Jumat, 09 Maret 2018


Perempuan Perkasa untuk Pattani
Oleh : Hesti Handayani
Hukum Ekonomi Syariah ‘14

Desiran ombak pantai ini memaksa aku harus menjatuhkan air mataku untuk yang kesekian kalinya, deburannya sangat kuat dengan hembusan angin yang membuat arlogi ku penuh dengan tumpukan debu halus hasil sulingan dari pasir pantai yang di bawa lari oleh angin, aku duduk dengan bersangga tangan ku dibelakang, kuselonjorkan kakiku sambil aku tumpuk dengan sesekali waktu aku letakkan kepala di atas bahu sebelah  kiri disisi lain ucapan Alhamdulillah yang terus menghujani dalam hati dan sedikit sekali keluar dari mulutku. Aku sengaja memang ketika diajak muridku untuk pergi ke pantai aku langsung mencari tempat ternyaman, yaitu tepian pantai. Hamparan luas yang tidak ada ujungnya seakan membawa aku melihat bahwa di balik sana dan sangat dekat sekali adalah tanah air, yang di dalam nya ada ibuku yang sangat kurindukan sekali kehangatan pelukannya yang tidak sedikit pula ia mengatakan “lama sekali kamu di sana nak, kapan pulang? Ibu sudah rindu”. “Rindu itu berat bu, ibu nggak akan kuat biar aku saja” sesekali becandaanku dalam telepon sambil menghibur hati ku sendiri yang sebenarnya di dalam hati itu menangis tapi aku harus kuat, karena sebuah pengabdian itu tidak enak harus membutuhkan perjuangan yang sangat ekstra, harus siap hati, siap mental, siap fisik dan harus siap segalanya dan untuk kali ini aku harus menjadi perempuan perkasa.
Iya, pengabdian. Melakukan pengabdian di negara lain bagiku sangat berat karena sudah membawa nama negara yakni mempertahankan Indonesia dari sindiran-sindiran orang negara sana. Aku harus mempertahankan citra baik nama Indonesia, seakan-akan aku harus menguasai seluruh wilayah yang ada di Indonesia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan orang usil yang membuatku gelagapan menjawabnya. Pernah sekali aku disodorkan sebuah video yang mana video itu mengundang pertanyaan “ini di indonesia? Kok gini ya”. Mereka juga suka menceritakan Indonesia yang menggelitik telingaku dan seakan aku ingin pulang saja. Karena mereka taunya aku orang Indonesia dan pasti tau semuanya. Selain dari pada itu, aku juga harus mempertahankan citra baik kampusku. Hidup dalam bagian keluarga besar kampus dakwah dan peradaban inilah yang membuatku harus banyak lagi belajar lebih dalam tentang agama. Seperti halnya disini, ketika aku baru datang aku dikenalkan dengan julukan baru yakni Ustadzah Indonesia, berat sekali bukan. Dalam hal ini aku dituntut harus pandai semuanya, mengajar ngaji, menjadi imam sholat jamaah, mengajar kitab, pandai berbahasa arab, pandai berbahasa inggris,dan mencerminkan sikap yang baik layaknya sikap muslimah dalam kitab. Selain dari pada itu, menjadi angkatan pertama kerjasama dengan Majelis Agama Islam Pattani aku harus memberikan kesan yang baik dengan harapan kampus akan terus berkerjasama, melalui program dan hubungan sosial yang baik aku melakukannya.  Disisi lain aku juga harus pandai memasak untuk makanku, membersihkan kamarku, mencucui baju dan semua itu aku lakukan sendiri.
Kali ini aku mengabdi di negeri orang tepatnya di wilayah muslim minoritas di Pattani, Selatan Thailand dengan budaya, bahasa, dan sosial yang tentunya sangat berbeda, dalam pengamdianku ini tidak hanya aku mengikut dalam istiadat yang ada dalam masyarakat saja akan tetapi aku harus menjadi seorang guru, dimana tugas seorang guru banyak sekali aku harus bisa menjadi tauladan, aku harus menciptakan hubungan yang baik dengan orang-orang baru disekitarku dan karena ini wilayah Islam maka aku juga harus menjadi teladan dalam hal beragama. Selain itu sebagai guru aku memiliki tugas untuk menyampaikan materi yang tentunya anak didikku akan faham yang imbasnya pada nilai mereka untuk masa depan. Kedatanganku disini aku ditugaskan untuk menyampaikan materi tentang bahasa indonesia, dengan bangga dan besar hati aku akan siap menyampaikan karena itu bahasa milik tanah air yang sangat aku cinta. Dalam sebuah pengabdian aku dituntut untuk pandai semua, sudah ku bilang bahwa pegabdian itu tidak mudah kan dan harus bermental baja. Aku disini seakan-akan menjadi aktor film terkenal, setiap gerak langkahku selalu menjadi sorotan guru-guru,ustad, murid, dan tentunya murid laki-laki seusiaku. Tidak sedikit murid laki-laki menggodaku dengan sikap malu-malu ia sambil memanggilku lirih dengan sebutan kak Indo.
Seperti halnya pengantin baru, aku harus berbulan madu telebih dahulu. Dua minggu mungkin cukup untuk menyelesaikan bulan maduku. Setiap kali aku harus ditanya nama, dimana aku tinggal dan apa tujuannku kesini, ini merupakan salah satu proses untuk membuatku semakin dekat dengan  calon keluarga baru disini. Malam itu waktu aku sedang mengikuti pengajian santri dalam asrama tempat ku tinggal, sambil meraba-raba setiap perkataan yang aku berusaha memahami yang diucapkan ustadz pengajar aku sempat di tidak enak hatikan dengan sebuah pertanyaan yang mungkin ia kurang memahami makna kebhinekaan, waktu itu aku ditanya maksud dari nama ku karena kebanyakan orang yang sudah kutemui mengatakan bahwa namaku ini sangat sulit untuk mereka ucapkan karena dia bilang namanku tidak ada dalam beberapa deretan nama-nama dalam al quran dan dalam sejarah Islam, ia mengatakan juga kenapa ayahku tidak mengambil nama-nama dalam al quran, yang menyakitkan hati ialah ketika aku ditanya masih dalam rentetan pertanyaan mengenai nama kenapa aku tidak mengikuti nabi menggunakan nama-nama indah dalam Al-quran “demo umat Nabi Muhammad rok o ?” kata dia. Dengan santai aku jawab “iya aku umat nabi Muhammad” aku menjelaskan bahwa di Indonesia multi culture tetapi tetap damai, apalagi aku tinggal dijawa pasti sangat kental sekali dengan adat jawa nya akan tetapi ini tidak menutup kemungkinanku untuk tetap beribadah kepada Allah dan juga tidak ada yang melarang ku untuk tetap menjadi umat Nabi Muhammad. Setelah kajian selesai aku langsung menuju tempat istirahatku, sambil aku rebahkan tubuhku aku segera menghubungi ustadz sekaligus dosen hebatku aku banyak bercerita mengenai kejadian yang baru saja aku alami dan mengatakan aku harus segera menemui ustadz dan memberikan uraian panjang tentang nama, jawa, dan islamku.
Setelah selesai aku menjalani bulan maduku, kini saatnya aku harus segera menularkan ilmu yang jauh-jauh sudah aku siapkan. Mendengar beberapa cerita dari hasil audiensi di gedung lantai satu LP2M IAIN Tulungagung beberapa bulan yang lalu dengan pemateri  dari alumni mahasiswa KKN-PPL Internasional angkatan kedelapan jalur Badan Alumni Internasional  mengatakan bahwa sangat menguras tenaga untuk memberikan sebuah ilmu disini, hal ini membuatku semakin penasaran. Beberapa hari mengajar aku begitu menikmati dengan memberikan keceriaan, mereka pun ikut larut dalam metode yang aku gunakan, diawal mengajar memang sulit karena terkendala oleh bahasa. Aku sempat takut dan ragu, aku khawatir mereka tidak bisa mendapatkan nilai dari mata pelajaran yang aku berikan karena ini merupakan salah satu mata pelajaran pokok dalam bidang agama. Iya memang benar menguras tenanga karena dalam setiap pengajaran harus ada penyampaian materi dan evaluasi yang mana aku harus memberikan teks soal yang tujuannya untuk mengukur seberapa besar peserta didik memahami materi yang telah aku berikan, dalam hal ini yang membuatku merasa tenaga ku tekuras begitu banyak karena dengan berbagai alasan mereka tidak mengumpulkan tugas evaluasi yang aku berikan,tidak sedikit mereka beralasan bahwa buku hilang,lupa, dan tidak ada masa untuk mengerjakan. Untuk mendapatkan satu nilai saja aku sempat mengahbiskan tiga minggu dalam mata peajaranku dengan durasi satu minggu aku masuk satu kali dalam kelasnya, aku mengajar melayu dalam kesempatan kali ini.
Perjalanan pengabdianku kini juga bercengkerama dengan warga sekitar sekolahku, kebaikan mereka yang selama ini diberikan kepadaku menambah ucapakan syukurku satu kali lebih banyak dari biasanya. Sekali lagi aku katakan bahwa pengabdian itu tidak enak dan aku harus tetap menjadi perempuan perkasa, disisi lain kebaikan mereka aku juga harus waswas dengan keadaan disekitar sini yang hubungannya dengan bom. Pastinya aku sangat khawatir sekali, pernah suatu hari ada pesan masuk dalam teleponku bahwa aku harus beserta rombongan mahasiswa dari Indonesia harus hati-hati karena ketika kami datang kesini situasi dan kondisi agak sedikit memanas, aku juga mengikuti berita harian dalam media sosialku bahwa di bebapa tempat did kawasan pattani ada bom dan juga penembakan di tempat yang biasa aku beli makan disitu. Bukan hanya itu saja, aku sebagai keluarga baru dalam muslim minoritas di negara ini  sekaligus juga sebagai penganut agama Islam aku tidak senang dengan perlakuan tentara yang ada disini, selama aku berada did sekolah ini pernah waktu itu empat mobil tentara mendatangi sekolah  yang kurang lebih lima puluh tentara turun ke sekolah entah aku tidak tahu maksud mereka.
Empat bulan hidup dalam kehangatan keluarga baru, rasanya berat sekali aku berpisah dengan mereka. Kebaikan keluarga babo yang selalu memuliakanku, memberi aku makan setiap pagi, memberiku uang setiap bulan, dan yang selalu memohon maaf terlebih dahulu kepadaku kalau ia meminta ku untuk mengawasi pelajar asrama sesekali babo beserta keluarga pergi keluar negri. Kebaikan pelajar asrama yang senantiasa menemaniku tidur malam karena teman satu kamarku tidak sedang pulang malam ini, mereka yang selalu mengajakku untuk melakukan perjalanan jauh dengan maksud memperkenalkanku ke wilayah yang ada di pattani, bahkan mereka sudah menganggap aku sebagai sahabat, guru, dan kakak nya. Tak lupa juga kebaikan segenap pengajar sekolah pattana Islam yang selalu mengajarkaku bagaimana menjadi guru yang baik, mengajakku pergi jamuan, dan yang selalu bilang kalau aku cepat pandai bahasa taning sehingga mereka suka mengajakku ngobrol walaupun hanya sekedar bualan yang intinya aku akan dijodohkan dengan orang sini. Kebaikan-kebaikan inilah yang tidak bisa aku lupakan, dulu aku yang tidak kenal siapa-siapa sekarang sudah menjadi keluarga bahkan tidak sedikit mereka mengganggap aku sebagai anak barunya.  Kita dipertemukan bukan karena bahasa, kita juga tidak dipertemukan karena budaya akan tetapi kita dipertemukan karena Agama, maka betapa mulianya pertemuan kita ini. Untuk itu tolong jangan lupakan aku, ingat aku dalam kebaikanku saja jangan ingat aku dalam keburukannku karna jika kalian mengingat ku dalam keburukanku maka seperti halnya dengan membersihkan buih di lautan tidak akan ada habisnya” pesan ini aku sampaikan ketika hari akhir perpisahan di gedung pertemuan lantai tiga pattana Islam. Aku berterima kasih banyak dan juga mohon maaf yang tiada tara dengan berat hati aku pamit mengundurkan diri . Ber-JAYA lah Pattana Islamku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar