Minggu, 22 November 2015

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam~Abu Ubaid dan Yahya bin Umar

MAKALAH
“PEMIKIRAN EKONOMI ABU UBAID (150-224H)
 dan YAHYA BIN UMAR(213-289 H)”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM

Dosen Pembimbing :

Reni Dwi Puspitasari, M. Sy

Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: logo


Disusun Oleh :
Kelompok  9
Hesti Handayani
Lina Indah Yunaini



FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN TULUNGAGUNG 2015
DAFTAR ISI

Cover.................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................ 1
C. Tujuan.............................................................................................. 2
Bab II Pembahasan
1. Pemikiran Abu Ubaid....................................................................... 3
A. Riwayat Hidup....................................................................... 3
B. Latar belakang kehidupan...................................................... 3
C. Isi, Format, dan Metodologi al-Amwal.................................. 4
D. Pandangan Ekonomi.............................................................. 6
2. Pemikiran Yahya bin Umar
A. Riwayat Hidup....................................................................... 10
B. Kitab Ahkam Al-Suq.............................................................. 11
C. Pemikiran Ekonomi................................................................ 12
D. Wawasan Teori Modern......................................................... 13
Bab III Penutup
Kesimpulan........................................................................................... 15
Saran..................................................................................................... 16
Daftar Pustaka...................................................................................... 18


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pemikiran Ekonomi Islam muncul sejak zaman Rasulullah Saw, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan kehidupan bermasyarakat, setelah itu digantikan oleh penerusnya yaitu khaulafaurasyidin serta khalifah lainnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam terbentuk secara berkala dan berdasarkan paradigma Islam. Para cendekiawan muslim telah memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Islam.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena, sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan berbagai gagasan ekonominya dengan sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Pemikir ekonomi islam dibagi dalam dua masa, yakni masa pemikir ekonomi klasik dan juga masa pemikir ekonomi kontemporer. Dalam makalah ini akan dipaparkan pemikir ekonomi pada masa klasik dengan tokoh Abu Ubaid (150-224 H) dan juga Yahya Bin Umar (213-289 H).
  1. Rumusan masalah
1.      Bagaimana Biografi beserta Sejarah Pemikiran ekonomi Islam menurut Abu Ubaid?
2.      Bagaimana Biografi beserta Sejarah Pemikiran ekonomi Islam menurut Yahya bin Umar?


C.    Tujuan
1.      Mengetahui biografi Abu Ubaid beserta pandangan ekonomi nya.
2.      Mengetahui biografi Yahya bin Umar beserta pandangan ekonominya.



























BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)
A.    Riwayat Hidup
Abu Ubaid bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bi Zaid Al-Harawi Al Azadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad. Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, sepeti Kufah, Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata bahasa arab, qira’at, tafsir, hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nasr ibn Malik, gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah harun Ar-Rashid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 2110 H. Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai wafatnya. ia meninggal pada tahun 224 H.
B.     Latar Belakang Kehidupan dan Corak pemikiran
Abu Ubaid merupakan muhaddits dan fuqaha terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi di Tarsus, Ia sering menangani berbagai kasus tanah pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
Berbeda halnya dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem pemerintahan serta penanggulangannya. Namun demikian, kitab al-Amwal dapat dikatakan lebih kaya daripada kitab al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis dan pendapat para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Dalam hal ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang berkaitan degan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada teknik efisiensi pengelolannya. Sebagai contoh, Abu Ubaid lebih tertarik membahas masalah keadilan redistributif dari sisi “apa” daripada “bagaimana”.
Filosofi yang dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan sosial, politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islam yang berakar pada pendekatannya yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia di dunia dan akhirat baik yang bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal itu, Abu Ubaid menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan Al-qur’an dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya. Abu Ubaid sering mengutip pandangan Malik ibn Anas salah seorang guru dari As-Syafi’i.
C.     Isi, Format dan Metodologi Kitab al-Amwal
Secara literal al-Amwal (tunggal, mal) berarti kekayaan atau keuangan. Dari catatan sejarah kita melihat sekurang-kurangnya enam buku telah disusun dengan judul al-Amwal. Dari enam buku ini, hanya tiga yang telah dipublikasikan hingga saat ini. Kitab al-Amwal merupakan karya yang sangat sistematis dan komprehensif tentang masalah keuangan publik. Abu Uabid mendasarkan bukunya pada ayat-ayat Al-qur’an, sunnah Nabi, praktik para khalifah yang salih dan menyelidiki berbagai penafsiran. Buku ini merupakan kumpulan pendapat tentang masalah keuangan dan pengelolaan keuangan negara dalam konteks historis dan fiqih. Dalam buku ini juga memaparkan 2000 ucapan tentang masalah-masalah keuangan.[1] Kitab al-Amwal dibagi menjadi beberapa bagian dan bab. Pada bab pendahuluan, Abu Ubaid membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya. Pada bab selanjutnya kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Al-qur’an dan sunnah. Dalam bab ini Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah seperti fa’i, bagian khums dan safi, serta pengalokasiannya di masa Rasulullah maupun setelahnya. Pada bagian-bagian berikutnya ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam kitab ini tentang 3 sumber utama penerimaan negara, yakni : fa’i, khums dan sodaqoh.
Tiga bagian pertama dari kitab al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fa’i. Walaupun menurut Abu Ubaid fa’i mencakup pendapatan negara yang berasal dari jizyah, kharaj dan usr, tetapi usr dibahas dalam bab sedekah. Sebaliknya ghanimah dan fidyah yang tidak termasuk dalam definisi tersebut dibahas bersama dengan fa’i.
Pada bagian keempat berisi pembahahasan tentang pertanahan, administrasi, hukum internasional dan hukum perang. Pada bagian kelima membahas tentang distribusi fa’i dan pada bagian keenam membahas tentang iqta’, ihya al-mawat dan hima dua bagian terakhir ini masing-masing didedikasikan untuk membahas khums dan sedekah.
Dari hasil penelaahan tersebut, tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance). Sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas tentang administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isu mengenai perpajakan dan hukum pertanahan serta hukum administrasi dan hukum internasional. Pada masa Abu Ubaid pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga merupakan sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan sasarannya pada legitimasi sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil.
Abu Ubaid dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam melakukan istimbath hukum dari Al-qur’an dan hadis, sehingga dapat menghasilkan suatu karya yang sistematis tentang kaidah-kaidah keuangan (financial maxims), terutama yang berkaitan dengan perpajakan. Dalam mengkaji sebuah permasalahan yang memerlukan ketentuan hukum, Abu Ubaid selalu mempertimbangkan maqasid syariah dengan menempatkan manfaat bagi publik (al-maslahah al ammah) sebagai penentu akhir.

D.    Pandangan Ekonomi Abu Ubaid
1.                Filosofi Hukum dari Segi Ekonomi
Di dalam kitab al-Amwal tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Bagi Abu Ubaid pengimplementasian prinsip-prinsip ekonomi ini akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya Abu Ubaid memiliki pendekatan yang imbang terhadap hak-hak individu, publik dan negara. Jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik maka akan berpihak pada kepentingan publik.
Abu Ubaid menyusun suatu ihtisar tentang keuangan publik yang bisa dibandingkan dengan kitab Al-kharaj Abu Yusuf. Namun, sejauh ini karyanya kurang menarik para ahli ekonomi. Kitab Al-Amwal sangat kaya dengan sejarah materi ilmu hukum.
Tulisan-tulisan yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah menitik beratkan pada berbagai persoalan yang berkaitan hak khalifah dalam mengambil kebijakan dalam memutuskan perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kaum muslimin. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat diberikan pada negara atau langsung pada penerimanya, sedangkan zakat komoditas harus diberikan pada pemerintah jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.
Untuk pembagian tanah taklukan diserahkan pada pemerintah, lebih jauhnya setelah mengungkapkan alokasi khums ia menyatakan bahwa penguasa yang adil dapat memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik sangat mendesak.
Abu Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaat penguasa untuk kepentingan pribadi. Ketika membahas tarif pada kharaj dan jizyah, ia menyinggung tentang keseimbangan anatara kekuatan finansial non muslim dengan kepentingan muslim yang berhak menerimanya. Kaum muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non muslim melebihi dari apa yang telah diperbolehkan. Abu Ubaid juga menayatakan bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi ketidakmampuan membayar. Abu Ubaid menekankan kepada disatu sisi pada pengumpulan jisyah, usr dan zakat untuk tidak menyiksa masyarakatnya dan agar masyarakatnya dapat memenuhi kewajiban finansial secara teratur dan sepantasnya. Dengan kata lain Abu Ubaid menghentikan terjadinya diskriminasi atau favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta upaya penghindaran pajak (tax evasion).
2.                     Dikotomi Badui-Urban
Pembahasan mengenai Badui-Urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fa’i. Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum Badui kaum Urban :
a.    Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan kewajiban administatif dari semua kaum muslimin.
b.    Memelihara kekuatan dan pertahanan sipil melalui mobilitas jiwa dan harta mereka.
c.    Menggalakkan pendidikan melaui proses belajar mengajar Al-qur’an dan sunnah serta penyebaran keunggulannya.
d.   Memberikan konstribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan hudud.
e.    Memberikan contoh universalisme dengan solat berjamaah.
Disamping keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan, pendidikan, hukum dan kasih sayang. Karakteristik diatas hanya diberikan oleh Allah SWT kepada kaum Urban. Kaum Badui yang tidak memberikan konstribusi sebesar kaum Urban tidak bisa memperoleh manfaat pendapatan fa’i sebanyak kaum Urban. dalam hal ini kaum Badui tidak berhak mendapat tunjangan dari negara. Mereka memilik hak klaim terhadap penrimaan fa’i hanya pada saat terjadi 3 kondisi kritis, yakni ketika terjadi inflasi musuh, kemarau panjang dan kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas cakupan kaum Badui dengan memasukkan golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Abu Ubaid memberikan pada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa terhadap tunjangan yang berasal dari pendapatan fa’i, lebih lanjutnya Abu Ubaid mengakui hak dari pada budak perkotaan terhadap arzaq (jatah), yang bukan untuk tunjangan. Dari semua ini terlihat bahwa Abu Ubaid membedakan antara gaya hidup kaum Badui dengan kaum Urban, dan membangun fondasi masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum Urban, solidaritas serta kerja sama berdasarkan komitmen dan kohesi, vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial dari stabilitas sosio-politik dan makro ekonomi. Mekanisme yang disebut diatas, membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden.
3.                Kepemilikan dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Mengakui hak seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari barang-barang produksi, dan dalam waktu yang bersamaan mengakui juga kepemilikan umum yang memadukan kemaslahatan individu dan kemaslahatan umum.[2] Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintah, seperti iqta (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan selama 3 tahun berturut-turut, akan didenda kemudian akan dialihkan kepada penguasa.
Tanah gurun yang termasuk dalam hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati orang lain dengan proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut ditanami setelah diberi pengairan. Jika tandus, menjadi kering atau rawa-rawa, apabila tidak diberdayakan atau tidak ditanami selama 3 tahun berturut-turut, hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki sedangkan yang lainnya menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati oleh orang lain.
Dalam pandangan Abu Ubaid sumber daya publik seperti air, padang rumut dan api tidak boleh dimonopoli seperti hima. Seluruh sumber daya ini hanya bisa dimasukkan dalam kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
4.    Pertimbangan Kebutuhan
Abu Ubaid sangat menentang tentang pembagian harta zakat yang harus dilakukan secara merata antara 8 asnaf dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi terhadap bagian seseorang. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan dasar, seberapa pun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Namun pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki harta 40 dirham atau yang setara, di samping pakaian, rumah dan pelayan yang dianggapnya sebagai kebutuhan standart minimun. Abu Ubaid menganggap sesorang yang memiliki 200 dirham dianggap sebagai orang kaya sehingga mengenakan kewajiban zakat pada orang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan Abu Ubaid ini mengindikasikan adanya 3 kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status zakat yaitu :
a.    Kalangan kaya yang terkena wajib zakat.
b.    Kalangan menegah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.    Kalangan penerima zakat.
Berkaitan dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip “Bahwa bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”. Ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat yang diberikan pada pengumpulnya (amil), pada prinsipnya ia lebih cenderung pada prinsip “Bagi setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5.                Fungsi Uang
Umat islam telah akrab dengan mata uang yang disebut dinar dan dirham. Dinar dan dirham yang digunakan orang arab waktu itu tidak didasarkan pada nilainya, melainkan menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut dianggap sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dinar dan dirham yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan akibat peredaran. Nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka waktu yang panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada saat itu perbandingan emas dan perak 1:7. Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirhah berfluktuasi kadang-kadang malah menghilang, sedangkkan yang beredar luas adalah fullus[3].
Menurut Al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah klasik dapat dikatakan bahwa uang tidak mempunyai kegunaan langsung (direct utiliti funcion). Hanya, bila uang itu digunakan untuk membeli barang-barang itu akan memberi kegunaan[4].
Abu Ubaid mengakui adanya 2 fungsi uang yakni : sebagai standart nilai pertukaran dan media pertukaran. Disamping itu sekalipun tidak menyebutkan secara jelas Abu Ubaid secara implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan nilai ketika membahas jumlah tabungan minimum yang wajib terkena pajak. Salah satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang bisa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau benda. Takaran dan timbangan menurut Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal adalah 1 sha’= 4 mud dan 1 mud =1 1/3 rithl Baghdad. maka 1 sha’= 5 1/3 rithl.[5]

2.    Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar (213-289 H)
A.      Riwayat Hidup
Yahya bin Umar yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Qanani Al-Andalusia lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Cordova, Spanyol. Ia berkelana ke berbagai negara untuk menuntut ilmu yang pertama ia singgap di Mesir dan berguru pada pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibnu Al-Qasim, seperti Ibnu Al-Kirwan Ramh dan Abu Al-Dzahir bin Al-Sarh. Setelah itu dia pindah ke Hijaz dan berguru kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri dan akhirnya Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika dan menyempurnkan pendidikan pada seorang ahli faraid dan hisab, Abu Zakariya Yahya bin sulaiman al farisi. Dalam perkembangan selanjutnya dia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Setelah Ibnu Abdun turun pada jabatannya Yahya bin Umar ditawari oleh Ahmad al-Aghlabi untuk menjabat menjadi qadi akan tetapi ia menolak dan memilih tetap menjadi pengajar hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.
B.     Kitab Ahkam Al-Suq
Merupakan kitab pertama di dunia islam yang membahas tentang hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya. Pada saat itu kota Qairuwan telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak 155 H dan para penguasanya mulai dari masa Yazid bin Hatim Al-muhibli hingga sebelum masa Ja’far Al-Mansyur sangat memperhatikan intsitusi pasar. Pada tahun 234 H, Kanun penguasa peradilan kota tersebut mengangkat hakim yang khusus menangani masalah pasar. Dengan demikian masa Yahya bin Umar kota Qoiruwan telah memiliki 2 keistimewaan yaitu :
a.    Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan peraturan yang memadai dari para penguasa.
b.    Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani masalah pasar.
Tentang kitab Ahkam al-Suq Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh 2 persoalan yaitu : pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran timbangan dalam satu wilayah, kedua, hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.
C.     Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian islam sekaligus faktor utama yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Disamping Al-qur’an setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan mengikuti perintah Rasulullah dan setiap melakukan ekonomi. Fokus pemikiran Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Menurut Yahya bin Umar menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam transaksi dan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal ini Yahya bin Umar bahwa penetapan harga tidak boleh dilakukan. Yahya bin Umar melarang penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dalam hal demikian pemerintah tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi harga. Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga karena ulah manusia (human error). Pemerintah hanya berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan masyarakat luas. Yahya bin Umar menyatakan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi kecuali dalam 2 hal, yaitu :
1.    Para pedagang tidak memperdagangkan barang tertentu yang sangat dibutuhkan masyarakat dan dapat menimbulkan kemudharatan sehingga dapat merusak mekanisme pasar. Dalam hal ini pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang dari pasar dan mengganti dengan yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2.    Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq (dumping) yang dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan dapat mengahancurkan ekonomi pasar. Dalam hal ini pemerintah berhak memerintahkan pedagang untuk menaikkan kembali harga yang sesuai harga yang berlaku dipasar, apabila mereka menolak pemerintah berhak mengusir pedagang tersebut.
Peryataan Yahya bin Umar jelas mengintimidasi bahwa hukum intervensi pemerintah adalah haram. Pendapatnya yang melarang praktek tas’ir menunjukkan bahwa Yahya bin Umar mendukung kebebasan ekonomi dan juga kebebasan kepemilikan. Kebebasan ekonomi tersebut bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar yakni kekuatan penawaran dan permintaan. Namun Yahya bin Umar menambahkan bahwa mekanisme harga harus tunduk pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah tersebut pemerintah berhak untuk melakukan intervensi jika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar, misal ihtikar dan dumping.
Menurut Dr. Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang adanya dumping bukan dimaksudkan harga-harga menjadi murah akan tetapi untuk mencegah dampak negatifnya untuk mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
D.    Wawasan Modern Teori Yahya bin Umar
Tema utama yang diangkat pada kitab Al-Suq mengenai hukum pasar, pada dasarnya konsep Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan ihtikar dan siyasah al-ighrq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer kedua hal tersebut dikenal dengan istilah monopoloy’s rent-seeking dan dumping.
1.    Ihtikar (monopoloy’s rent-seeking)
Islam secara tegas melarang ihtikar yakni mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Dalam hal ini Rasulullah menyatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan orang berdosa. Di zaman Rasulullah Saw, salah satu cara melakukan ihtikar adalah dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih spesifik mazhab Syafii dan Hanbali mendifinisikan ihtikar sebagai :
“Menimbun barang yang telah dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya.”[6]
Abu Dzar Al-ghifari menyatakan bahwa hukum ihtikar tetap haram meskipun zakat barang-barang tersebut telah ditunaikan. Para ulama sepakat illat pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi umat manuisa, ihtikar tidak hanya merusak mekanisme pasar tapi juga akan menghentikan keuntungan serta menghambat proses distribusi kekayaan. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas ekonomi akan dikatakan sebagai ihtikar jika memenuhi 2 syarat yaitu : pertama, objek penimpunan merupakan barang-barang kebutukan masyarakat; kedua, tujuan penimbunan adalah untuk mengambil keuntungan diatas keuntungan normal. Islam tidak melarang seseorang melakukan aktivitas bisnis baik dalam kondisi satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada penjual lain, Islam juga tidak melarang seseorang menyimpan barang untuk stok persediaan. Dalam pasar monopoli produsen sebagai penentu harga (price maker) sedangkan dalam pasar bersaing sempurna produsen hanya mengikuti harga pasar (price taker).
2.    Siyasah Al-Ighrq (Dumping policy)
Berbanding terbalik dengan ihtikar dumping bertujuan untuk meraih keuntungan dengan cara menjual barang dengan harga rendah dari pada harga yang berlaku di pasar. Dalam suatu pasar bersaing tidak sempurna, dalam suatu perusahaan terkadang melakukan kebijakan pengenaan harga yang berbeda untuk produk yang sama di setiap pasar yang berlainan. Secara umum praktik pengenaan harga yang berbeda terhadap pembeli disebut diskrminasi harga. Dalam perdagangan internasional diskriminasi harga yang dilakukan adalah dumping. Dumping merupakan kebijakan perdagangan yang kontroversial dan secara luas dikenal dengan praktik yang tidak fair.
Dalam praktinya dumping dipandang sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang lebih menguntungkan oleh sebuah perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu : pertama, industri tersebut bersifat kompetitif tidak sempurna sehingga perusahaan dapat bertindak sebagai price maker bukan sebagai price taker; kedua, pasar harus tersekmentasi, sehingga penduduk didalam negeri tidak mudah dalam membeli barang-barang yang harus diekspor.
Dumping Resiprokal
Analisis dumping tersebut memberi kesan bahwa diskriminasi harga akan dapat meningkatkan perdagangan luar negeri. Namun bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Contohnya sebuah pabrik semen di Negara A melakukan ekspor ke Negara B, dan sebaliknya, pabrik semen di Negara B melakukan ekspor ke Negara A. Walaupun terlihat ekstrim dan pada kenyataannya jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan bahwa dumping resiprokal tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan merupakan perbuatan yang sia-sia[7].


BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan Islam pada masa-masa awal menuju kejayaannya, ternyata bukan hanya berupa perkebangan politik dan militer saja melainkan perkembangan ekonomi juga memainkan peranan yang penting dalam menopang peradaban Islam. Perkembangan ekonomi Islam ini bersumber dari pemikiran serta kebijakan para tokoh dan ulama Islam yang dimulai dari generasi Rasul dan para sahabat dan kemudian para tabi’in dan tabiut tabi’in hingga kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah dan Utsmani.
Para pemikir ekonomi Islam di masa klasik memberikan sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi perkembangan Islam di masanya dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Di abad pertama hijriah, terdapat tokoh pemikir Islam diantaranya Imam Abu Hanifa, Al-Awza’i dan Imam Malik. Kemudian di abad kedua hijriah muncul tokoh seperti Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Shabani, dan Imam Syafi’i. Sedangkan di abad ketiga terdapat tokoh seperti Yahya bin Adam Al Qarashi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Imam Ahmad dan Yahya bin Umar serta Junaidi Al-Baghdadi serta Al-Mawardi di abad selanjutnya.
Abu Ubaid dalam pemikirannya Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddist) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Pemikiran-pemikiran beliau dalam ekonomi ialah dapat dilihat dari karyanya yaitu dalam kitab Al-Amwal yang menetapkan revitalisasi sistem perkonomian berdasarkan Alquran dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan institutnya.
Abu Ubaid secara singkat membahas hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, dengan studi khusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Secara umum pada masa hidupnya Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga marupakan sumber utama pendapatan negara.
Beberapa pandangan ekonomi Abu Ubaid ialah dalam hal, a) Filosofi Hukum dan Sisi Ekonomi, b) Diktomi Badui – Urban, c) Kepemilikan dalam konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian, d) Pertimbangan Kebutuhan, dan e) Fungsi Uang.
Yahya bin Umar merupakan salah seorang faquha mazhab Maliki. Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya bin umar juga banyak menghasilkan karya tulishingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai karyanya yang terkenal adalah al-Muntakhabah fi ikhtishar al-Mustakhirijah fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab Ahkam al-Suq
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan begian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim kepada Allah Swt. Berkaitan dengan hal ini,Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir (penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad Saw. Jika kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak jelas bahwa Yahya ibn Umar melarang kebijakan penetapan harga jika kenaikan harga yang terjadi adalah samata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami.
Tema utama yang diangkat dalam kitabnya Al-Amwal Al-Suq pada dasarnya konsep terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah al-ighraq.

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini kami berharap para pembaca lebih mengetahui dan memahami bagaimana ekonomi islam yang benar dan setelah kita mengetahui alangkah baiknya mengimplementasikan ekonomi islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kondisi saat ini semakin banyak praktek-praktek seperti halnya dumping dan juga ihtikar. Selain itu dalam mekanisme pasar yang hanya didominasi oleh orang-orang tertentu seperti halnya indonesia yang telah didominasi oleh cina.
Deskripsi singkat dan sederhana ini agar sempurna dan sesuai harapan, mohon semua pihak kiranya mengkritisi sekaligus mengkoreksi selengkapnya demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya, terima kasih atas segala partisipasi semua pihak, mudah-mudahan bermanfaat untuk semuanya.


  

DAFTAR PUSTAKA
Azmi, Sabahuddin. 2005. Menimbang Ekonomi Islam Keuangan Publik dalam pemikiran Islam Amwal. Cet I. Bandung : Penerbit Nuansa.
Azwar Karim, Adiwarman. 2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Ed III. Cet 6. Jakarta : PT. Pustaka Pelajar.
Azwar Karim, Adiwarman. 2008. Ekonomi Mikro Islam. Ed. III. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Azwar Karim, Adiwarman. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Cet. II. Jakarta : Rajawali Pers.
Izzan, Ahmad dan Syahri Tanjung. 2006. Referensi Ekonomi Syariah Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi. Cet. I. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mujahidin, Akhmad. 2007. Ekonomi Islam. Ed. I. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sudarsono, Heri. 2007. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Ed.I. Cet. V. Yogyakarta :  Ekonisia.
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Cet. I. Yogyakarta : Graha Ilmu.
           
Hermawan, Dodik . 2015. pemikiran Abu Ubaid dan Yahya bin Umar. 2015 dalam www.PERPUSTAKAAN MINI_ MAKALAH-PEMIKIRAN-EKONOMI-ABU-UBAID-DAN-YAHYA-BIN-UMAR.htm, diakses tanggal 18 November 2015, pukul 12.34 Wib




[1] Sabahudin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam Keuangan Publik dalam pemikiran Islam Amwal, cet. 1, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 50.
[2] Ahmad Izzan, Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi, cet. 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 54.
[3] Eko suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Ed. 1, Cet. 1,  (Yogyakarta: Graha Ilmu,2005) hal. 197-201.
[4] Ahmad Mujahiddin, “Ekonomi Islam, dalam Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, hal 53)
[5] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 5, (Yogyakarta: Ekonisia, 2007), hlm. 76.
[6] Adiwarman Karim, “Ekonomi Mikro Islam, dalam Al-Malibari, Fathul Mu’in Syarh Qurrah al Ain bi Muhimmatid Din, III, hlm.24; Ibn Qudama, Asy Syhrul Kabir, IV, hlm. 47.)
[7] Dodik Hermawan, pemikiran Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.2015 dalam www.PERPUSTAKAAN MINI_ MAKALAH-PEMIKIRAN-EKONOMI-ABU-UBAID-DAN-YAHYA-BIN-UMAR.htm, diakses tanggal 18 November 2015, pukul 12.34 Wib