Kekerasan dalam
rumah tangga merupakan suatu tindakan yang sangat rumit untuk diperbincangkan,
karena kebanyakan pelaku tidak menyadari akan perlakuan yang telah menyimpang
terhadap hukum, bukan hanya hukum agama yang memabhas masalah ini akan tetapi
hukum negara juga lebih jeli akan tindakan ini. Kebanyakan dari masyarakat
kurang paham akan kekeraan yang dilakukan di dalam rumah tangga, mereka
menganggap itu merupakan suatu tindakan yang sewajarnya orang berumah tangga. Padahal,
itu merupakan suatu kasus yang begitu krusial yang perlu penanganan lebih
lanjut.
Seperti halnya yang terdapat dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT No.3 Tahun 2004) pasal 1 ayat 1 “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yag berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Dari pasal tersebut jelaslah bahwa setiap individu khususnya perempuan berhak mendapatkan rasa aman, dan terbebaskan dari bentuk kekerasan. Untuk mewujudkan kerukunan dan keutuhan, sangat tergantung pada sertiap orang yang ada dalam keluarga, terutama dalam sikap dan perilaku. Apabila sikap dan perilaku dalam rumah tangga tidak terkontrol maka yang terjadi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang menyebabkan ketidak amanan dan ketidak adilan dalam anggota keluarga. Dengan semakin maraknya kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan banyak oknum yang merasa dirugikan, oleh karena itu pemerintah beserta lemabga pemberdaya perempuan mengesahkan UU No. 30 Tahun 2004 yakni tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), tentunya semua orang menginginkan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera dengan adanya undang-undang ini sehingga Hak Asasi Manusia lebih diperhatikan dan juga lebih dihormati, selain itu mengingat bahwa keadaan laki-laki dan perempuan harus mendapatkan kesejahteraan dan posisi yang sama dalam mewujudkan hak dan potensi nya bagi keberlangsungan dalam berumah tangga secara proporsional.
Seperti halnya yang terdapat dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT No.3 Tahun 2004) pasal 1 ayat 1 “kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yag berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Dari pasal tersebut jelaslah bahwa setiap individu khususnya perempuan berhak mendapatkan rasa aman, dan terbebaskan dari bentuk kekerasan. Untuk mewujudkan kerukunan dan keutuhan, sangat tergantung pada sertiap orang yang ada dalam keluarga, terutama dalam sikap dan perilaku. Apabila sikap dan perilaku dalam rumah tangga tidak terkontrol maka yang terjadi adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang menyebabkan ketidak amanan dan ketidak adilan dalam anggota keluarga. Dengan semakin maraknya kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dan banyak oknum yang merasa dirugikan, oleh karena itu pemerintah beserta lemabga pemberdaya perempuan mengesahkan UU No. 30 Tahun 2004 yakni tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), tentunya semua orang menginginkan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera dengan adanya undang-undang ini sehingga Hak Asasi Manusia lebih diperhatikan dan juga lebih dihormati, selain itu mengingat bahwa keadaan laki-laki dan perempuan harus mendapatkan kesejahteraan dan posisi yang sama dalam mewujudkan hak dan potensi nya bagi keberlangsungan dalam berumah tangga secara proporsional.
Yang merupakan
lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah perbuatan terhadapa seorang
perempuan(istri) yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untu
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup umah tangga. Pelaku atau korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga adalah mereka yang memiliki hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga yang
tinggal dalam sebuah Rumah tangga. Dengan dikeluarkannya Undang-undang ini Hak
korban lebih diperhatikan, bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan,
pelayanan, penanganan, dan pendampingan. Selain itu korban juga berhak
mendapatkan pelayanan demi pemulihan yaitu sesuai dengan UU PKDRT No. 23 Tahun
2004 pasal 39 tentang pemulihan korban bahwa, “untuk kepentingan pemulihan,
korban dapat memperoleh pelayanan dari (a) tenaga kesehatan (b) pekerja sosial
(c) relawan pendamping dan/atau (d) pembimbing. Terlebih lagi pemerintah juga
bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dengan
cara menyelanggarakan kommunikasi, informasi, dan edukasi dan juga
menyeleggarakan pendidikan, pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan serta
menetapkan standart dan akreditasii pelayanan yang sensitif gender. Mengenai
ketentuan pidana yang akan dikenkaan bagi pelaku ada sepuluh pasal yang mengatur
yakni dari pasal 44 s/d 53 yang terdiri atas pidana penjara dan juga denda. Dalam
hal ketentuan pidana yakni pasal 44, terjadi kontaversi dalam masyarakat. Dengan
tidak adanya batasan hukum minimal sehingga menimbulkan lama hukuman yang
bervariasi, bisa saja yang seharusnya melakukan kejahatan berat bisa saja
dihukumi dengan hukuman percobaan. Dirasa ini terjadi ketidak adilan dalam
masyarakat, selain itu juga di dalam hukum islam diperbolehkan memukul anaknya
apabila dalam umur 10 tahun tidak mau untuk sholat, tujuannya disini adalah
sebgai sarana mendidik akantetapi dalam hukum ini dikategorikan sebagai tindak
kekerasan fisik yang dilakukan terhadap anak. Selain itu juga dalam islam
diperbolehkan untuk melakukan poligami ini dimasukkan dalam hal penelantaran
dalam rumah tangga yang mendapatkan sanksi pidana seperti yang telah dijelaskan
dalam pasal 44. Kasus kerumahtanggan
merupakan suatu perkara perdata akan tetapi masuk ke dalam tataran pidana,
tentunya hal ini akan sangat membahayakan. Selain akan menggoyah dasar-dasar
kehidupan pernikahan yang hekekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan
silaturhami dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan
permasalahan baru ketika hukum tersebut diterapkan. Seperti bagaimana kasus
istri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya,
apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimanakah dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih terikat.
Sebagian
masyarakat menganggap bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupaka hal sudah
dianggap wajar, mungkin mereka menggap kekerasan dalam rumah tangga salah satu
kegiatan yang mendidik dalam sebuah keluarga. Dan juga sebagian orang menganggap
bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu aib yang tidak harus
dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Dimungkinkan bagi para istri lebih
memilih bertahan, dan sebagian lebih memilih untuk bercerai. Dengan adanya UU
PKDRT tentunya masyarakat juga cukup menanggapi dan sedikit paham akan
dilarangnya melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Pandangan mereka juga sudah
mulai berubah sehingga kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga sudah mulai
banyak yang dilaporkan. Hal ini didukung oleh karena adanya sosialisasi dari UU
tersebut yang membuat korban mengerti bahwa kekerasan dalam rumah tangga
merupakan tindak pidana. Selain itu, dengan adanya UU PKDRT juga mengatur
mengenai pencegahan, perlindungan terhadap korban dan penindakan terhadap
pelaku kekerasan yaitu dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga.
Oleh karena itu kekerasan dalam rumah tangga sudah bukan dianggap sebagai suatu
hal yang privat akan tetapi sudah dianggap sebagai suatu yang harus dilaporkan
dan harus ditindak lanjuti. Selain itu pemerintah juga mulai menangani kasus
ini melalui kebijaknnya sudah cukup komprehensif dan pelaksanaannya baik pada
jajaran pemerintah maupun pemerintah daerah, utamanya oleh aparat ynag
bertanggung jawab dibidangnya sudah mulai berjalan . namun masih bnayak kendala
yakni terbatasnya pendanaan, pemahaman aparat kurang sensitif gender termasuk
dalam pengupayaan penyediaan dan perencanaan sarana dan prasarana yang belum
seluruhnya memadai baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu adanya
perubahan pemikiran masyarakat semakin berkembang dan lebih terbuka karna dengan
adanya pasal 22 ayat 1 “melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan
rasa aman bagi korban” jelas bahwa masyarakat diberi kebebasan untuk berfikir,
bertindak, dan melakukan konsultasi dan wajib melaporkan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga. Sehingga pola pikir masyarakat dapat mudah
dipengaruhi oleh sebuah hukum itu dan semakin mudah khususnya pemerintah
melakukan pengawasan. Adapun perubahan sosial yang terjadi ini berlandaskan
penghormatan atas harkat dan martabat dengan sesamanya baik dalam kapasitas
keluarga khususnya ataupun dalam masyarakat.
Dengan adanya
produk hukum baru ini maka usaha penanganan kasus dalam kekerasan menjadi
terakomodir lebih baik jika dibandingkan dengan KUHP. Selain itu dengan adanya
sosialisasi dari UU ini, semakin banyak pelappor kasus KDRT, oleh karena itu
oknum pelayan kasus kekerasan dalam rumah tangga menjadi lebih tanggap dengan
mengadakannya pencegahan terhadap berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan
kepada korban, memberikan pertolongan darurat dan membantu proses pengajuan
permohonan penetapan perlindungan. Polisi juga menjadi bertanggung jawab dalam
hal ini, polisi wajib memberikan perlindungan kepada korban, perlindungan
sementara diberikan paling lama tujuh hari setelah menerima laporan dan
ditangani. Sebagai penguat diadakan surat penetapan perlindungan diberikan oleh
pengadilan atas permintaan dari kepolisian. Perubahan merupakan masalah
penting, antara lain disebabkan karena hukum umumnya memakai bentuk tertulis,
pemakaian bentuk ini memang memiliki kepastian yang lebih terjamin. Hukum tertulis
lebih mudah tercipta kesenjangan antara peraturan hukum dengan yang diaturnya. Dengan
diberlakukannya ini di harapkannya akan ada perubahan paradigma dalam
masyarakat mengenai cara pandang kita terhadap permasalahan kekerasan dalam rumah
tangga.
Adapun hubungan
antara perubahan sosial dan perubahan hukum diatas sesuai dengan paradigma
hukum sebagai pelayan dalam masyarakat karena undang-undang itu muncul
disebabkan oleh semakin merajalela nya kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga terutama yang terjadi terhadap istri yang tentunya harus memiliki
perlakuan HAM yang sama. Disini peran UU PKDRT ini mengikuti arus yang terjadi
dalam masyarakat. Selain itu UU ini juga mengandung bahwa UU PKDRT ini sebagai
paradigma hukum menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidaknya dapat
memacu perubahan. dikarenakan dalam UU tersebut pemerintah juga merencanakan
dengan adanya UU PKDRT mampu lebih menjamin kehidupan dan kemakmuran dalam
keluarga. Dan juga masyarakat yang mempunyai mental baik. Disini hukum
diciptakan untuk mengantisipasi persoalan yang dimungkinkan akan muncul, persoalan
tersebut akan diihadapi dengan merencanakan secara matang. Misalnya Dari sanksi dan denda yang di buat oleh
aparat hukum bertujuan sebagaiman yang tercantum dalam (pasal 4) undang-undang
PKDRT. Yaitu untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga,dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Upaya
dalam menangani kasus KDRT, semua pihak telah melakukan tindakan sebagai bukti
kepedulian terhadap persoalan bersama. semua langkah menuju pengahpusan
kekerasan dalam rumah tangga dengan cara mencari dan menindak lanjuti penyebab
dan pemicunya melalui penguatan jaringan, pemhaman terhadap nilai-nilai positif
yang terdapat dalam kearifan budaya lokal, dan semua itu mnejadikan ajaran
agama sebagai sumber nilai dengan jalan pendalaman agama yang proporsional.
Referensi :
Ni’mah Zulfatun, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, Yokyakarta: Teras, 2012
Undang-Undang Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004
Referensi :
Ni’mah Zulfatun, Sosiologi Hukum Sebuah Pengantar, Yokyakarta: Teras, 2012
Undang-Undang Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004
Elsa, ambon : tt, dalam http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel/hukum-pidana/174-kekerasan-
dalam-rumah-tangga-kajian-dari-perspektif-yuridis-kriminologis.htlm diakses pada tanggal
06 Nov 2015 pukul 13.56
Mudjiati,
Jakarta:2010, dalam www.Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Suatu
Tantangan Menuju Sistem Hukum yang Responsif Gender.html diakses tanggal : 06 Nov pukul 14.05 Wib
Tantangan Menuju Sistem Hukum yang Responsif Gender.html diakses tanggal : 06 Nov pukul 14.05 Wib
Oscar, Riau:2010, dalam www.oscar-007.blogspot.com/2010/03/kritik-terhadap-uu kdrt.html diakses tanggal : 06
Nov 2015 pukul 12.32 Wib
saya setuju dengan tulisan anda, tapi perlu adanya penjelasan mengenai paradigma hukum lebih jauh, agar pembaca juga bisa mengikuti maksud dari tujuan penulisan anda.....
BalasHapusdan mungkin akan lebih kuat jika anda menyertakan beberapa pendapat para ahli sosiologi...^_^
BalasHapusNice post! :)
BalasHapusMemang benar bahwa kasus KDRT yang marak terjadi sekarang ini tidak terlepas dari peran pemerintah untuk menangannya, khususnya berkenaan dengan penyusunan undang-undang KDRT. Dan benar pula bahwa hal ini juga telah diakomodir dalam undang-undang. Tetapi perlu diingat juga, meskipun telah dakomodir dalam undang-undang buan berarti keberadaan kasus KDRT bisa surut begitu.
Good Luck...
Good :) info yg sangat membantu
BalasHapusNamun sedikit memberi masukan, mungkin anda bisa menambahkan tentang perubhan sosial yg terjdi pd masyrakat. Apakah ada perbedaan antara setelah dan sebelum adanya uu pengahpusan dalam rumah tangga. terimakasih
artikel yang sangat membantu.
BalasHapussedikit menambahkan, seberapa banyak UU PKDR ditetapkan, yang lebih penting adalah menumbuhkan kesadaran korban KDRT untuk melapor ke pihak yang berwenang, karena kebanyakan korban KDRT (khusunya wanita) masih merasa itu adalah masalah pribadi dan merupakan aib sehingga enggan untuk melaporkan kejadian yang merugikan dirinya.
terimaksih............
Nilai 75
BalasHapus