Sabtu, 18 Maret 2017

PERADILAN KHUSUS DI INDONESIA



MAKALAH
“Peradilan Khusus di Indonesia”

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah SISTEM PERADILAN Di INDONESIA

Dosen Pembimbing :

Ladin, S.H.I., M.H.



Disusun Oleh :
Kelompok  3
Hesti Handayani
Ilma Hamdani Aturahma
Ilma Milatunafiah


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG 2015
KATA PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Alhamdulillah puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Peradilan Khusus di Indonesia” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di yaumul akhir.
Tujuan dan maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sistem Peradilan di Indonesia pada semester III (tiga), serta dengan adanya tugas ini diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap materi yang akan dikaji.
Makalah ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1.    Bapak Ladin,S.H.I.,M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Sistem Peradilan di Indonesia yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini,
2.    Teman-teman yang memberikan tanggapan dan masukan, serta
3.    Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan. Dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.
           

Tulungagung,    September 2015

                                               Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... .... i   
KATA PENGANTAR..................................................................................... .... ii  
DAFTAR  ISI....................................................................................................... iii 
BAB I   : PENDAHULUAN.......................................................................... .... 1
A.    Latar Belakang..................................................................................... .... 1
B.     Rumusan Masalah................................................................................. .... 1
C.     Tujuan................................................................................................... .... 2
BAB II  : PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A.    Pengertian pengadilan Tindak pidana Korupsi.......................... .... 3
              B. Pengertian Pengadilan Hak Asasi Manusia................................... .... 7
              C. Pengertian Pengadilan Pajak......................................................... .... 9
              D. Pengertian Pengadilan Anak......................................................... .... 11
              E. Pengertian Pengadilan Niaga......................................................... .... 15
F. Pengrtian Pengadilan Industrial..................................................... .... 18
BAB III   :........................................................................................................ PENUTUP               24
        Kesimpulan ........................................................................................ .... 24

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 26



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Indonesia memiliki organisasi yang besar, yang tediri atas penduduk, wilayah, pemerintah yang berkuasa serta lembaga pengawasan pemerintah dan sistem peradilan.
Lembaga peradilan merupakan salah satu bentuk adanya sistem lembaga yang demokratis dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memberi keadilan di semua lapisan masyarakat tanpa pamrih, diskriminatif, dan tanpa KKN. Pelaksanaan peradilan saat ini membutuhkan perhatian khusus dikarenakan semakin maraknya perkara yang dihadapi negara.
Untuk membentengi masyarakat atau lembaga dari kejahatan yang ada., maka sistem peradilan harus dilaksanakan dengan cara yang benar, baik, dan sistematis.  Dengan melihat permasalahan tersebut, maka saat ini masyarakat menanyakan eksistensi dari pelaksanaan peradilan pidana, sehingga ada efek jera bagi para pelaku kejahatan.  
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sistem pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?
2.      Bagaimana sistem pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
3.      Bagaimana sistem pengadilan Pajak di Indonesia?
4.      Bagaimana sistem pengadilan Anak di Indonesia?
5.      Bagaimana sistem pengadilan Niaga di Indonesia?
6.      Bagaimana sistem pengadilan Industrial di Indonesia?


C.       Tujuan
1.      Mengetahui sistem pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
2.      Mengetahui sistem pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia
3.      Mengetahui sistem pengadilan Pajak di Indonesia
4.      Mengetahui sistem pengadilan Anak di Indonesia
5.      Mengetahui sistem pengadilan Niaga di Indonesia
6.      Mengetahui sistem pengadilan Industrial di Indonesia


BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
A.  Pengertian
Dalam  ensiklopedia Indonesia istilah korupsi berasal dari bahasa Latin (corruption=penyuapan; corruptore=merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi maupun pegawai negri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut :
1)                            penyalahgunaan wewenang, kesempatan, atau sarana
2)                            perbuatan melawan hukum
3)                            memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
4)                            merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain : memberi atau menerima hadiah atau janji(penyuapan), penggelapan dana jabatan, pemerasan dalam jabatan
Korupsi di indonesia berekambang secara sistemik. Bagi orang banyak korupsi bukan lagi sebagai pelanggaran hukum melainkan sebagai kebiasaan.  Jika dibandingakan dengan negara laiin maka tingkat korupsi indonesia menempati level yang paling rendah.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan tetapi hingga kini pemberantasan korupsi belum menunjukan titik terang  melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan tingkat korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditnjukan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia .

Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan sebagai :
Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memeperkaya diri sendiri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan negara atau perekonimian atau diketahui patut disangka oleh nya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara (pasal 2)
Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalahgunakana kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan negara atau perekonomian negara (pasal 3)

B.       Pengadilan Tindak Pidana korupsi
adalah pengadilan yang khusus menangani khusus kasus korupsi, yang bertugas dan berwenang meriksa dan memutuskan tindak pindana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh komisi pemberantas korupsi. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (dasar hukum)tentang komisis pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan tindak pidana  korupsiterdapat pada pengadilan negri, pengadilan tinggi , dan makhamah Agung . pengadilan tindak pidana korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negri yang bersangkutan.

C.            Ruang lingkup tipikor
Pengadilan tindak pidana korupsi adalah satu-satunya lembaga yang berwenang ,memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi yang diajukan oleh penuntut umum atau yang diajukan oleh penuntut pada KPK sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undnagn yang berlaku.
Pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan Negri Pusat Jakarta pusat berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia diluar wilayah Negara Republik Indonesia.
Pengadilan tindak pidana korupsi juga berwenang memeriksa, mengadili dan memutuskan tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi yang dilakukan oleh warga negara asing diluar wilayah negara republik Indonesia sepanjang menyangkut kepentingan negara Indonesia.
Pengadilan tindak pidana korupsi berwenang memberikan izin untuk melakukan pembekuan, penyitaan, penyadapan, dan penggeledahan.

D.       Susunan Pengadilan
Hakim pengadilan tindak pidana korupsi terdiri atas hakim karier dan juga hakim ad hoc.
a)      Hakim Karier
Syarat-syarat menjadi hakim karier antara lain :
·       Berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya sepuluh tahun dibidang hukum untuk hakim
·         Berpengalaman menangani perkara pidana
·         Juju, adil, cakap dan memiliki intregitas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama menjalankan tugas
·         Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin atau telibat dalam perkara pidana
·         Memilii sertifikasi khusus sebagai hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh makhamah agung
·         Telah melaporkan harta kekayaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Calon hakim yang telah lulus seleksi wajib mengikuti diklat yang diselenggarakan oleh makhamah agung untuk mendapatkan sertifikasi sebagai hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc harus memenuhi syarat sebagai berikut :
·      Warga negara republik indonesia
·      Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa
·      Sehat jamani dan rohani
·      Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 15tahun di bidang hukum
·      Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun pada proses pemilihan
·      Tidak menjadi pengurus salah satu partai politik
·      Melepaskan jabatan lain selama menjadi hakim ad hoc
E.        Pemeriksaan pendahuluan
Sebelum memulai memeriksa pokok perkara, ketua majelis hakim mengadakan pemeriksaan pendahuluan mengenai kelengkapan dan kejelasan materi surat dakwaan. Jaksa agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang diakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer.
F.        Putusan
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputuskan oleh pengadilan tindak pidana korupsi dalam jangka waktu 90 hari kerja terhituung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke penngadilan tindak pidana korupsi. Dalam keputusannya dimihinkan banding ke pengadilan tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam jangka waktu paling lama 60 hari kerja terhitung sejak tanggal berkas di terima oleh pengadilan tinggi. Dalam hal putusan pengadilan tinngi tindak pidana korupsi dimohonkan kasasi kepada Makhamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputuskan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kerja terhitung sejak tanggal berkas diterima oleh Mahkamah Agung.



2.        Pengadilan Hak Asasi Manusia
A.             Pengadilan HAM indonesia dibentuk berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Adapun tugas dan wewenang pengadilan HAM adalah sebagai berikut :
a.       Memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat
b.      Memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan diluar batas teritorial wilayah negara RI oleh WNI
c.       Pengadilan HAM tidak berwenang mengadili seseorang yang berumur dibawah 18 tahun
Adapun pengadilan HAM seperti pada di bawah ini :
1)      Yuridiksi
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan
2)      Pemeriksaan persidangan
·         Diperiksa dan diputus majelis hakim terdiri atas lima hakim dengan komposisi dua hakim karir dan tiga hakim ad hoc
·         Diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM dalam waktu paling lama 180 hari terhitung sejak perkara dilimpahkan dalam pengadilan HAM
·         Banding paling lam 90 hari dan kasasi paling lama 90 hari
3)      Penyelidikan
Dibentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam melakukan penyelidikan perkara
4)      Penyidikan
·         Dilakukan jaksa agung dan dapat diangkat penyidik ad hoc
·         Paling lama 90 hari dapat diperpanjang, 90+60 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika tidak ditemukan bukti yang cukup maka wajib SP3
5)      Penuntutan
·         Dilakukan Jaksa Agung dan dapat diangkat penuntut umum ad hoc
·         Paling lama 70hari terhitung sejak tanggal hasil penyidikan diterima

B.  Hambatan pengadilan dalam menegakan HAM
·         Resadaran dan keberanian masyarakat untuk melaporkan pelanggaran HAM yang terjadi baik mengenai diri sendiri maupun orang lain
·         Belum optimalnya kemampuan para hakim di peradilan HAM
·         Keterbatasan kemampuan pengetahuan masyarakat dalam bentuk-bentuk palanggaran HAM
·         Masalah hakim, ternyata tidka mudah dalam menentukan para calin hakim ad hoc diluar hakim karir. LSM HAM ternyata tidak banyak tersedia.
·         Masalah pembahasan acara peradilan yang belum tuntas, masih tersisa pertanyaan banding dan langsung saja dari peradilan tingkat pertama langsung ke MA
C. Penegakan Hukum terhadap HAM
Mekanisme dalam kasus pelanggaran HAM mengacu pada exhaustion of local remedie, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional  (pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada juga yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan di negara yang bersangkutan.
Upaya agar HAM tetap dihormati, tetap dibatasi dan tidak dilanggar, baik secara nasional, regional, maupun internasional maka penegakan hukum melalui mekanisme peradilan baik nasional maupun internasional peradilan HAM adalah peradilan khusus, menyangkut instrumen khususnya maupun institusi dan proses  peradilannya. Hal ini dikarenakan pelanggaran atau kejahatan HAM bukan merupakan kejahatan biasa tetapi Extra Ordinary Crime.
Hal ini disebabkan karena tiga alasan :
·      Pola tindak pidana yang sistematis dan dilakukan oleh pemegang kekuasaan,  sehingga kejahatan tersebut baru bisa diadili jika kekuasaan itu runtuh
·      Kejahatan tersebut sangat mencederai rasa keadilan secara mendalam dilakukan dengan cara-cara yang mengurangi atau menghilangkan derajat kemanusiaan
·      Kejahatan tersebut sering berlindung di balik dasar penegakan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan

3.        Pengadilan Pajak
UU No. 14 Tahun 2002 juga memberikan pengertian mengenai pajak dalam pasal 1 angka 2 yaitu sebagai berikut : “pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai , dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku”. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa tidak ada sengketa pajak yang dapat diselesaikan di luar pengadilan pajak. Jadi semua subjek penyelesaiannya di pengadilan  pajak.
Ada juga faktor pengkhususan dari pengadilan pajak antara lain :
·         Pengadilak pajak berkedudukan di ibukota negara
·         Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh makhamah agung, sedangkan pembinaan organisasi, adminitrasi, dan keuangan dilakukan oleh departemen keuangan
·         Proses penyelesaian sengketa pajak melalui pengadilan pajak dalam acara pemeriksaannya hanya mewajibkan tergugat, sedangkan permohonan banding dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri.
·         Proses seleksi penerimaan hakim dilaksanakan oleh depertemen keuangan dengan melibatkan mahkamah agung
·         Pengadilan pajak selain menjadi pengadilan integral dari kekuasaan kehakian juga merupakan bagian integral dari proses penerimaan negara yang bermuara di APBN
·         Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memriksa dan memutus sengketa pajak.
·         Putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap


Pengadilan pajak bersifat khusus dalam acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan :
·         Sidang dilaksanakan tertutup akan tetapi dalam pembacaan keputusan dilaksanakan secara terbuka untuk umum
·         Sengketa yang di proses dalam pengadilan pajak khusus menyangkut snegketa perpajakan
·         Putusan pengadilan pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari wajib pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib pajak dapat mengetahui secara langsung besarnya pajak yang dikenakan padanya.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga putusan pajak tidak dapat di ajukan kasasi kepada Makhamah Agung, kecuali hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur dlam pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002. Permohnan peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan :
·         Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasrkan pada bukti-bukti yang kemuadian oleh hakim pidana dinyatakan palsu
·         Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting yang bersifat menentukan, dan apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan mneghasilakan putusan yang berbeda
·         Apabila telah dikabulakan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada apa yang dituntut
·         Apabila mnegenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya
·         Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


4.    Pengadilan Anak
a.                             Pengertian
Pengadilan Anak adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak. Batas umur anak yang dapat diajukan ke Pengadilan Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pengadilan Anak merupakan salah satu pengadilan khusus pengyang berada di lingkungan pengadilan umum yang disahkan pada tahun 2012 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Indonesia yang berada di peringkat empat negara berpenduduk terbesar di dunia (setelah Cina, India dan Amerika), tentu tidak terlepas dari maraknya permasalahan demografi atau kependudukan, diantaranya adalah masalah sosial kenakalan anak yang cukup krusial di negeri ini. Kenakalan anak terjadi bukan sekedar  perilaku menyimpang yang berasal dari faktor internal, tetapi juga seiring dengan faktor eksternal, yaitu akibat derasnya arus pasar bebas dan globalisasi informasi, teknologi dan komunikasi (informatika) yang potensial melunturkan kultur sebuah bangsa. Termasuk pergaulan anak dan remaja yang kini mulai terasing dengan budayanya sendiri, karena tergusur  dan mulai rapuh mempertahankan identitas jati dirinya. Itu semua juga tidak lepas sebagai akibat dari dampak negatif pembangunan yang cenderung bersifat materiil ketimbang moral dan identitas jati diri suatu bangsa.
Seiring dengan perkembangan zaman dan konsep keadilan restoratif (Restorative Justice), praktek sistem peradilan pidana anak yang telah diterapkan selama ini sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, kerap diwarnai dengan sejumlah kritik atas beberapa kelemahan dan disfungsi normatif yang rawan mencederai hak anak. Oleh sebab itu sudah selayaknya Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 tersebut direformasi, sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA) yang telah diundangkan (pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332) tanggal 30 Juli 2012 dan mulai berlaku setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan. Lahirnya UU-SPPA ini diharapkan dapat mengisi ruang keadilan sebagaimana konsep keadilan restoratif (Restorative Justice), sehingga keadaan anak tetap bermartabat sebagaimana hak asasinya.
b.                            Batas Usia Penahanan Anak dan Pertanggungjawaban Pidana Anak yang
 Dapat Diajukan ke Sidang Anak.
Mengenai batas usia minimal dan maksimal anak dalam pertanggung jawaban pidana memang berbeda-beda di antara banyak Negara. Perbedaan batas usia minimal dan maksimal pertanggungjawaban pidana tidak hanya berdampak terhadap perbedaan penanganan dari sistem peradilan pidana anak, tetapi juga berhubungan dengan organisasi-organisasi dan institusi-institusi seperti pekerja sosial dan pelayanan anak. Tidak hanya itu saja, perbedaan batas usia minimal dan maksimal pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan kebudayaan masyarakat, pengharapan terhadap anak, keluarga dan peranan Negara.
Dalam konteks Indonesia tidak dapat dipungkiri bahwa agen sosialisasi yang berperan dalam menyampaikan nilai-nilai positif pada anak-anak belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Keterbatasan pendidikan orang tua, faktor ekonomi, latar belakang sosial berperan secara signifikan dalam keterlibatan anak pada perilaku delinquency[1]. Dalam kondisi kesejahteraan anak yang sangat minim batas usia 8 tahun bagi anak untuk bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan adalah tuntutan yang berlebihan. Sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa keterlibatan anak dalam sistem peradilan akan membawa dampak buruk bagi anak-anak. Oleh karena itu UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak idealnya harus lebih mengutamakan kepentingan anak, dengan dilakukannya amandemen mengenai batas usia minimum yang lebih matang dalam pertanggungjawaban pidana. Sehingga konsekuensinya, bila ada anak-anak yang berada di bawah usia itu diduga melanggar hukum, maka mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum, maka mereka harus dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar undang-undang hukum pidana, sehingga tidak dapat dibawa ke proses peradilan[2].
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut maka batas usia penahanan dan pertanggung jawaban pidana telah dilakukan perbaikan yang bersifat pematangan dalam UU-SPPA, sebagaimana tertuang dalam Pasal 20, 21 ayat (1) dan 32 ayat (2) UU-SPPA:
Pasal 20
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang anak.
Pasal 21
Dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a.      menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b.      mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 32
Penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
 Penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a.       Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b.       diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

c.                             Acara Persidangan Anak
1.      Persidangan dilakukan secara tertutup
2.      Hakim, penuntut umum dan penasehat hukum terdakwa  tidak menggunakan toga
3.      Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar pembimbing kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) mengenai anak yang bersangkutan
4.      Selama dalam persidangan, Terdakwa wajib didampingi oleh orang tua atau wali atau orang tua asuh, penasihat hukum dan pembimbing kemasya¬rakatan
5.      Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Terdakwa dibawa keluar ruang sidang, akan tetapi orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir;
6.      Dalam persidangan, terdakwa anak dan saksi korban anak dapat juga didampingi oleh Petugas Pendamping atas izin Hakim atau Majelis Hakim
7.      Putusan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum
Mengenai kehakiman Hakim yang mengadili perkara anak, adalah hakim yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan tinngi. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara anak adalah Hakim Tunggal, namun dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majlis apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya.
5.        Pengadilan niaga
Salah satu soal penting setelah penyempurnaan aturan kepailitan adalah pembentukan Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum. Dalam hal ini seseorang yang merasa sudah tidak mampu lagi membayar hutang yang telah ia pinjam dan untuk menyelesaikannya adalah dengan mengajukannya pengadilan niaga yang nantinya akan menyatakan seseorang itu pailit jika tak mampu lagi membayar dan akan mencari jalan keluar dari masalah kepailitan tersebut. Pengadilan Niaga yang pertama dibentuk adalah Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya. Di sinilah kadang terjadi persimpangan dengan kompetensi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal pemeriksaan perkara, teruama perkara-perkara yang bersifat perdata. Melalui UUK, kewenangan mutlak (kompetensi absolut) Pengadilan Umum untuk memeriksa permohonan pailit dialihkan ke Pengadilan Niaga[3].
Dasar pertimbangan dibentuknya Pengadilan Niaga adalah karena pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia dan Indonesia sendiri sejak bulan Juli 1997 yang mengakibatkan masyarakat banyak yang kesulitan dalam hal ekonomi, termasuk mengenai penyelesaian masalah utang yang hams dilakukan secara cepat dan efektif Selain itu, hal yang menjadi alasan mengapa Pengadilan Niaga perlu dibentuk adalah keadaan ekonomi Indonesia saat itu yang diperkirakan mengalami lonjakan besar yang memunculkan banyaknya kasus kepailitan. Pengadilan niaga ini mewujudkan aturan main yang menjaga kepentingan pihak-pihak yang berpiutang dan yang memiliki utang secara seimbang dan adil, adanya mekanisme penyelesaian yang cepat dan transparan serta implementasi yang efektif. Dalam dunia usaha sangat mengharap Pengadilan Niaga mampu menyelesaikan perkara yang masuk secara cepat, transparan, dan adil.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menambah satu bab baru yaitu Bab Ketiga mengenai Pengadilan Niaga. Pembentukan peradilan khusus ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kepailitan secara cepat dan efektif. Pengadilan Niaga merupakan diferensiasi atas peradilan umum yang dimungkinkan pembentukanya berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kekuasaan kehakiman[4]. 
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang merupakan pembaharuan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, tidak mengatur Pengadilan Niaga pada bab tersendiri, akan tetapi masuk pada Bab V tentang Ketentuan Lain-lain mulai dari Pasal 299 sampai dengan Pasal 303. Demikian juga dalam penyebutannya pada setiap pasal cukup dengan menyebutkan kata “Pengadilan” tanpa ada kata “Niaga” karena merujuk pada Bab I tentang Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 7 bahwa Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan peradilan umum.
Pengadilan Niaga Mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Niaga ini pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 diatur dalam Pasal 280, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 diatur pada Pasal 300. Pengadilan Niaga merupakan lembaga peradilan yang berada di bawah lingkungan Peradilan Umum yang mempunyai tugas sebagai berikut:
1.      Memeriksa dan memutuskan permohonan pernyataan pailit;Memeriksa dan
2.      Memutus permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
3.      Memeriksa perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya sengketa di bidang HaKI.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga mengatur tentang kewenangan Pengadilan Niaga dalam hubungannya dengan perjanjian yang mengadung klausula arbitrase. Dalam Pasal 303 ditentukan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tentang syarat-syarat kepailitan[5]. Ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utang piutang yang mereka buat memuat klausula arbitrase. Jadi disini jelas bahwa fungsi dan peran pengadilan Niaga adalah adalah memutus persengketaan tentang masalah Kepailitan dan HaKI yang diajukan masyarakat kepada Pengadilan Niaga.

6.    Pengadilan industrial
a.                  Pengertian
Pengadilan industrial adalah pengadilan khusus yang di bentuk di lingkungan pengadilan umum yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan industrial[6].
Peradilan hubungan industrial pada dasarnya proses beracara perdata pada lingkup pengadilan umum. Dalam uu No. 2/2004 Pasal 57 uu 2/2004 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial adalah kukum acara perdata yang berllaku pada pengadilan yang berlaku pada lingkup peradilan umum, kecuali yang di atur dalam peradilan khusus dalam undang-undang ini. Dari bunyi pasal tersebut dapat di simpulkan bahwa uu No. 2/2004 merupakan lex special di banding HIR, RBG. Adapun yang menjadi pihak PHI yakni buruh/pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha yang dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di pengadilan hubungan industrial untuk mewakilinanggotanya.
Bentuk gugatan yang di ajukan ke PHI sama dengan bentuk gugatan ketika kita akan mengajukan gugatan perdata ke PN. Hanya saja dalam mengajukan gugatan ke PHI maka harus di lampirkan pula risalah penyelesaian melalui mediasi atau komsiliasi.
Mengenai kewenangan pengadilan yang pertama kali harus kita ketahui bahwa PHI tidak terdapat di semua pengadilan negeri di seluruh indonesia. Pengadilan ini hanya terdapat pada ibikota provinsi dengan cakupan kerja pada wilayah provinsi tersebut. Kedua mengenai tujuan gugatan. Jika di hukum pidana berlaku prinsip ‘pempat kejadian perkara’, maka dalam PHI pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan ialah kepada pengadilan yang berwenang pada pengadilan negri daerah hukumnya meliputi tempat kerja, burup bekerja.
                        Kekuasaan kehakima di indonesia. Untuk mengetahui kedudukan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dalam susunan badan peradilan di Indonesia, maka terlebih dahulu harus diketahui badan-badan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Di dalam Konstitusi kita pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur badan-badan kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan oleh (dua) lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung mengawal undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi mengawal Undang- Undang Dasar 1945. Semua jenis konflik, pertentangan,  pelanggaran norma yang terdapat di dalam undang-undang dan peraturan perundang-undangan dibawahnya diadili dan diputus oleh pengadilan dalamlingkungan Mahkamah Agung.
Selanjutnya ketentuan tentang badan-badan kehakiman yang telah dituangkan didalam konstitusi kita UUD 1945, kemudian diatur lebih lanjut dengan undang-undang tentang kehakiman yang terakhir, yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Agung membawahi 4 lingkungan peradilan di antaranya:
1.      Peradilan Umum Peradilan Umum adalah pengadilan bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, yang selanjutnya berpuncak pada Mahkamah Agung ( UU No. 2 Tahun 1986 diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 diubah yang kedua kalidengan UU No. 49 Tahun 2009.
2.      Peradilan Agama Peradilan Agama adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh, dan ekonomi syariah. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, yang selanjutnya berpuncak pada Mahkamah Agung (UU No. 7 Tahun 1989 diubah dengan UU No.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama diubah yang kedua kali dengan UU No.50 Tahun 2009).
3.      Peradilan Militer Peradilan Militer adalah salah satu badan peradilam pelaku kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer. Peradilan Militer dilaksanakan oleh Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Pertempuran, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, yang selanjutnya berpuncak pada Mahkamah Agung (UU No. 31 Tahun 1997 tentang PeradilanMiliter).
4.      Peradilan Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman yang berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), yang selanjutnya berpuncak pada Mahkamah Agung (UU No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.9 Tahun 2004 diubah yang kedua kali dengan UU No. 51Tahun 2009)
b.        Kedudukan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Dalam Susunan Badan Badan Peradilan
Masalah perselisihan hubungan industrial yang terjadi semakin kompleks, maka dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan peradilan yang bebas dari intervensi pihak mana pun dibutuhkan suatu pengadilan yang khusus untuk menanganani, memeriksa, mengadili, dan memutus perselisihan hubungan industrial. Maka dari itu, pada tahun 2004 telah dibentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI), yang dengan undang-undang tersebut dibentuklah pengadilan khusus yang diberi nama Pengadilan Hubungan Industrial. Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan pengadilan khusus yang berbeda pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55 UUPPHI)[7]. Pengadilan Hubungan Industrial tersebut. Dibentuk  di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap perselisihan hubungan industrial. Jadi, meskipun Pengadilan Hubungan Industrial adalah badan peradilan yang berwenang khusus mengadili perkara hubungan industrial, namun posisinya berada di lingkungan peradilan umum, yakni Pengadilan Negeri dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk pada Pengadilan Negeri di  setiapIbukota Provinsi yang daerah hukumnya meliputi provinsi yang bersangkutan. Sampai saat ini ada 33 PHI yang telah diresmikan di seluruh Indonesia. Di Kabupaten/Kota yang pada industri nantinya akan dibentuk PHI.
c.                                                         Susunan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
 Susunan PHI pada Pengadilan Negeri terdiri atas:1. Hakim2. Hakim Ad Hoc 3. Panitera Muda 4. Panitera Pengganti Sedangkan susunan PHI pada Mahkamah Agung terdiri atas 1. Hakim Agung   2. Hakim Ad Hoc pada Mahkamah Agung 3. Panitera Di samping adanya Hakim dalam PHI, proses pemeriksaan perkara juga membutuhkan petugas yang mengurusi masalah administrasi. Mulai dari administrasi pendaftaran perkara, pemanggilan para pihak, persidangan, putusan, penyampaian putusan  sampai dengan eksekusi. Tugas-tugas ini dilaksanakan oleh Panitera dan Juru Sita Pengadilan. Tugas-tugas kejurusitaan yang dalam UUPPHI dilaksanakan oleh Panitera Pengganti, harus diartikan dilaksanakan oleh Juru Sita atau Juru Sita Pengganti Pengadilan Negeri yaitu ditugaskan oleh PHI dengan Surat Keputusan Khusus.
d.                                                        Hukum acara pada hukum peradilan industrial
Hukum Acara yang berlaku pada PHI adalah hukum acara perdata yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, kecuali diatur secara khusus dalam UUPPHI (Pasal 57 UUPPHI). Dengan ketentuan tersebut berarti bahwa para pihak yang akan menuntut keadilan pada PHI harus berpedoman pada hukum acara perdata pada peradilan umum, hanya sedikit yang diatur secara khusus dalam UUPPHI.
 Hal ini akan memberikan kesulitan tersendiri bagi para buruh/pekerja yang akan menuntut keadilan, karena harus membuat surat gugatan yang tidak mudah, dan lagi harus berhadapan di persidangan melawan pengusaha yang jelas mampu untuk membayar advokat. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku pada PHI adalah hukum acara perdata yang berlaku pada peradilan umum, kecuali diatur secara khusus. Ketentuan normatif hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia sampai dengan saat ini, sumber hukumnya masih bertebaran di berbagai peraturan perundang-undangan[8]. Oleh karena itu, untuk dapat beracara di PHI dapat digunakan sumber hukum acara sebagai berikut> Peraturan Umum:
1.      HIR (Herziene Indonesisch Rglement), yaitu hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah Jawa dan Madura;
2.      RBg (Rechtsreglement Buitengewesten), yaitu hukum acara perdata yang berlaku untuk daerah di luar Jawa dan Madura;
3.       BW (Burgerlikje Wetboek voor Indonesia) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya tentang Pembuktian
4.      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
5.       Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004 kemudian diubah untuk kedua kali dengan UU No. 49 Tahun 2009;
6.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004, kemudian diubah untuk kedua kali dengan UU No. 3 Tahun 2009;
7.      Yurisprudensi Peraturan Khusus:
8.       Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tantang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UUPPHI) Seluruh peraturan perundang-undangan di atas akan saling mengisi untuk digunakan sebagai pedoman perkara di PHI.
 Hanya beberapa saja yang diatur secara khusus dalam UUPPHI, antara lain tenggang waktu penyelesaian yang dibatasi, biaya perkara yang gratis (disubsidi negara), adanya Hakim Ad Hoc. Selain yang ditentukan dalam UUPPHI tersebut, para pihak harus berpedoman pada hukum acara yang berlaku pada peradilan umum tersebut di atas (angka 1-7)
e.                                                         Penyelesaian Perselisihan di Luar Pengadilan
            Perselisihan hukum yang bersifat individual atau kolektif dapat diselesaikan oleh pengadilan dan di luar pengadilan tetapi perselisihan kepentingan yang sifatnya individual maupun kolektif hanya dapat diselesaikan diluar pengadilan karena tidak mempunyailandasan hukum. Sistem penyelesaian perselisihan diluar pengadilan dapat dibedakan antara penyelesaian perselisihan dengan mengikutsertakan pihak ketiga dan penyelesaian perselisihan  tanpa campur tangan pihak ketiga.
                                    Mengenai penyelesaian perselisihan perburuhan diluar pengadilan terdapat berbagai cara yang terdiri atas penyelesaian tanpa mengikusertakan pihak ketiga yaitu melalui  perdamaian yang dalam KUHPerdata disebut perdamaian. Sekarang ini dalamperkembangannya, perdamaian itu disebut sebagai perjanjian untuk menetapkan sesuatu yangdapat mengakhiri perselisihan atau menetapkan hal lain. Pengakhiran perselisihan dapatdilakukan dengan cara mengadakan perjanjian yang membebaskan masing-masing dari pihak kewajibannya yaitu yang disebut sebagai perjanjian liberator atau dapat juga diadakan dengan perjanjian baru dengan menentukan  kewajiban dan  hak baru, perjanjian mana disebut perjanjian obligasi.

BAB III
PENUTUP
 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diperoleh kesimpulan bahwa pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani khusus kasus korupsi, yang bertugas dan berwenang meriksa dan memutuskan tindak pindana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh komisi pemberantas korupsi. Pengadilan ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (dasar hukum)tentang komisis pemberantasan tindak pidana korupsi. Pengadilan tindak pidana  korupsiterdapat pada pengadilan negri, pengadilan tinggi , dan makhamah Agung . pengadilan tindak pidana korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negri yang bersangkutan
Pengadilan HAM indonesia dibentuk berdasarkan UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan ini merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota.
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memriksa dan memutuskan sengketa pajak (pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga putusan pajak tidak dapat di ajukan kasasi kepada Makhamah Agung, kecuali hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur dlam pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002
Pengadilan Anak merupakan salah satu pengadilan khusus pengyang berada di lingkungan pengadilan umum yang disahkan pada tahun 2012 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pengadilan Anak adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak.
Dasar pertimbangan dibentuknya Pengadilan Niaga adalah karena pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia dan Indonesia sendiri sejak bulan Juli 1997 yang mengakibatkan masyarakat banyak yang kesulitan dalam hal ekonomi, termasuk mengenai penyelesaian masalah utang yang hams dilakukan secara cepat dan efektif. Selanjutnya berdasarkan Keppres Nomor 97 tahun 1999, 18 Agustus 1998, didirikan Pengadilan Niaga di Makassar, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pengadilan Niaga sangat diperlukan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa niaga secara cepat; juga menyelesaikan aneka masalah kepailitan, seperti masalah pembuktian, verifikasi utang, actio pauliana, dan lain sebagainya.
Peradilan hubungan industrial pada dasarnya proses beracara perdata pada lingkup pengadilan umum. Dalam uu No. 2/2004 Pasal 57 uu 2/2004 menyatakan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan hubungan industrial adalah kukum acara perdata yang berllaku pada pengadilan yang berlaku pada lingkup peradilan umum, kecuali yang di atur dalam peradilan khusus dalam undang-undang ini.



DAFTAR PUSTAKA

http://rendy-dw.blog.com/2008/05/16/peradilan-anak-di-indonesia/. Di akses pada tanggal 15-09-2015. Pukul: 18.00