Sabtu, 18 Maret 2017

Sumber Hukum Perburuhan & Ketenagakerjaan



PENDAHULUAN
1.        Latar Belakang
Sebagaimana halnya dengan sumber hukum pada umunya, Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan mempunyai sumber yang tidak jauh berbeda. Namun demikian khusus dalam membicarakan masalah sumber hukum perburuhan ini perlu digaris bawahi adanya sumber hukum yang datangnya dari subjek perburuhan dan ketenagakerjaan yakni antara buruh dan majikan serta badan yang bersangkutan dengan masalah perburuhan itu sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum adalah “segala apa saja yang dapat menimbulkan pertauran yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatka sanksi yang tegas dan nyata”.
Selanjutnya sumber hukum perburuhan yang dimaksud disini adalah tempat ditemukannya aturan-aturan masalah perburuhan. Yang akan dibahas lebih jauh dalam Bab II.
2.        Rumusan Masalah
A.                Bagaimana Sejarah Sumber Hukum Perburuhan?
B.                 Apa saja yang menjadi Sumber Hukum Perburuhan ?
C.                 Apa saja yang menjadi Sumber Hukum Kerja
3.        Tujuan
A.                Memahami sejarah sunber Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan
B.                 Mengetahui sumber hukum dari hukum perburuhan
C.                 Mengetahui sumber hukum dari hukum kerja

          PEMBAHASAN
A.  Sejarah Sumber Hukum Perburuhan
Dalam teori Hukum perburuhan Pada dasarnya sumber Hukum Perburuhan dibagi dalam dua kategori yakni sumber Hukum Otonom dan sumber Hukum Tererotonom hal ini dikarenakan sejarah hukum perburuhan yang mengakibatkan perubahan dan pergerseran status hukum perburuhan dari cabang ilmu hukum. Dalam sejarahnya hukum perburuhan dibagi dalam tiga periodisasi, yakni :
  1. Periode Hukum Perburuhan Kuno
Pada periode ini merupakan periode awal dimana hukum perburuhan mulai diakui. Penggambaran pada periode ini adalah hukum perburuhan bersifat privat yang ada hanya hubungan antara majikan dan buruh, perjanjian yang ada hanya diantara majikan dan buruh saja tanpa ada campur tangan dari pemerintah, pada masa ini posisi buruh adalah sebagai orang yang bersifat lemah yanki menjadi sebuah objek hukum, bukan sebagai subjek Hukum. Dengan kata lain buruh hanyalah menjadi benda atau modal hidup.
Hubungan kerja pada periode ini sangat bersifat privat, mengenai peraturan yang dibuat hanya melibatkan antara majikan dan buruh dan tidak ada campur tangan dari pihak lain. Sehingga terjadilah praktek hubungan kerja yang bersifat individual yakni didominasi oleh majikan sebagai orang yang memiliki segalanya baik modal maupun kekuasaan.

Sehingga buruh diposisikan sebagai orang yang bersifat lemah dan terjadilah perbudakan semu yang mengatasnamakan hubungan kerja.
Pada periode ini pemerintah hanya menjadi penjaga malam artinya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam hal perburuhan, pemerintah tidak memikirkan keharmonisan antara majikan dan buruh yang mereka tahu hanya ada perjanjian kerja yang tidak menganggu ketertiban publik. Tidak menjadi persoalan bahwa hubungan kerja antara majikan dan buruh itu menguntungkan atau merugikan salah satu pihak.
  1. Periode Hukum Perburuhan Modern
Pada periode ini diawali dengan munculnya revolusi indutri di Inggris. Dengan adanya revolusi industri menjadikan semakin banyak menyerap tenaga kerja dan hanya berfokus di daerah perkotaan. Semakin banyaknya tenaga kerja sehingga mereka memiliki kesolid an yaitu memiliki nasib dan cita-cita yang sama, dan mereka berasal dari latar belakang yang berbeda dengan jumlah yang begitu banyak, dengan adanya hal ini  tidak mungkin ketentuan kerja di tetukan oleh pihak hubungan kerja yakni antara majikan dan buruh.  Jika pembuatan ketentuan diserahkan kepada pihak terkait maka akan menimbulkan banyak persoalan yang diantaranya adalah akan semakin memperkuat maisng-masing pihak. Seemakin banyaknya persoalan amaka akan menjadi konflik besar yang harus ada penengah dari pihak terkait yakni Pemerintah.
Dengan adanya hal diatas mengakibatkan pada periode ini ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah, akan tetapi masih bersifat pasif yakni pemerintah sudah memebuat peraturan terkait hubungan kerja, akan tetapi dalam kenyataannya masih saja diserahkan kepada pihak terkait, dengan demikian peran dalam pelakasaannya masih saja ada buruh dan majikan.
Dengan demikian terdapat dua sumber hukum perburuhan yakni sumber hukum perburuhan yang berasal dari pemerintah yang mengatur seluruh hubungan kerja yang sering dikenal dengan hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan yang berasal dari pihak terkait melalui perjanjian kerja yang sering disebut sumber Hukum perburuhan otonom.
  1. Periode Hukum Perburuhan Idealistik
Periode ini merupakan dampak dari perubahan filosofi pembentukan negara yang pada awalnya Negara dibentuk dalam rangka menjaga ketertiban umum dan stabilitas keamanan (penjaga malam) bergeser dengan sebuah filosofi bahwa negara dibentuk dalam rangka mensejahterakan rakyat (welfare state).
Dengan adanya filosofis bahwa fungsi negara adalah mensejahterkan rakyatnya, maka pemerintah menjadi ebih antusisa untuk membuat hukum perburuhan sekaligus melaksanakan peraturan tersebut. Pada periode ini hukum perburuhan menjadi cabang ilmu hukum yang berdiri sendiri. Periode ini hukum perburuhan memiliki karakter yang khas yaitu bersumber dari ketentuan pemerintah (hukum perburuhan heteronom) dan yang dibuat oleh pelaku hubungan kerja (hukum perburuhan otonom).
Dari Ketiga periodesasi sejarah hukum perburuhan diatas telah memunculkan dua jenis hukum perburuhan yaitu pertama hukum perburuhan otonom yang dibuat oleh buruh dan majikan yang biasanya berbentuk perjanjian, kedua hukum heteronom  yang dibuat langsung oleh pemerintah yang berbentuk peraturan perundang-undangan perburuhan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah dan berbagai aturan lainnya.
Indonesia adalah negara hukum yang menganut sistem hukum kontinental, oleh sebab itu, segala sesuatu harus didasarkan pada hukum tertulis. Sumber hukum ketenaga kerjaan saat ini sampai tahun 2011 terdiri dari peraturan perundang-undangan dan diluar peraturan perundang-undangan. Yang selanjutnya akan dibahas sebagai berikut
B.       Sumber-Sumber Hukum Perburuan
1)      UNDANG-UNDANG
Undang-undang merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan DPR (pasal 5 ayat (1) jo pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Sesuai dengan tata urutan perundang-undangan negara kita., yang mempunyai kedudukan yang sama dengan Undang-Undang adalah peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kepentingan yang sangat memaksa. PERPU tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Berdasarkan pertimbangan untuk mencegah adanya kekosongan hukum, negara Indonesia mengakui masih berlakunya peraturan-peraturan terdahulu.
Peraturan-peraturan yang termuat dalam Undang-undang di Zaman Hindia-Belanda yang berkaitan dengan hukum perburuhan pada waktu itu adalah :
a.       Wet sama dengan Undang-Undang, dibuat oleh Raja bersama-sama dengan Parlemen di Nederland. Mislanya BW dan WVK
dalam kedua kitab undang-undang tersebut terdapat berbagai ketentuan mengenai perburuhan, dalam KUH, Perdata. Misalnya :
o   Bagian kesatu tentang ketentuan umum, pasal 1601a-1601c
o   Bagian kedua tentang persetujuan buruh umum, pasal 1601d-1601x
o   Bagian ketiga tentang wajib majikan, pasal 1602-1602z
o   Bagian keempat tentang kewajiban Buruh, pasal 1603-1603d
o   Bagian kelima tentang macam-macam cara berakhirnya perhubungan kerja yang diterbitkan dari persetujuan, pasal 1603e-1602z
o   Bagian keenam tentang pemborongan pekerjaan, pasal 1604-1617. Sedangkan Kitab Undnag-Undnag Hukum Dagang (KUHD) dimuat dalam bab ke empat tentang perjanjian kerja laut yakni bagian bagian kesatu tentang perjanjian laut pada umumnya, pasal 359 samapi dengan pasal 426d dan bagian kedua tentang pekerjaan di kapal pasal 527 sampai dengan pasal 452g.
b.      Aglemeen Maatregal van Bestuur, ditetapkan oleh Pemerintah Belanda sebagai pelaksana dari Wet, mislanya Aglemeen Maatregal van Bestuur 17-1-1938 (Stb. 1938 Nomor 98) tentang peraturan perburuhan di perusahaan perkebunan
c.       Ordonantie- Ordonantie, peraturan ini ada dua macam, pertama ditetapkan oleh Gubernur Jenderal dengan atau tidak mendapat persetujuan Read Van Indie dan kedua sejak tanggal 1 Januari 1926 ditetapakn oleh Gubernur Jendral dengan persetujuan Volksraad, misalnya Oronantie 17-9-1914 (Stb.1941 Nomor 396) tentang pemutusan hubungan kerja bagi buruh bukan eropa.

2)      PERATURAN LAIN
Peraturan lain yang dimaksud disini adalah peraturan-peraturan yang lebih rendah kedudukannya dengan Undang-Undang. Peraturan tersebut adalah sebagi berikut :
a)    Peraturan Pemerintah, peraturan ini ditetapkan oleh Presiden untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Undang-undang (Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945).
Misalnya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1950 tentang waktu Kerja dan Waktu Istirahat, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1954 tentang istirahat tahunan bagi Buruh/pekerja, Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1953 Tentang kewajiban melaporkan Perusahaan, Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 Tentang Asuransi Sosisal Tenaga Kerja, peraturan pemerintah tanggal 7 September 1954 no. 49 tentang cara pembuatan dan mengatur perjanjian-perjanjian perburuhan antara serikat buruh dan majikan. Sejajar keududukannya dengan peraturan pemerintah ini adalah menteri yang mana oleh undang-undang di beri wewenang untuk mengadakan peraturan pelaksanaannya[1]. Misal, peraturan mentri tenaga kerja no. 3 tahun 1989 pasal 2: pengusaha dilarang mengadakan mengadakan pemutusan tenaga kerja (PHK) bagi pekerja wanita karena menikah, hamil atau melahirkan baik dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu maupun untuk waktu tidak tertentu[2]. Pada Zaman Pemerintahan Hindia Belanda yang kedududkannya setingkat dengan peraturan Pemerintah adalah Regeerings Verodenig yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal. 
b)   Keputusan Presiden
Keputusan Presiden, merupakan keputusan yang ditetapkan oleh Presiden yang berisi keputusan Presiden bersifat Khusus atau mengatur hal tertentu saja. Misalnya, Keputusan Presiden tentang pengangkatan ketua dan anggota penyelesaian Perselisihan Perburuan yang di tetapkan berdasarkan undang-undang penyelesaian perburuhan (undang-undang no.22 Tahun 1957), keputusan presiden no. 24 Tahun 1953 yang mana mengatur tentang peraturan hari libur, Misal, pada pasal 13 ayat 4 jika buruh meninggal dunia, kepada keluarganya dibayarkan upah berupa uang untuk bulan yang berjalan dan bulan berikutnya. Pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda Keputusan Presiden ini disebut Regeringaluit.
c)    Peraturan dan Keputusan Instansi Lain
Dalam bidang perburuhan suatu instansi atau pejabat tertentu diberi kekuasaan membuat peraturan atau keputusan tertentu yang berlaku bagi umum. Misalnya menurut pasal 4 Arbeidsrregeling-Nijver-heids-bdrijven (peraturan Perburuhan di perusahaan Perindustrian)menetapkan bahwa Kepala Instansi Perburuhan berhak mengadakan Peraturan tentang Pengurusan buku yang harus dikerjakan oleh pihak Majikan.

3)      KEBIASAAN
Kebiasaan merupakan perbuatan manusia yang dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama, bila suatu kebiasaan tertentu telah diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang, sehingga tindakan yang selalu berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum maka dengan demikian timbulah suatu kebiasaan yang dipandang sebagai hukum.
Dalam bidang Hukum Perburuhan kebiasaan ini sangat berkembang, hal ini disebabkan karena :
1)      Pembentukan Undang-Undang dan Peraturan lain Di Bawah Undang-Undang tidak dapat dilakukan secepat perkembangan masalah-masalah perburuhan yang harus diatur
2)      Peraturan-Peraturan dari zaman Hindia-Belanda dahulu sudah tidak lagi sesuai dengan rasa keadilan Masyarakat.
Misalnya, mengenai perselisihan hak, menetapkan pasal 116g bahwa penagihan mengenai perjanjian kerja dan perjanjian perburuhan  dengan tidak melihat jumlah uang dan tidak melihat golongan warganegara dari pihak-pihak yang bersangkutan pada tingkat pertama di adili oleh hakim residensi. Dengan dihapuskanya hakim residensi, maka soal perselisian hak masuk wewenang pengadilan Negeri.


4)      PUTUSAN
Peranan Putusan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) baik ditingkat Pusat maupun di tingkat Daerah sangat Penting. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dalam menyelesaiakan berbagai macam Perselisihan Perburuhan maupun putusan yang telah diambilnya dapat dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalah perburuhan berikutnya.
Khususnya mengenai Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) yang bersifat mengikat oleh Pengadilan Negri yang daerah Hukumnya meliputi tempat tinggalnya para pihak agar putusan tersebut dapat dijalankan (Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957) sudah dinyatakan sudah dapat dijalankan maka putusan itu dapat dilaksanakan menurut aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan Perdata.

5)      PERJANJIAN
Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana pihak yang satu berjanji kepada pihak yang lain untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan itu. Dalam Kaitannya dengan maslah perburuhan in terdapat adanya perjanjian yang dbuat oleh pihak atau subjek dari hukum perburuhan tersebut yakni perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja.
Perjajian perburuhan adalah perjanjian yang diadakan oleh suatu atau beberapa serikat buruh yang telah terdaftar pada Departemen Perburuhan (Departemen Tenaga Kerja) denan seorang atau beberapa majikan atau perkumpulan majikan atau perkumpulan majikan yang berbeda hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat perburuhan yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja.

6)      TRAKTAT
Perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih disebut perjanjian antar negara atau perjanjian internasional atau Traktat. Khusus dalam bidang ketenagakerjaan perjanjian dengan negara lain belum pernah diadakan (kecuali dalam konferensi meja bundar tentang bantuan tenaga kerja sipil) yang banyak kita jumpai adalah ketentuan Internasional hasil dari Konferensi ILO yang dikenal dengan istilah “Convention”. Ketentuan-ketentuan ini pun agar dapat mengikat harus diratifikasi terlebih dahulu oleh negara peserta.

7)      DOKTRIN/PENDAPAT PARA AHLI
Pendapat pakar ilmu hukum, dapat dipergunakan sebagai landasan untuk memecahkan masalahmasalah yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan perburuhan.
Karena inilah dapat di kualifikasi sebagai salah satu sumber hukum atau tempat menemukan dasar penyelesaian masalah.

C.  Sumber Hukum Kerja
Di era tahun 2000an ada tiga peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai sumber hukum kerja, yaitu sebagai berikut[3] :
a.       Undang-undang Nomor 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja atau serikat buruh (lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 131, Tambahan Lembaran Nomor 3889)
b.      Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. (lembar Negara Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279). Undang-undang ketenegakerjaan ini mencabut :
1)      Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia untuk Melakukan pekerjaan di Luar Indonesia (Stb. Tahun 1887 Nomor 8)
2)      Ordonansi taggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang Pembatasan kerja anak dan kerja malam bagi wanita (Stb. Tahun 1925 Nomr 647)
3)      Ordonansi Tahun 1926 Pertauran mengenai Kerja Anak-anak dan orang Muda di Atas Kapal (Stb. Tahun 1926 Nomor 87)
4)      Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk Mengatur kegiatan Mencari Calon Pekerja (Stb. Tahun 1936 Nomor 208)
5)      Ordonansi tentang Pemulangan Buruh yang Diterima atau dikerahkan dari Luar Indonesia (Stb. Tahun 1939 Nomor 545)
6)      Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang pembetasan kerja anak-anak (Stb. Tahun 1949 Nomor 8)
7)      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang Pernytaan Berlakunya Undnag-undnag kerja Tahun 1948 Nomor 12 dari Republik Indonesia untuk seluruh indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2)
8)      Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antar Serikat antara Buruh dan Majikan (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor, tambahan, Lembaran Negara Nomor 598a)
9)      Undnag-undang Nomor 3 Tahun 1958 Tentang Penetapan Tenaga Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 8)
10)  Undnag-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 207,Tambahan Lembaran Nomor 2270)
11)  Undnag-undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang Pencegahan Pemogokan dan/penutupan (Lock Out) di Perusahaan, Jawatan, dan Badan yang Vital (Lembaran Negara Tahun 1963 Nomor 67)
12)  Undang-undnag Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2912)
13)  Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3702)
14)  Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Penetapan Pemerintah Pengganti Undnag-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3791).
15)  Undnag-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang Perubahan Berlakunya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4042)
c.       Undnag-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Undnag-undnag ini Mencabut :
1)   Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelsaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 42, tambahan Lembaran Negara Nomor 1227)
2)   Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 93, tambahan Lembaran Negara Nomor 2686)
d.      Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja
e.       Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Penyelenggaraan jaminan sosial kepada tenaga kerja merupak salah satu tanggung jawab dan kewajiban negara untuk emebrikan jaminan sosial dan ekonomi kepada masyarakat yang besarnya sesuai dengan kemampuan negara. Indonesia dan negara berkembang lainnya mendanai ini berdasarkan funded sosial security yakni jaminan sosial yang didanai oleh para peserta dan masih terbatas pada sektor formal saja.
Kiprah jamsostek yang mengedepankan kepentingan dan hak normatif tenaga kerja di Indonesia terus berlanjut. Sampai saat ini PT jamsostek (persero) memberikan perlindungan empat program, yang mencakup program jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM),  jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK)[4].
Selain peraturan-peraturan di atas, ada lagi sumber hukum tertulis yang merupakan ciri khas dari hukum kerja. Sumber hukum ini datangnya dari para pihak yang terikat dalam hukum kerja, antara lain[5]:
a)    Peraturan perusahaan, adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan
b)   Perjanjian Kerja, adalah perjanjian antara pekerrja atau buruh dengan pengusaha atau pemebri kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak
c)    Perjanjian keja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja atau serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau ebberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.

Perbedaan  Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja, dab Perjanjian Kerja Bersama
No.
Perbedaan
Peraturan Perusahaan
Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja Bersama
1
Pembuat
Pengusaha
Pekerja dan Pemberi Kerja
Serikat pekerja dan pengusaha
2
Kesepakatan
Tidak diperlukan
Diperlukan
Diperlukan
3
Isi
Syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan
Syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak
Syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak
4
Pencatatan
Dicatatkan pada Instansi Ketenagakerjaan (Sudinakertrans/ Disnakertrans/Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Tidak diperlukan
Dicatatkan pada Instansi Ketenagakerjaan (Sudinakertrans/ Disnakertrans/Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja
5
Peranan buruh dalam penentuan isi
Sekedar saran dan pertimbangan
Tidak ada
Dilahirkan melalui perundingan antara Serikat Buruh-Pengusaha
6
Dapat diperselisihkan?
Tidak Dapat
Dapat
Dapat

Tentunya perjanjian diatas tidak hanya menguntungkan bagi majikan saja akan tetapi buruh atau pekerja juga harus diperhatikan karna dalambekerja pada pihak lain banyak sekali kejadian yang tidak disangka, peraturan diatas mengatur segala kejadian, yang dimaksud kejadian disini adalah berkaitan dengan masa penempatan (bekerja) seseorang pada pihak lain. Selama seeorang bekerja pada orang lain, banyak hal yang bisa saja terjadi, antara lain:
a.       Yang bersangkutan sakit
b.      Hamil/bersalin
c.       Kecelakaan
d.      Menjaga keselamatan dan kesehatan kerja
e.       Cuti
f.       Diputskan hubungan kerjanya dan lain-lain kejadian yang perlu pengaturannya dalam suatu peraturan perundang-undangan.

PENUTUP
A.           Kesimpulan
Dari pembahasan Bab II diatas dapat diambil Kesimpulan bahwa sumber hukum perburuhan yang dimaksud disini adalah tempat ditemukannya aturan-aturan masalah perburuhan, adapun sejarah dari sumber hukum Perburuhan itu dibagi ke dalam tiga peride yakni periode kuno, periode Modern dan Periode Idealis yang memebedakan dari ketiganya adalah masalah campur tangan dari pemerintah pada periode kuno pemerintah sama sekali tidak ikut campur tangan dan hanya antar majikan dan buruh saj yang menentukan perjanjian , disini banyak masalah karna buruh mendapat perlakuan yang tidak sewajarnya. Paada periode modern pemerintah sudah ikut campur tangan akan tetapi campur tangan pemerintah masih bersifat semu yakni peraturan tetap saja dibuat oleh majikan dan buruh, selanjutnya periode idealis ini pemerintah sudah campur tangan secara penuh kini hak-hak buruh sudah diatur dalam peraturan yang dibuat oleh pemerintah serta ada pengawasan secara baik.
Mengenai sumber Hukum perburuhan ini masih menggunkan undnag-undang Belanda selain itu juga ada peraturan lain. Dengan berkembangnya Hukum Perburuhan dan ketenaga kerjaan maka pada tahun 2000an munculan undang-undnag baru yang menghapuskan undnag-undnag lama. Ada beberapa yang dihapus dan diganti dengan undang-undang atau peraturan baru yang dirasa lebih lengkap sesuai dengan kondisi perburuhan saat ini.
B.            Saran
Setelah membaca makalah ini di harapkan para pembaca bisa mengerti dan memahami hukum perburuhan dengan mengetahui betul seluk beluk hokum perburuhan. Dan kami harapkan kritik dan saran untuk pemakalah agar kami lebih bermutu dalam penyajian makalah selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
Asikin, Zainal... (et.al). Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Ed. I, Cet. 3 , Jakarta :                          Raja Grafindo Persada, 1997.
Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja : Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan                               kerja, Cet. 3, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.
Soepomo, Imam. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta :                                        Djambatan.1987
Wahyu Arif, dkk. Makalah Hukum Perburuhan dalam                                                                     https://hbsuinmaliki2012.wordpress.com/2013/12/28/hukum                                     perburuhan Dalam (Djumialdji, Perjanjian Kerja edisi revisi.                           (Jakarta : Sinar grafika, 2006)


[1]  Imam Soepomo. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja( Jakarta : Djambatan.1987) hlm. 21-22
[2] http://mesin-teknik.blogspot.com/2010/11/sumber-hukum-perburuhan.html, di akses pada tanggal 04-09-2016. Puluk :19:52
[3] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Jakarta, Rajawali Pers : 2013) hlm. 3-5
[4] Wahyu Arif, dkk. Makalah Hukum Perburuhan dalam https://hbsuinmaliki2012.wordpress.com/2013/12/28/hukum-perburuhan Dalam (Djumialdji, Perjanjian Kerja edisi revisi. (Jakarta : Sinar grafika, 2006). Hal 14)
[5] Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja (Jakarta, Rajawali Pers : 2013) hlm. 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar