MAKALAH
“Kaidah
Mu’amalah”
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah “Qowaidul Fiqhiyah”
Dosen
Pembimbing :
Ahmad
Musonnif, M.H.I.
Disusun
Oleh :
Kelompok 4
Hesti
Handayani
Zaini
Rohmah
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG 2015
KATA
PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Alhamdulillah puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya,
sehingga
kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah
dengan judul “Kaidah Fiqh Muamalah” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam
senantiasa
tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang
selalu
kita nantikan syafa’atnya
di yaumul akhir.
Tujuan dan maksud dari penyusunan makalah ini adalah
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Qowaidul Fiqiyah pada semester III
(tiga), serta dengan adanya tugas ini diharapkan dapat memperdalam pengetahuan
dan pemahaman terhadap materi yang akan dikaji.
Makalah ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu,
tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Ahmad
Musonnif, M.H.I. selaku dosen pengampu mata kuliah Qowaidul Fiqiyah yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini,
2.
Teman-teman yang memberikan tanggapan dan masukan,
serta
3. Semua
pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati kami
mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan. Dan untuk itu kami ucapkan terima
kasih.
Tulungagung, September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... .... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... .... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN............................................................................... 1
A.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.
Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................. 3
A.
Cabang kaidah 1................................................................................ 3
B. Cabang kaidah 2................................................................................. 7
C. Cabang kaidah 3................................................................................. 9
D. Cabang kaidah 4................................................................................ 11
E. Cabang kaidah 5................................................................................. 15
F.
Cabang kaidah 6................................................................................. 18
G.
Cabang kaidah 7................................................................................ 18
H.
Cabang kaidah 8................................................................................ 18
I.
Cabang kaidah 9.................................................................................. 18
BAB III :........................................................................................................ PENUTUP 24
Kesimpulan ............................................................................................ 24
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Kaidah
tentang al-darar wa al-maslahah (bahaya dan maslahah) dan Cabang-cabangnya :
1.
Kaidah 1
a.
Teks dan arti
kaidah
لاَ
ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“tidak boleh membahayakan diri atau orang
lain”
b.
Maksud dan
penjelasan
Kaidah ini diambil langsung (secara
tekstual) dari lafadz hadist Nabi Muhammad SAW. Para ulama berbeda pendapat
tentang makna darar dan dirar. Sebagian ulama berpendapat bahwa keduanya adalah
dua lafadz yang berbeda tapi mengandung makna yang sama, Rasulullah mengungkapkan
bahwa keduanya itu hanya untuk menguatkan pembicaraan. Lafadz darar menurut
para pakar bahasa arab adalah nama dari sesuatu yang membahayakan, sedangkan
dirar adalah perbuatan yang membahayakan itu sendiri.
Terlepas dari perbedaan pendapat
dalam memkanai kedua lafadz. Dapat disimpulkan bahwasannya kaidah ini mempunyai
cakupan yang lebih luas, yaitu menghilangkan kemudaratan yang membahayakan diri
sendiri maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan
orang lain.
Kaidah ini meliputi dua hukum yakni
: pertama , tidak boleh membahayakan orang lain. Artinya, tidak diperbolehkan
bagi seseorang untuk membahayakan orang lain, baik pada jiwanya, kehormatanya,
dan juga hartanya. Karena membahyakan orang lain itu perbuatan dzalim, dan
kezaliman diharamkan oleh Islam. sedangkan hukum yang kedua, tidak boleh
membalas bahaya dengan bahaya. Artinya, tidak diperbolehkan bagi seseorang
untuk membalas bahaya dengan bahaya, melainkan yang yang dirugikan dengan bahay
itu hendaknya mengadukan perkaranya kepada hakim agar hakim memutuskan orang
itu untuk mengganti kerugiannya yang diakibatkan karena perbuatan yang
membahyakan. Berdasarkan hal ini, jika ada orang yang merusak hartanya, maka
dia tidak boleh merusak harta orang itu, akan tetapi ia harus menyerahkan
masalah itu ke pangadilan agar ornag yang merusak mengganti kerugian yang
diderita.
c. Aplikasi
kaidah
Diantara contoh aplikasi kaidah ini
dalam fiqh muamalah adalah tidak diperbolehkan bagi orang yang dizalimi untuk
menzalimi orang lain, karena itu termasuk salah satu bentuk kezaliman.
Bagitu juga tidak boleh merobohkan
tembok orang lain yang telah merobohkan tembok kita, karen alasan membalas.
Akan tetapi ia harus melaporkan itu kepada hakim, lalu hakim memutuskan oramh
yang merobohkan tembok itu untuk mengganti rugiyang sesuai dengan nilainya.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini
dalam perbankan syariah sebagaimana yang telah difatwakan hukumnya oleh DSN
yaitu : jual beli Istisnha, pembiayaan mudarabah, sistem hasil distribusi haisl
usaha dalam LKS.
2. Kaidah
2
a.
Teks dan arti
kaidah
الضَّرَرَ
يُزَالُ
“kemudharatan (bahaya)
harus dihilangkan”
b.
Maksud dan
penjelasan
Maksud dari kaidah ini dan kaidah
sebelumnya adalah sama, namun ada perbedaan dari aspek aplikasinya. Aplikasi
kaidah yang sebelumnya (kaidah pokok, yaitu : la darar wa la dirar)
adalah lebih pada larangan untuk melakukan atau membuat mudarat sebelum terjadi mudarat (upaya pencegahan). Sedangkan
aplikasi kaidah ini (kaidah cabang, yaitu : al-darar yuzal) adalah lebih
pada kewajiban menghilangkan mudarat setelah mudarat itu terjadi (upaya
pengobatan).
Oleh karena itu, penolakan terhadap
mudarat terbagi menjadi dua, yaitu: preventif, yang berarti pencegahan
agar tidak tejadi dan represif, yang berarti pengobatan agar tidak
tejadi kembali. Untuk kaidah kedua ini lebih cenderung kepada penolakan bahaya
yang bersifat represif, sedangkan penolakan yang bersifat preventif
tercakup dalam kaidah kubra.
Kaidah ini memberikan kesimpulan
bahwa bagaimana dan apapun yang terjadi, segala
macam kemudaratan harus dihilangkan, sekalipun itu sudah terjadi.
c. Aplikasi
kaidah
Contoh aplikasi dalam fiqh muamalah
yang dicakup dalam kaidah ini adalah seperti megembalikan barang yang dibeli
karena ada cacat bawaan dalam hak khiyar selama belum terlalu lama atau masih
dalam tempo khiyar. Karena cacat atau penipuan barang adalaha termasuk mudarat
bagi pembeli, sedangkan mudarat harus dihilangkan. Begitu juga jika yang melakukan jual beli
atau akad lainnya itu dalah orang-orang yang belum atau tidak cakap secara hukum
atau melakukan tindakan hukum dalam muamalah, seperti belum dewasa, gila,
idiot, dan sejenisnya. Maka transaksi itu batal demi hukum, karena hal itu
membawa mudarat dan mudarat harus dihilangkan.
Adapun contoh aplikasi kaidah ini
dalam perbankan syariah sebagaimana yang telah difatwakan DSN adal seperti
kafalah, hawalah, uang muka dalam Murabahah, sanksi terhadap nasabah mampu yang
menunda-nunda pembayaran, pencadangan penghapusan aktiva produktif dalam LKS,
pedoman Umun Asuransi Syariah, ganti rugi, dll
3. Kaidah
3
a.
Teks dan arti
kaidah
الضَّرَرُ
يُدْ فَعُ بِقَدْرِ الإِ مْكَا نِ
“kemudaratan harus
ditolak semampunya”
b.
Maksud dan
penjelasan
Maksudnya adalah wajib hukumnya
mencegah kemudaratan semampu mungkin (semaksimal mungkin), baik sebelum
kemudaratan itu terjadi atau sesudah kemudartan itu terjadi. Oleh karena itu
harus ada usaha yang mencegah darurat semmapunya dan ini lebih baik dari pada membiarkannya.
Karena dengan adanya usaha, paling tidak mudarat itu akan berkurang.
Kaidah ini dan dua kaidah
sebelumnya menjadi pokok bagi semua kaidah setelahnya yang termasuk dalam
klasifikasi kaidah tentang al-darar wa al-mafsadah (bahaya dan mafsadat) ini.
Jika kaidah yang pertama bersifat pencegahan, kaidah kedua bersifat pengobatan
, sedangkan kaidah ketiga ini bersifat anjuran untuk menghilangkan mudarat
semaksimal mungkin dan semampu nya
(baik sebelum terjadi mudarat atau setelah terjadi).
c. Aplikasi
kaidah
Contoh aplikasi kaidah ini adalah
adanya kewajiban bertanggung jawab dengan memberi ganti rugi, jika seseorang
mengghasab barang orang lain dan memakainya sampai rusak. Begitu juga, jika
barang yang di ghasab itu hilang atau dipakai orang lain, maka bagi pengghasab
wajib secara mutlak untuk beranggungjawab menggantinya. Sehingga ia harus
mengganti barang itu dengan nilai atau harganya jika barang itu bisa ditaksir.
Atau dengan mengganti barang yang sama persis, jika barang yang ada.
Adapun contoh aplikais dalam
perbankan syariah yang telah difatwakan oleh DSN adalah sama dengan kaidah
sebelumnya yaitu: pedoman umum asuransi syariah, pasar bank antar bank berdasar
prisnsip syariah, sertifikat IMA, Asuransi Haji, dll
4. Kaidah
4
a.
Teks dan arti
kaidah
الضَّرَرُ
لَا يُزَا لُ بِمِتْلِهِ
“sebuah kemudaratan
tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding”
b.
Maksud dan
penjelasan
Kaidah ini pada prinsipnya menjadi
penjelas dan syarat bagi kaidah sebelumnya dalam menolak mudarat (bahaya) baik
secara preventif maupun represif, dan upaya semaksimal mungkin. Artinya,
walaupun memang semua bentuk bahaya harus dihilangkan dengan sepenuhnya, namun
ia tidak boleh dihilangkan dengan bahaya serupa atau nbahaya lain yang lebih
besar darinya, melainkan diperbolehkan menghilangkan suat bahaya dengan dengan
tanpa menimbulkan bahaya yang lain, maka bahaya yang lain itu harus lebih
rendah atau kecil dan tidak boleh sebanding apalagi lebih besar bahayanya.
Dapat diambil kesimpulan bahwa
semua bentuk mudarat harus dihilangkan dengan syarat tidak menimbulkan bahya
yang baru dan kalaupun terpaksa hanya dengan bahyaa yang lain, maka bahaya itu
harus lebih rendah atau kecil dan tidak boleh sebanding apalagi lebih besar bahayanya.
c. Aplikasi
kaidah
Dari contoh aplikasi permasalahan yang dicakup dalam kaidah ini
yaitu : jika seorang pembeli membeli sebuha barang, kemudian baru ia
ketahui (setelah berlalunya waktu lama
atau setelah habis tempo masa hak khiyar) bahwa ada cacat di barang
tersebutyang ternyata cacat itu sudah lama (sejak masih ditangan penjual). Maka pembeli tidak boleh mengembalikan barang
itu dengan alasan bahwa cacatnya sejak awal.
Akan tetapi pembeli
berhak untuk meminta potongan harga barang itu. Sebab dengan dibolehkannya
mengembalikan barang yang sudah dibeli tantu akan merugikan penjual, sehingga
tidak diperbolehkan menghilangkan kerugian pembeli dengan merugikan penjual,
melainkan diperbolehkan meminta pengurangan harga saja dari penjual sebagai
jalan tengah yang bijaksana yang dapat menghilangkan kemudaratan dari kedua
belah pihak sekaligus. Karena suatu mudarat tidak boleh dihilangkan dengan
kemudaratan yang lain yang semisal atau sebanding. Kecuali jika penjual ridho
dan mau mengganti barang itu atau mengembalikan semua harganya kepada pembeli.
5. Kaidah
5
a.
Teks dan arti
kaidah
يُتَحَمَلُ
الضَرَرُ الخَا صُّ لِدَ فَعِ ضَرَرِ عَا مٍّ
“kemudaratan yang
bersifat khusus boleh dikorbankan untuk menolak kemudaratan yang lebih umum”
b.
Maksud dan
penjelasan
Kaidah ini juga menjadi penjelas
dari ketiga kaidah terdepan. Dalam penjelasana kaidah tentang pembagian darar
(mudarat) yang terbagi menjadi dua macam yaitu, darar khas (khusus) dan darar
‘amm (umum). Menurut syekh al-zarqa, bahwa kaidah ini merupakan kaidah mafhum
mukhalafah (pemahaman terbalik) dari kaidah sebelumnya. Karena mafhum mukhalafah
dari kaidah tersebut berarti ketika kedua mudarat tidak sederajat, salah
satunya lebih besar dari yang lain. Maka, kemudaratan yang lebih unggul
dihilangkan oleh kemudaratan yang lebih kecil.
Adapun bahaya yang dimaksud secara
umum adalah bahaya yang menimpa manusia secara umum, sehingga tidak tidak ada
bahaya yang dikhususkan dengan bahaya itu, karena semua orang terkena
dampaknya. Sedangkan bahaya yang khusus adalah bahaya yang menimpa orang-orang
tertentu saja atau sekelompok manusia yang dan bahaya itu tidak masuk dalam
bahaya umum. Oleh karena itu, bahya umum
harus dicegah , sekalipun dalam pencegahannya itu akan berdampak (berakibat)
pada bahaya khusus, sehingga bahaya yang khusus menanggung resiko untuk
mencegah bahaya umum.
c. Aplikasi
kaidah
Contoh aplikasi dalam kaidah ini
sangat banyak sekali baik dalam fiqh muamalah ataupun lainnya. Akan tetapi kita
difokuskan untuk membahas dalam fiqh muamalah dan perbankan syariah. Adapun
contohnya antara lain: 1) mempailitkan suatu perusahaan atau bamk demi
menyelamatkkan para nasabah, 2) menjual barang-barnag debitor yang sudah
ditahan demi untuk membayar hutangnya kepada kreditor, 3) menjual barang-barang
timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum dan lain-lain.
Dari contoh-contoh diatas dapat dirinci
sebagai berikut : ketiak suatu bank sudah tidak lagi berjalan dengan sehat,
karena kredit yang macet atau karena uang bank yang sudah banyak dikorupsi oleh
para pejabatnya. Maka hakim atau pemeriintah berhak memutuskan ketetapan hukum
pailit kepada bank itu demi mneyelamatkan para nasabah. Karena memailitkan bank
tersebut termasuk bahaya khusus yang harus dikorbankan demi bahaya umum, yaitu
melindungi harta para nasabah.
Begitu juga ketika seseotang
mempunyai hutang (debitor) yang tidak bisa membayar hutang-hutangnya kepada
kreditor, maka diperbolehkan menjual harta bendanya demi melunasi hutang
tersebut. Dia harus mengkirbankan kepentigan pribadinya demi kepentingan umum,
umum disini maksudnya adalah untuk kepentingan orang yang memberikan hutang.
Diperbolehkan menjual baranng
timbunan secara paksa untuk kepentingan umum, maksudnya adalah ketika
pemerintah mengetahui adanya timbunan barang dagangan tertentu, biasanya
seperti bahan-bahan pokok yang dilakukan seorang pedagang atau sebuah
perusahaan, maka pemerintah boleh bahkan wajib untuk menyita barang tersebut
dan menjualnya. Karena barang yang ditimbun menjadi hajat orang banyak maka
daya jualnya tinggi dan ini bisa membawa mudarat (bahaya) secara umum bagi
masyarakat luas.
Atau contoh lain adalah koruptor
yang menimbun kekayaan hasil korupsi, maka uang-uanga hasil korupsi yang
dilakukan para koruptor boleh diambil secara pakasa demi kepentingan umum, yang
bermanfaat bagi orang banyak tidak hanya individu koruptor itu saja. Karena
memang harta benda yang menjadi timbunannya adalah harta yang tidak halal dan
milik semua orang.
BAB
III
PENUTUP
Dari pembahasaan diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa kaidah fiqh muamalah kubra yang ketiga ialah al-darar
wa al-maslahah (bahaya dan maslahah) yang memiliki cabang sebanyak sembilan
diantaranya ialah.
Pertama, al darar wa la dirara
yaitu menghilangkan kemudaratan yang membahayakan diri sendiri maupun orang
lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang lain. contoh
aplikasi kaidah ini dalam fiqh muamalah adalah tidak diperbolehkan bagi orang
yang dizalimi untuk menzalimi orang lain, karena itu termasuk salah satu bentuk
kezaliman.
Kedua, al darar yuzalu yaitu
Kaidah ini memberikan kesimpulan bahwa bagaimana dan apapun yang terjadi,
segala macam kemudaratan harus
dihilangkan, sekalipun itu sudah terjadi. Contoh aplikasi dari kaidah ini ialah
dalam fiqh muamalah yang dicakup dalam kaidah ini adalah seperti megembalikan
barang yang dibeli karena ada cacat bawaan dalam hak khiyar selama belum terlalu
lama atau masih dalam tempo khiyar.
Ketiga, al darar yudfa’u bikodri
al imkaani yaitu wajib hukumnya mencegah kemudaratan semampu mungkin
(semaksimal mungkin), baik sebelum kemudaratan itu terjadi atau sesudah
kemudartan itu terjadi. Contoh aplikasi kaidah ini ialah adanya kewajiban
bertanggung jawab dengan memberi ganti rugi, jika seseorang mengghasab barang
orang lain dan memakainya sampai rusak.
Keempat, al darar la yuzallu
bimitslih yaitu pada prinsipnya menjadi penjelas dan syarat bagi kaidah
sebelumnya dalam menolak mudarat (bahaya) baik secara preventif maupun
represif, dan upaya semaksimal mungkin. Contoh aplikasi kaidah ini ialah jika
seorang pembeli membeli sebuha barang, kemudian baru ia ketahui (setelah berlalunya waktu lama atau setelah
habis tempo masa hak khiyar) bahwa ada cacat di barang tersebutyang ternyata
cacat itu sudah lama (sejak masih ditangan penjual). Maka pembeli tidak boleh mengembalikan barang
itu dengan alasan bahwa cacatnya sejak awal.
Kelima, yutakhamalu darar
khodholida fa’i darar ‘amin yaitu kemudaratan yang lebih unggul dihilangkan
oleh kemudaratan yang lebih kecil. Contoh aplikasi kaidah ini ialah menjual
barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.
Keenam,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar