MAKALAH
“PEMIKIRAN
EKONOMI ABU UBAID (150-224H)
dan YAHYA BIN UMAR(213-289 H)”
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah “SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM”
Dosen
Pembimbing :
Reni
Dwi Puspitasari, M. Sy
Disusun
Oleh :
Kelompok 9
Hesti
Handayani
Lina
Indah Yunaini
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM
NEGERI
IAIN
TULUNGAGUNG 2015
DAFTAR
ISI
Cover.................................................................................................... i
Daftar
Isi............................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
A.
Latar Belakang................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................ 1
C.
Tujuan.............................................................................................. 2
Bab II Pembahasan
1.
Pemikiran Abu Ubaid....................................................................... 3
A.
Riwayat Hidup....................................................................... 3
B.
Latar belakang kehidupan...................................................... 3
C.
Isi, Format, dan Metodologi al-Amwal.................................. 4
D.
Pandangan Ekonomi.............................................................. 6
2.
Pemikiran Yahya bin Umar
A.
Riwayat Hidup....................................................................... 10
B.
Kitab Ahkam Al-Suq.............................................................. 11
C.
Pemikiran Ekonomi................................................................ 12
D.
Wawasan Teori Modern......................................................... 13
Bab III Penutup
Kesimpulan........................................................................................... 15
Saran..................................................................................................... 16
Daftar
Pustaka...................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran Ekonomi Islam muncul sejak
zaman Rasulullah Saw, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai
dengan kehidupan bermasyarakat, setelah itu digantikan oleh penerusnya yaitu khaulafaurasyidin
serta khalifah lainnya dalam menata ekonomi negara. Sistem ekonomi Islam
terbentuk secara berkala dan berdasarkan paradigma Islam. Para cendekiawan
muslim telah memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi Islam.
Permasalahannya adalah bagaimana ditemukan
kembali jejak-jejak pemikiran munculnya konsep ekonomi Islam secara teoritis
dalam bentuk rumusan yang mampu diaplikasikan sebagai pedoman tindakan yang
berujung pada rambu halal-haram atau berprinsip syariat Islam. Kelangkaan
tentang kajian pemikiran ekonomi dalam Islam sangat tidak menguntungkan karena,
sepanjang sejarah Islam para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan
berbagai gagasan ekonominya dengan sedemikian rupa, sehingga terkondisikan mereka
dianggap sebagai para pencetus ekonomi Islam sesungguhnya.
Pemikir ekonomi islam dibagi dalam dua
masa, yakni masa pemikir ekonomi klasik dan juga masa pemikir ekonomi
kontemporer. Dalam makalah ini akan dipaparkan pemikir ekonomi pada masa klasik
dengan tokoh Abu Ubaid (150-224 H) dan juga Yahya Bin Umar (213-289 H).
- Rumusan
masalah
1.
Bagaimana Biografi beserta
Sejarah Pemikiran ekonomi Islam menurut Abu Ubaid?
2.
Bagaimana Biografi beserta
Sejarah Pemikiran ekonomi Islam menurut Yahya bin Umar?
C. Tujuan
1. Mengetahui
biografi Abu Ubaid beserta pandangan ekonomi nya.
2. Mengetahui
biografi Yahya bin Umar beserta pandangan ekonominya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid (150-224 H)
A. Riwayat
Hidup
Abu Ubaid
bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bi Zaid Al-Harawi Al Azadi
Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat
laut Afghanistan. Ayahnya keturunan Byzantium yang menjadi maula suku Azad.
Setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya, pada usia 20 tahun,
Abu Ubaid pergi berkelana untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, sepeti Kufah,
Basrah dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya antara lain mencakup ilmu tata
bahasa arab, qira’at, tafsir, hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Tsabit ibn
Nasr ibn Malik, gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah harun Ar-Rashid,
mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi (hakim) di Tarsus hingga tahun 2110 H.
Setelah itu, penulis kitab al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10
tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia menetap di Makkah sampai wafatnya.
ia meninggal pada tahun 224 H.
B. Latar
Belakang Kehidupan dan Corak pemikiran
Abu Ubaid
merupakan muhaddits dan fuqaha terkemuka di masa hidupnya. Selama menjabat qadi
di Tarsus, Ia sering menangani berbagai kasus tanah pertanahan dan perpajakan
serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukannya
terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu
Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.
Berbeda halnya dengan
Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung tentang masalah kelemahan sistem
pemerintahan serta penanggulangannya. Namun demikian, kitab al-Amwal
dapat dikatakan lebih kaya daripada kitab al-Kharaj dalam hal kelengkapan hadis
dan pendapat para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Dalam hal
ini, fokus perhatian Abu Ubaid tampaknya lebih tertuju pada permasalahan yang
berkaitan degan standar etika politik suatu pemerintahan dari pada teknik
efisiensi pengelolannya. Sebagai contoh, Abu Ubaid lebih tertarik membahas
masalah keadilan redistributif dari sisi “apa” daripada “bagaimana”.
Filosofi yang
dikembangkan Abu Ubaid bukan merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan
sosial, politik dan ekonomi yang diimplementasikan melalui kebijakan-kebijakan
praktis, tetapi hanya merupakan sebuah pendekatan yang bersifat profesional dan
teknokrat yang bersandar pada kemampuan teknis. Dengan demikian, tanpa
menyimpang dari prinsip keadilan dan masyarakat beradab, pandangan-pandangan
Abu Ubaid mengedepankan dominasi intelektualitas islam yang berakar pada
pendekatannya yang bersifat holistik dan teologis terhadap kehidupan manusia di
dunia dan akhirat baik yang bersifat individual maupun sosial.
Berdasarkan hal
itu, Abu Ubaid menetapkan revitalisasi sistem perekonomian berdasarkan
Al-qur’an dan hadis melalui reformasi dasar-dasar kebijakan keuangan dan
institusinya. Abu Ubaid sering mengutip pandangan Malik ibn Anas salah seorang
guru dari As-Syafi’i.
C. Isi,
Format dan Metodologi Kitab al-Amwal
Secara literal al-Amwal
(tunggal, mal) berarti kekayaan atau keuangan. Dari catatan sejarah kita
melihat sekurang-kurangnya enam buku telah disusun dengan judul al-Amwal.
Dari enam buku ini, hanya tiga yang telah dipublikasikan hingga saat ini. Kitab
al-Amwal merupakan karya yang sangat sistematis dan komprehensif tentang
masalah keuangan publik. Abu Uabid mendasarkan bukunya pada ayat-ayat
Al-qur’an, sunnah Nabi, praktik para khalifah yang salih dan menyelidiki
berbagai penafsiran. Buku ini merupakan kumpulan pendapat tentang masalah keuangan
dan pengelolaan keuangan negara dalam konteks historis dan fiqih. Dalam buku
ini juga memaparkan 2000 ucapan tentang masalah-masalah keuangan.[1]
Kitab al-Amwal dibagi menjadi beberapa bagian dan bab. Pada bab
pendahuluan, Abu Ubaid membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya
serta hak dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya. Pada bab selanjutnya
kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada
penguasa atas nama rakyat serta berbagai landasan hukumnya dalam Al-qur’an dan
sunnah. Dalam bab ini Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara
yang menjadi hak Rasulullah seperti fa’i, bagian khums dan safi,
serta pengalokasiannya di masa Rasulullah maupun setelahnya. Pada bagian-bagian
berikutnya ketiga hal tersebut menjadi kerangka dasar pemikiran dalam kitab ini
tentang 3 sumber utama penerimaan negara, yakni : fa’i, khums dan sodaqoh.
Tiga bagian
pertama dari kitab al-Amwal meliputi beberapa bab yang membahas
penerimaan fa’i. Walaupun menurut Abu Ubaid fa’i mencakup pendapatan negara
yang berasal dari jizyah, kharaj dan usr, tetapi usr
dibahas dalam bab sedekah. Sebaliknya ghanimah dan fidyah yang
tidak termasuk dalam definisi tersebut dibahas bersama dengan fa’i.
Pada bagian
keempat berisi pembahahasan tentang pertanahan, administrasi, hukum
internasional dan hukum perang. Pada bagian kelima membahas tentang distribusi fa’i
dan pada bagian keenam membahas tentang iqta’, ihya al-mawat dan hima
dua bagian terakhir ini masing-masing didedikasikan untuk membahas khums
dan sedekah.
Dari hasil
penelaahan tersebut, tampak bahwa kitab al-Amwal secara khusus
memfokuskan perhatiannya pada masalah keuangan publik (public finance).
Sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya membahas tentang administrasi
pemerintahan secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isu
mengenai perpajakan dan hukum pertanahan serta hukum administrasi dan hukum
internasional. Pada masa Abu Ubaid pertanian dipandang sebagai sektor usaha
yang baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga
merupakan sumber pendapatan negara. Oleh karena itu, Abu Ubaid mengarahkan
sasarannya pada legitimasi sosio-politik-ekonomi yang stabil dan adil.
Abu Ubaid
dianggap sebagai seorang mujtahid yang independen karena kehandalannya dalam
melakukan istimbath hukum dari Al-qur’an dan hadis, sehingga dapat menghasilkan
suatu karya yang sistematis tentang kaidah-kaidah keuangan (financial maxims),
terutama yang berkaitan dengan perpajakan. Dalam mengkaji sebuah permasalahan
yang memerlukan ketentuan hukum, Abu Ubaid selalu mempertimbangkan maqasid
syariah dengan menempatkan manfaat bagi publik (al-maslahah al ammah)
sebagai penentu akhir.
D. Pandangan
Ekonomi Abu Ubaid
1.
Filosofi Hukum
dari Segi Ekonomi
Di
dalam kitab al-Amwal tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai
prinsip utama. Bagi Abu Ubaid pengimplementasian prinsip-prinsip ekonomi ini
akan membawa kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya Abu
Ubaid memiliki pendekatan yang imbang terhadap hak-hak individu, publik dan
negara. Jika kepentingan individu berbenturan dengan kepentingan publik maka
akan berpihak pada kepentingan publik.
Abu
Ubaid menyusun suatu ihtisar tentang keuangan publik yang bisa dibandingkan
dengan kitab Al-kharaj Abu Yusuf. Namun, sejauh ini karyanya kurang
menarik para ahli ekonomi. Kitab Al-Amwal sangat kaya dengan sejarah
materi ilmu hukum.
Tulisan-tulisan
yang lahir pada masa keemasan dinasti Abbasiyah menitik beratkan pada berbagai
persoalan yang berkaitan hak khalifah dalam mengambil kebijakan dalam
memutuskan perkara selama tidak bertentangan dengan ajaran islam dan kaum
muslimin. Berdasarkan hal ini, Abu Ubaid menyatakan bahwa zakat tabungan dapat
diberikan pada negara atau langsung pada penerimanya, sedangkan zakat komoditas
harus diberikan pada pemerintah jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan
tidak ditunaikan.
Untuk
pembagian tanah taklukan diserahkan pada pemerintah, lebih jauhnya setelah
mengungkapkan alokasi khums ia menyatakan bahwa penguasa yang adil dapat
memperluas berbagai batasan yang telah ditentukan apabila kepentingan publik
sangat mendesak.
Abu
Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan tidak boleh disalahgunakan atau
dimanfaat penguasa untuk kepentingan pribadi. Ketika membahas tarif pada kharaj
dan jizyah, ia menyinggung tentang keseimbangan anatara kekuatan
finansial non muslim dengan kepentingan muslim yang berhak menerimanya. Kaum
muslimin dilarang menarik pajak terhadap tanah penduduk non muslim melebihi
dari apa yang telah diperbolehkan. Abu Ubaid juga menayatakan bahwa tarif pajak
kontraktual tidak dapat dinaikkan, bahkan dapat diturunkan apabila terjadi
ketidakmampuan membayar. Abu Ubaid menekankan kepada disatu sisi pada
pengumpulan jisyah, usr dan zakat untuk tidak menyiksa
masyarakatnya dan agar masyarakatnya dapat memenuhi kewajiban finansial secara
teratur dan sepantasnya. Dengan kata lain Abu Ubaid menghentikan terjadinya diskriminasi
atau favoritisme, penindasan dalam perpajakan serta upaya
penghindaran pajak (tax evasion).
2.
Dikotomi
Badui-Urban
Pembahasan
mengenai Badui-Urban dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fa’i.
Abu Ubaid menegaskan bahwa bertentangan dengan kaum Badui kaum Urban :
a. Ikut
serta dalam keberlangsungan negara dengan kewajiban administatif dari semua
kaum muslimin.
b. Memelihara
kekuatan dan pertahanan sipil melalui mobilitas jiwa dan harta mereka.
c. Menggalakkan
pendidikan melaui proses belajar mengajar Al-qur’an dan sunnah serta penyebaran
keunggulannya.
d. Memberikan
konstribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan
hudud.
e. Memberikan
contoh universalisme dengan solat berjamaah.
Disamping
keadilan, Abu Ubaid membangun suatu negara islam berdasarkan administrasi, pertahanan,
pendidikan, hukum dan kasih sayang. Karakteristik diatas hanya diberikan oleh
Allah SWT kepada kaum Urban. Kaum Badui yang tidak memberikan konstribusi
sebesar kaum Urban tidak bisa memperoleh manfaat pendapatan fa’i sebanyak kaum
Urban. dalam hal ini kaum Badui tidak berhak mendapat tunjangan dari negara.
Mereka memilik hak klaim terhadap penrimaan fa’i hanya pada saat terjadi
3 kondisi kritis, yakni ketika terjadi inflasi musuh, kemarau panjang dan
kerusuhan sipil. Abu Ubaid memperluas cakupan kaum Badui dengan memasukkan
golongan masyarakat pegunungan dan pedesaan.
Abu
Ubaid memberikan pada anak-anak perkotaan hak yang sama dengan orang dewasa
terhadap tunjangan yang berasal dari pendapatan fa’i, lebih lanjutnya
Abu Ubaid mengakui hak dari pada budak perkotaan terhadap arzaq (jatah), yang
bukan untuk tunjangan. Dari semua ini terlihat bahwa Abu Ubaid membedakan
antara gaya hidup kaum Badui dengan kaum Urban, dan membangun fondasi
masyarakat muslim berdasarkan martabat kaum Urban, solidaritas serta kerja sama
berdasarkan komitmen dan kohesi, vertikal dan horizontal sebagai unsur esensial
dari stabilitas sosio-politik dan makro ekonomi. Mekanisme yang disebut diatas,
membuat kultur perkotaan lebih unggul dan dominan dibanding kehidupan nomaden.
3.
Kepemilikan
dalam Konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu
Ubaid mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Mengakui hak
seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari barang-barang
produksi, dan dalam waktu yang bersamaan mengakui juga kepemilikan umum yang
memadukan kemaslahatan individu dan kemaslahatan umum.[2]
Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid yang khas adalah mengenai hubungan
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Abu Ubaid mengemukakan bahwa
kebijakan pemerintah, seperti iqta (enfeoffment) tanah gurun dan
deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang
disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian. Oleh karena
itu, tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk diolah dan dibebaskan dari
kewajiban membayar pajak, jika dibiarkan selama 3 tahun berturut-turut, akan
didenda kemudian akan dialihkan kepada penguasa.
Tanah
gurun yang termasuk dalam hima pribadi dengan maksud untuk direklamasi, jika
tidak ditanami dalam periode yang sama, dapat ditempati orang lain dengan
proses yang sama. Pemulihan yang sebenarnya adalah pada saat tanah tersebut
ditanami setelah diberi pengairan. Jika tandus, menjadi kering atau rawa-rawa,
apabila tidak diberdayakan atau tidak ditanami selama 3 tahun berturut-turut,
hanya harim dari sumber air tersebut yang dapat dimiliki sedangkan yang lainnya
menjadi terbuka untuk direklamasi dan selanjutnya ditempati oleh orang lain.
Dalam
pandangan Abu Ubaid sumber daya publik seperti air, padang rumut dan api tidak
boleh dimonopoli seperti hima. Seluruh sumber daya ini hanya bisa dimasukkan dalam
kepemilikan negara yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
4. Pertimbangan
Kebutuhan
Abu
Ubaid sangat menentang tentang pembagian harta zakat yang harus dilakukan
secara merata antara 8 asnaf dan cenderung menentukan suatu batas tertinggi
terhadap bagian seseorang. Bagi Abu Ubaid yang paling penting adalah memenuhi kebutuhan
dasar, seberapa pun besarnya serta bagaimana menyelamatkan orang-orang dari
bahaya kelaparan. Namun pada saat yang bersamaan, Abu Ubaid tidak memberikan
hak penerimaan zakat kepada orang-orang yang memiliki harta 40 dirham atau yang
setara, di samping pakaian, rumah dan pelayan yang dianggapnya sebagai
kebutuhan standart minimun. Abu Ubaid menganggap sesorang yang memiliki 200
dirham dianggap sebagai orang kaya sehingga mengenakan kewajiban zakat pada
orang tersebut. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan Abu Ubaid ini
mengindikasikan adanya 3 kelompok sosio-ekonomi yang terkait dengan status
zakat yaitu :
a.
Kalangan kaya
yang terkena wajib zakat.
b.
Kalangan menegah
yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
c.
Kalangan
penerima zakat.
Berkaitan
dengan distribusi kekayaan melalui zakat, secara umum Abu Ubaid mengadopsi
prinsip “Bahwa bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing”.
Ketika membahas kebijakan penguasa dalam hal jumlah zakat yang diberikan pada
pengumpulnya (amil), pada prinsipnya ia lebih cenderung pada prinsip “Bagi
setiap orang adalah sesuai dengan haknya”.
5.
Fungsi Uang
Umat islam telah
akrab dengan mata uang yang disebut dinar dan dirham. Dinar
dan dirham yang digunakan orang arab waktu itu tidak didasarkan pada
nilainya, melainkan menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham
tersebut dianggap sebagai mata uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dinar
dan dirham yang tidak sama dan karena kemungkinan terjadinya penyusutan
akibat peredaran. Nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka
waktu yang panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada saat itu
perbandingan emas dan perak 1:7. Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran dirhah
berfluktuasi kadang-kadang malah menghilang, sedangkkan yang beredar luas
adalah fullus[3].
Menurut
Al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat
merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah klasik dapat dikatakan bahwa
uang tidak mempunyai kegunaan langsung (direct utiliti funcion). Hanya,
bila uang itu digunakan untuk membeli barang-barang itu akan memberi kegunaan[4].
Abu Ubaid
mengakui adanya 2 fungsi uang yakni : sebagai standart nilai pertukaran dan
media pertukaran. Disamping itu sekalipun tidak menyebutkan secara jelas Abu
Ubaid secara implisit mengakui tentang adanya fungsi uang sebagai penyimpan
nilai ketika membahas jumlah tabungan minimum yang wajib terkena pajak. Salah
satu ciri khas kitab al-Amwal diantara kitab-kitab lain yang membahas
tentang keuangan publik adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang
bisa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan
harta atau benda. Takaran dan timbangan menurut Abu Ubaid dalam kitab al-Amwal
adalah 1 sha’= 4 mud dan 1 mud =1 1/3 rithl
Baghdad. maka 1 sha’= 5 1/3 rithl.[5]
2. Pemikiran Ekonomi Yahya bin Umar (213-289 H)
A. Riwayat
Hidup
Yahya bin Umar
yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Qanani Al-Andalusia
lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di Cordova, Spanyol. Ia berkelana ke
berbagai negara untuk menuntut ilmu yang pertama ia singgap di Mesir dan
berguru pada pemuka sahabat Abdullah bin Wahab Al-Maliki dan Ibnu Al-Qasim,
seperti Ibnu Al-Kirwan Ramh dan Abu Al-Dzahir bin Al-Sarh. Setelah itu dia
pindah ke Hijaz dan berguru kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri dan akhirnya Yahya bin
Umar menetap di Qairuwan, Afrika dan menyempurnkan pendidikan pada seorang ahli
faraid dan hisab, Abu Zakariya Yahya bin sulaiman al farisi. Dalam perkembangan
selanjutnya dia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan. Setelah Ibnu Abdun turun
pada jabatannya Yahya bin Umar ditawari oleh Ahmad al-Aghlabi untuk menjabat
menjadi qadi akan tetapi ia menolak dan memilih tetap menjadi pengajar
hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.
B. Kitab
Ahkam Al-Suq
Merupakan kitab
pertama di dunia islam yang membahas tentang hisbah dan berbagai hukum pasar,
satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada
umumnya. Pada saat itu kota Qairuwan telah memiliki institusi pasar yang
permanen sejak 155 H dan para penguasanya mulai dari masa Yazid bin Hatim
Al-muhibli hingga sebelum masa Ja’far Al-Mansyur sangat memperhatikan intsitusi
pasar. Pada tahun 234 H, Kanun penguasa peradilan kota tersebut mengangkat
hakim yang khusus menangani masalah pasar. Dengan demikian masa Yahya bin Umar
kota Qoiruwan telah memiliki 2 keistimewaan yaitu :
a. Keberadaan
institusi pasar mendapat perhatian khusus dan peraturan yang memadai dari para
penguasa.
b. Dalam
lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani masalah pasar.
Tentang
kitab Ahkam al-Suq Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini
dilatarbelakangi oleh 2 persoalan yaitu : pertama, hukum syara’ tentang
perbedaan kesatuan timbangan dan takaran timbangan dalam satu wilayah, kedua,
hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan
liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi
para konsumen.
C. Pemikiran
Ekonomi
Menurut
Yahya bin Umar ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian islam sekaligus
faktor utama yang membedakan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
Disamping Al-qur’an setiap muslim harus berpegang teguh pada sunnah dan
mengikuti perintah Rasulullah dan setiap melakukan ekonomi. Fokus pemikiran
Yahya bin Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapan harga). Menurut Yahya bin Umar menyatakan
bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam transaksi dan
pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini Yahya bin Umar bahwa penetapan harga tidak boleh
dilakukan. Yahya bin Umar melarang penetapan harga jika kenaikan harga yang
terjadi adalah semata-mata interaksi penawaran dan permintaan yang alami. Dalam
hal demikian pemerintah tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi harga.
Hal ini akan berbeda jika kenaikan harga karena ulah manusia (human error).
Pemerintah hanya berhak melakukan intervensi harga ketika terjadi suatu
aktivitas yang dapat membahayakan masyarakat luas. Yahya bin Umar menyatakan
bahwa pemerintah tidak boleh melakukan intervensi kecuali dalam 2 hal, yaitu :
1. Para
pedagang tidak memperdagangkan barang tertentu yang sangat dibutuhkan
masyarakat dan dapat menimbulkan kemudharatan sehingga dapat merusak mekanisme
pasar. Dalam hal ini pemerintah dapat mengeluarkan para pedagang dari pasar dan
mengganti dengan yang lain berdasarkan kemaslahatan dan kemanfaatan umum.
2. Para
pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq (dumping) yang dapat
menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan dapat mengahancurkan ekonomi pasar.
Dalam hal ini pemerintah berhak memerintahkan pedagang untuk menaikkan kembali
harga yang sesuai harga yang berlaku dipasar, apabila mereka menolak pemerintah
berhak mengusir pedagang tersebut.
Peryataan
Yahya bin Umar jelas mengintimidasi bahwa hukum intervensi pemerintah adalah
haram. Pendapatnya yang melarang praktek tas’ir menunjukkan bahwa Yahya
bin Umar mendukung kebebasan ekonomi dan juga kebebasan kepemilikan. Kebebasan
ekonomi tersebut bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar yakni kekuatan
penawaran dan permintaan. Namun Yahya bin Umar menambahkan bahwa mekanisme
harga harus tunduk pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah tersebut pemerintah berhak
untuk melakukan intervensi jika terjadi tindakan sewenang-wenang dalam pasar,
misal ihtikar dan dumping.
Menurut
Dr. Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang adanya dumping
bukan dimaksudkan harga-harga menjadi murah akan tetapi untuk mencegah dampak
negatifnya untuk mekanisme pasar dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
D. Wawasan
Modern Teori Yahya bin Umar
Tema utama yang
diangkat pada kitab Al-Suq mengenai hukum pasar, pada dasarnya konsep
Yahya bin Umar lebih banyak terkait dengan ihtikar dan siyasah
al-ighrq. Dalam ilmu ekonomi kontemporer kedua hal tersebut dikenal dengan
istilah monopoloy’s rent-seeking dan dumping.
1. Ihtikar
(monopoloy’s rent-seeking)
Islam
secara tegas melarang ihtikar yakni mengambil keuntungan diatas keuntungan
normal dengan cara menjual sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Dalam
hal ini Rasulullah menyatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan orang
berdosa. Di zaman Rasulullah Saw, salah satu cara melakukan ihtikar adalah
dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut. Secara lebih
spesifik mazhab Syafii dan Hanbali mendifinisikan ihtikar sebagai :
“Menimbun barang yang
telah dibeli pada saat harga bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga
yang lebih tinggi pada saat dibutuhkan oleh penduduk setempat atau lainnya.”[6]
Abu
Dzar Al-ghifari menyatakan bahwa hukum ihtikar tetap haram meskipun
zakat barang-barang tersebut telah ditunaikan. Para ulama sepakat illat
pengharaman ihtikar adalah karena dapat menimbulkan kemudharatan bagi
umat manuisa, ihtikar tidak hanya merusak mekanisme pasar tapi juga akan
menghentikan keuntungan serta menghambat proses distribusi kekayaan. Dari
definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aktivitas ekonomi akan dikatakan
sebagai ihtikar jika memenuhi 2 syarat yaitu : pertama, objek
penimpunan merupakan barang-barang kebutukan masyarakat; kedua, tujuan
penimbunan adalah untuk mengambil keuntungan diatas keuntungan normal. Islam
tidak melarang seseorang melakukan aktivitas bisnis baik dalam kondisi
satu-satunya penjual (monopoli) ataupun ada penjual lain, Islam juga tidak
melarang seseorang menyimpan barang untuk stok persediaan. Dalam pasar monopoli
produsen sebagai penentu harga (price maker) sedangkan dalam pasar
bersaing sempurna produsen hanya mengikuti harga pasar (price taker).
2. Siyasah Al-Ighrq (Dumping
policy)
Berbanding
terbalik dengan ihtikar dumping bertujuan untuk meraih keuntungan dengan
cara menjual barang dengan harga rendah dari pada harga yang berlaku di pasar. Dalam
suatu pasar bersaing tidak sempurna, dalam suatu perusahaan terkadang melakukan
kebijakan pengenaan harga yang berbeda untuk produk yang sama di setiap pasar
yang berlainan. Secara umum praktik pengenaan harga yang berbeda terhadap
pembeli disebut diskrminasi harga. Dalam perdagangan internasional diskriminasi
harga yang dilakukan adalah dumping. Dumping merupakan kebijakan
perdagangan yang kontroversial dan secara luas dikenal dengan praktik yang
tidak fair.
Dalam
praktinya dumping dipandang sebagai sebuah kebijakan perdagangan yang
lebih menguntungkan oleh sebuah perusahaan jika ditemukan dua hal, yaitu : pertama,
industri tersebut bersifat kompetitif tidak sempurna sehingga perusahaan dapat
bertindak sebagai price maker bukan sebagai price taker; kedua,
pasar harus tersekmentasi, sehingga penduduk didalam negeri tidak mudah dalam
membeli barang-barang yang harus diekspor.
Dumping
Resiprokal
Analisis
dumping tersebut memberi kesan bahwa diskriminasi harga akan dapat meningkatkan
perdagangan luar negeri. Namun bila ditelaah lebih jauh, akan tampak jelas
bahwa kesan tersebut tidak selamanya benar. Contohnya sebuah pabrik semen di
Negara A melakukan ekspor ke Negara B, dan sebaliknya, pabrik semen di Negara B
melakukan ekspor ke Negara A. Walaupun terlihat ekstrim dan pada kenyataannya
jarang terjadi dalam dunia perdagangan internasional, hal ini menunjukkan bahwa
dumping resiprokal tidak dapat meningkatkan volume perdagangan, bahkan
merupakan perbuatan yang sia-sia[7].
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkembangan Islam pada masa-masa awal menuju
kejayaannya, ternyata bukan hanya berupa perkebangan politik dan militer saja
melainkan perkembangan ekonomi juga memainkan peranan yang penting dalam
menopang peradaban Islam. Perkembangan ekonomi Islam ini bersumber dari
pemikiran serta kebijakan para tokoh dan ulama Islam yang dimulai dari generasi
Rasul dan para sahabat dan kemudian para tabi’in dan tabiut tabi’in hingga
kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah dan Utsmani.
Para pemikir ekonomi Islam di masa klasik memberikan
sumbangan pemikiran yang sangat berharga bagi perkembangan Islam di masanya
dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dalam masyarakat. Di abad
pertama hijriah, terdapat tokoh pemikir Islam diantaranya Imam Abu Hanifa,
Al-Awza’i dan Imam Malik. Kemudian di abad kedua hijriah muncul tokoh seperti
Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan Al Shabani, dan Imam Syafi’i. Sedangkan di abad
ketiga terdapat tokoh seperti Yahya bin Adam Al Qarashi, Abu Ubaid Al Qasim bin
Salam, Imam Ahmad dan Yahya bin Umar serta Junaidi Al-Baghdadi serta Al-Mawardi
di abad selanjutnya.
Abu Ubaid dalam pemikirannya Abu Ubaid
merupakan seorang ahli hadis (muhaddist) dan ahli fiqih (fuqaha)
terkemuka di masa hidupnya. Pemikiran-pemikiran beliau dalam ekonomi ialah
dapat dilihat dari karyanya yaitu dalam kitab Al-Amwal yang menetapkan
revitalisasi sistem perkonomian berdasarkan Alquran dan hadis melalui reformasi
dasar-dasar kebijakan keuangan dan institutnya.
Abu Ubaid secara singkat membahas hak
dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, dengan studi khusus mengenai
kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Secara umum pada masa hidupnya
Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama
karena menyediakan kebutuhan dasar, makanan dan juga marupakan sumber utama
pendapatan negara.
Beberapa pandangan ekonomi Abu Ubaid
ialah dalam hal, a) Filosofi Hukum dan Sisi Ekonomi, b) Diktomi Badui – Urban,
c) Kepemilikan dalam konteks Kebijakan Perbaikan Pertanian, d) Pertimbangan
Kebutuhan, dan e) Fungsi Uang.
Yahya bin Umar merupakan salah seorang
faquha mazhab Maliki. Semasa hidupnya, disamping aktif mengajar, Yahya bin umar
juga banyak menghasilkan karya tulishingga mencapai 40 juz. Diantara berbagai
karyanya yang terkenal adalah al-Muntakhabah fi ikhtishar al-Mustakhirijah
fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab Ahkam al-Suq
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas
ekonomi merupakan begian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang muslim
kepada Allah Swt. Berkaitan dengan hal ini,Yahya bin Umar berpendapat bahwa al-tas’ir
(penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai
hadis Nabi Muhammad Saw. Jika kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak
jelas bahwa Yahya ibn Umar melarang kebijakan penetapan harga jika kenaikan
harga yang terjadi adalah samata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan
yang alami.
Tema utama yang diangkat dalam
kitabnya Al-Amwal Al-Suq pada dasarnya
konsep terkait dengan permasalahan ihtikar dan siyasah
al-ighraq.
B. SARAN
Dengan adanya
makalah ini kami berharap para pembaca lebih mengetahui dan memahami bagaimana
ekonomi islam yang benar dan setelah kita mengetahui alangkah baiknya
mengimplementasikan ekonomi islam itu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
kondisi saat ini semakin banyak praktek-praktek seperti halnya dumping dan juga
ihtikar. Selain itu dalam mekanisme pasar yang hanya didominasi oleh
orang-orang tertentu seperti halnya indonesia yang telah didominasi oleh cina.
Deskripsi singkat dan sederhana ini
agar sempurna dan sesuai harapan, mohon semua pihak kiranya mengkritisi
sekaligus mengkoreksi selengkapnya demi kesempurnaan tulisan ini.
Akhirnya,
terima kasih atas segala partisipasi semua pihak, mudah-mudahan bermanfaat
untuk semuanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Azmi,
Sabahuddin. 2005. Menimbang Ekonomi Islam Keuangan Publik dalam pemikiran
Islam Amwal. Cet I. Bandung : Penerbit Nuansa.
Azwar Karim, Adiwarman.
2002. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Ed III. Cet 6. Jakarta : PT.
Pustaka Pelajar.
Azwar Karim, Adiwarman.
2008. Ekonomi Mikro Islam. Ed. III. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Azwar Karim,
Adiwarman. 2014. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Cet. II. Jakarta :
Rajawali Pers.
Izzan, Ahmad dan
Syahri Tanjung. 2006. Referensi Ekonomi Syariah Ayat-Ayat Al-Qur’an yang
Berdimensi Ekonomi. Cet. I. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Mujahidin, Akhmad.
2007. Ekonomi Islam. Ed. I. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Sudarsono, Heri. 2007. Konsep
Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Ed.I. Cet. V. Yogyakarta : Ekonisia.
Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi
Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional. Cet. I. Yogyakarta :
Graha Ilmu.
Hermawan, Dodik
. 2015. pemikiran Abu Ubaid dan Yahya bin Umar. 2015 dalam www.PERPUSTAKAAN
MINI_ MAKALAH-PEMIKIRAN-EKONOMI-ABU-UBAID-DAN-YAHYA-BIN-UMAR.htm, diakses
tanggal 18 November 2015, pukul 12.34 Wib
[1]
Sabahudin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam Keuangan Publik dalam pemikiran
Islam Amwal, cet. 1, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2005), hlm. 50.
[2]
Ahmad Izzan, Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah Ayat-Ayat Al-Qur’an
yang Berdimensi Ekonomi, cet. 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006),
hlm. 54.
[3]
Eko suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan
Konvensional, Ed. 1, Cet. 1,
(Yogyakarta: Graha Ilmu,2005) hal. 197-201.
[4]
Ahmad Mujahiddin, “Ekonomi Islam”, dalam Adiwarman Karim, Ekonomi
Islam Suatu Kajian Kontemporer, hal 53)
[5]
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar, Ed. 1, Cet. 5,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2007), hlm. 76.
[6]
Adiwarman Karim, “Ekonomi Mikro Islam”, dalam Al-Malibari, Fathul Mu’in
Syarh Qurrah al Ain bi Muhimmatid Din, III, hlm.24; Ibn Qudama, Asy Syhrul
Kabir, IV, hlm. 47.)
[7]
Dodik Hermawan, pemikiran Abu Ubaid dan Yahya bin Umar.2015 dalam www.PERPUSTAKAAN
MINI_ MAKALAH-PEMIKIRAN-EKONOMI-ABU-UBAID-DAN-YAHYA-BIN-UMAR.htm, diakses tanggal
18 November 2015, pukul 12.34 Wib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar