angkatan pertama kerjasama
dengan Majelis Agama Islam Pattani aku harus memberikan kesan yang baik dengan
harapan kampus akan terus berkerjasama, melalui program dan hubungan sosial
yang baik aku melakukannya. Disisi lain
aku juga harus pandai memasak untuk makanku, membersihkan kamarku, mencucui
baju dan semua itu aku lakukan sendiri.
Kali
ini aku mengabdi di negeri orang tepatnya di wilayah muslim minoritas di
Pattani, Selatan Thailand dengan budaya, bahasa, dan sosial yang tentunya
sangat berbeda, dalam pengamdianku ini tidak hanya aku mengikut dalam istiadat
yang ada dalam masyarakat saja akan tetapi aku harus menjadi seorang guru,
dimana tugas seorang guru banyak sekali aku harus bisa menjadi tauladan, aku
harus menciptakan hubungan yang baik dengan orang-orang baru disekitarku dan
karena ini wilayah Islam maka aku juga harus menjadi teladan dalam hal
beragama. Selain itu sebagai guru aku memiliki tugas untuk menyampaikan materi
yang tentunya anak didikku akan faham yang imbasnya pada nilai mereka untuk
masa depan. Kedatanganku disini aku ditugaskan untuk menyampaikan materi
tentang bahasa indonesia, dengan bangga dan besar hati aku akan siap
menyampaikan karena itu bahasa milik tanah air yang sangat aku cinta. Dalam
sebuah pengabdian aku dituntut untuk pandai semua, sudah ku bilang bahwa
pegabdian itu tidak mudah kan dan harus bermental baja. Aku disini seakan-akan
menjadi aktor film terkenal, setiap gerak langkahku selalu menjadi sorotan
guru-guru,ustad, murid, dan tentunya murid laki-laki seusiaku. Tidak sedikit
murid laki-laki menggodaku dengan sikap malu-malu ia sambil memanggilku lirih
dengan sebutan kak Indo.
Seperti
halnya pengantin baru, aku harus berbulan madu telebih dahulu. Dua minggu
mungkin cukup untuk menyelesaikan bulan maduku. Setiap kali aku harus ditanya
nama, dimana aku tinggal dan apa tujuannku kesini, ini merupakan salah satu
proses untuk membuatku semakin dekat dengan
calon keluarga baru disini. Malam itu waktu aku sedang mengikuti
pengajian santri dalam asrama tempat ku tinggal, sambil meraba-raba setiap
perkataan yang aku berusaha memahami yang diucapkan ustadz pengajar aku sempat
di tidak enak hatikan dengan sebuah pertanyaan yang mungkin ia kurang memahami
makna kebhinekaan, waktu itu aku ditanya maksud dari nama ku karena kebanyakan
orang yang sudah kutemui mengatakan bahwa namaku ini sangat sulit untuk mereka
ucapkan karena dia bilang namanku tidak ada dalam beberapa deretan nama-nama
dalam al quran dan dalam sejarah Islam, ia mengatakan juga kenapa ayahku tidak
mengambil nama-nama dalam al quran, yang menyakitkan hati ialah ketika aku
ditanya masih dalam rentetan pertanyaan mengenai nama kenapa aku tidak
mengikuti nabi menggunakan nama-nama indah dalam Al-quran “demo umat Nabi
Muhammad rok o ?” kata dia. Dengan santai aku jawab “iya aku umat nabi
Muhammad” aku menjelaskan bahwa di Indonesia multi culture tetapi tetap
damai, apalagi aku tinggal dijawa pasti sangat kental sekali dengan adat jawa
nya akan tetapi ini tidak menutup kemungkinanku untuk tetap beribadah kepada
Allah dan juga tidak ada yang melarang ku untuk tetap menjadi umat Nabi
Muhammad. Setelah kajian selesai aku langsung menuju tempat istirahatku, sambil
aku rebahkan tubuhku aku segera menghubungi ustadz sekaligus dosen hebatku aku
banyak bercerita mengenai kejadian yang baru saja aku alami dan mengatakan aku
harus segera menemui ustadz dan memberikan uraian panjang tentang nama, jawa,
dan islamku.
Setelah
selesai aku menjalani bulan maduku, kini saatnya aku harus segera menularkan
ilmu yang jauh-jauh sudah aku siapkan. Mendengar beberapa cerita dari hasil
audiensi di gedung lantai satu LP2M IAIN Tulungagung beberapa bulan yang lalu dengan
pemateri dari alumni mahasiswa KKN-PPL
Internasional angkatan kedelapan jalur Badan Alumni Internasional mengatakan bahwa sangat menguras tenaga untuk
memberikan sebuah ilmu disini, hal ini membuatku semakin penasaran. Beberapa
hari mengajar aku begitu menikmati dengan memberikan keceriaan, mereka pun ikut
larut dalam metode yang aku gunakan, diawal mengajar memang sulit karena
terkendala oleh bahasa. Aku sempat takut dan ragu, aku khawatir mereka tidak
bisa mendapatkan nilai dari mata pelajaran yang aku berikan karena ini
merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam bidang agama. Iya memang benar
menguras tenanga karena dalam setiap pengajaran harus ada penyampaian materi
dan evaluasi yang mana aku harus memberikan teks soal yang tujuannya untuk
mengukur seberapa besar peserta didik memahami materi yang telah aku berikan,
dalam hal ini yang membuatku merasa tenaga ku tekuras begitu banyak karena
dengan berbagai alasan mereka tidak mengumpulkan tugas evaluasi yang aku
berikan,tidak sedikit mereka beralasan bahwa buku hilang,lupa, dan tidak ada
masa untuk mengerjakan. Untuk mendapatkan satu nilai saja aku sempat
mengahbiskan tiga minggu dalam mata peajaranku dengan durasi satu minggu aku
masuk satu kali dalam kelasnya, aku mengajar melayu dalam kesempatan kali ini.
Perjalanan
pengabdianku kini juga bercengkerama dengan warga sekitar sekolahku, kebaikan
mereka yang selama ini diberikan kepadaku menambah ucapakan syukurku satu kali
lebih banyak dari biasanya. Sekali lagi aku katakan bahwa pengabdian itu tidak
enak dan aku harus tetap menjadi perempuan perkasa, disisi lain kebaikan mereka
aku juga harus waswas dengan keadaan disekitar sini yang hubungannya dengan
bom. Pastinya aku sangat khawatir sekali, pernah suatu hari ada pesan masuk
dalam teleponku bahwa aku harus beserta rombongan mahasiswa dari Indonesia
harus hati-hati karena ketika kami datang kesini situasi dan kondisi agak
sedikit memanas, aku juga mengikuti berita harian dalam media sosialku bahwa di
bebapa tempat did kawasan pattani ada bom dan juga penembakan di tempat yang
biasa aku beli makan disitu. Bukan hanya itu saja, aku sebagai keluarga baru
dalam muslim minoritas di negara ini sekaligus
juga sebagai penganut agama Islam aku tidak senang dengan perlakuan tentara
yang ada disini, selama aku berada did sekolah ini pernah waktu itu empat mobil
tentara mendatangi sekolah yang kurang
lebih lima puluh tentara turun ke sekolah entah aku tidak tahu maksud mereka.
Empat
bulan hidup dalam kehangatan keluarga baru, rasanya berat sekali aku berpisah
dengan mereka. Kebaikan keluarga babo yang selalu memuliakanku, memberi aku
makan setiap pagi, memberiku uang setiap bulan, dan yang selalu memohon maaf
terlebih dahulu kepadaku kalau ia meminta ku untuk mengawasi pelajar asrama
sesekali babo beserta keluarga pergi keluar negri. Kebaikan pelajar asrama yang
senantiasa menemaniku tidur malam karena teman satu kamarku tidak sedang pulang
malam ini, mereka yang selalu mengajakku untuk melakukan perjalanan jauh dengan
maksud memperkenalkanku ke wilayah yang ada di pattani, bahkan mereka sudah
menganggap aku sebagai sahabat, guru, dan kakak nya. Tak lupa juga kebaikan
segenap pengajar sekolah pattana Islam yang selalu mengajarkaku bagaimana
menjadi guru yang baik, mengajakku pergi jamuan, dan yang selalu bilang kalau
aku cepat pandai bahasa taning sehingga mereka suka mengajakku ngobrol walaupun
hanya sekedar bualan yang intinya aku akan dijodohkan dengan orang sini.
Kebaikan-kebaikan inilah yang tidak bisa aku lupakan, dulu aku yang tidak kenal
siapa-siapa sekarang sudah menjadi keluarga bahkan tidak sedikit mereka
mengganggap aku sebagai anak barunya. “Kita
dipertemukan bukan karena bahasa, kita juga tidak dipertemukan karena budaya
akan tetapi kita dipertemukan karena Agama, maka betapa mulianya pertemuan kita
ini. Untuk itu tolong jangan lupakan aku, ingat aku dalam kebaikanku saja
jangan ingat aku dalam keburukannku karna jika kalian mengingat ku dalam
keburukanku maka seperti halnya dengan membersihkan buih di lautan tidak akan
ada habisnya” pesan ini aku sampaikan ketika hari akhir perpisahan di
gedung pertemuan lantai tiga pattana Islam. Aku berterima kasih banyak dan juga
mohon maaf yang tiada tara dengan berat hati aku pamit mengundurkan diri .
Ber-JAYA lah Pattana Islamku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar