Sabtu, 18 Maret 2017

Jurnal Tantangan Lembaga Keuangan Syariah Dalam Menghadapai MEA 2015



Tantangan Lembaga Keuangan Syariah dalam mengahadapi
MEA 2015
oleh
Hesti handayani
1711143028
Hukum Ekonomi Syariah 4B

Abstrak
Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep yang baku. Tetapi dalam berjalannya waktu, terdapat ijtihad-ijtihad dalam beberapa bidang kehidupan dan tetap berada pada batasan yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Sehingga Islam dalam menanggapi masalah-masalah yang ada dalam bidang kehidupan, sesuai dengan perkembangan zaman.
Demikian juga dengan sistem ekonomi yang merupakan bagian dari bidang kehidupan. Sistem ekonomi Islam diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada pada kehidupan manusia, dan tanpa melanggar ketentuan hukum Allah SWT. Seiring dengan perkembangan zaman, saat ini telah banyak sistem ekonomi yang bermunculan ditengah masyarakat, misalnya seperti lembaga-lembaga keuangan yang berbasis Islam.
Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai lembaga keuangan dalam perspektif Islam, kami akan membahasnya secara rinci pada makalah ini.

Pembahasan
A.  Sejarah Lembaga Keuangan Islam
Sebelum membahas sejarah lembaga keuangan Islam, terlebih dahulu kita ketahui pengertiannya. Lembaga dapat diartikan sebagai organisasi sosial yang mengorganisir sekelompok orang yang memiliki tujuan, target, sasaran, dan visi yang sama untuk menjalankan sebuah usaha sosial. Sedangkan lembaga keuangan Islam merupakan sebuah lembaga keuangan yang prinsip pengoperasiannya berdasarkan prinsip-prinsip Islam, dan menghindari maisir, gharar, dan riba.
1.    Masa Nabi SAW
Lembaga keuangan, sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi SAW ketika masih hidup. Pada saat itu, disebut sebagai lembaga perekonomian  berbentuk Baitul maal, yang merupakan lembaga ekonomi sebagai pengumpul dan pendayaguna harta yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat, infaq, dan shadaqah.[1] Selain itu, Baitul maal juga dijadikan sebagai kas atau pembendaharaan negara dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.    Baitul maal al-khashsh, berfungsi sebagai kas pembendaharaan negara atau pengeluaran uang dari publik untuk biaya pribadi kepala negara, perawatan istana, gaji pegawai raja, dan kemaslahatan umum.
b.    Baitul maal al-muslim, digunakan untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum, membantu fakir miskin.
Baitul maal pada masa ini, dapat diidentifikasikan sebagai bank sentral pada saat ini, karena bisa berindak sebagai penyandang dana negara dan juga memberi kan pembiayaan (modal) kepada publik.[2]
2.    Masa Sahabat Nabi SAW
Pada masa ini, pengelolaan baitul maal terus berkembang. Baitul maal tersebut berkembang karena tak lepas dari sahabat-sahabat Nabi SAW yang ikut menjalankannya, dan salah satunya yaitu Umar bin Khathab. Beliau memprioritaskan penambahan pemasukkan pada baitul maal yang bersumber dari zakat, infaq, shadaqah, dan kharaj. Umar juga memiliki kebijakan pendayagunaan tanah “Sawad” yang sekarang ada di Irak dan mengoptimalkan pemanfaatan tanah, sehingga pendanaan di baitul maal  terus bertambah dan semua kebutuhan serta kesejahteraan bisa terpenuhi. Beliau juga tidak membiarkan harta di baitul maal menumpuk, sehingga sirkulasi dana bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Selain uraian diatas, saat ini juga terdapat Lembaga Keuangan Syari’ah. Lembaga tersebut pertama kali dirintis oleh umat Islam dan dibentuk dalam sebuah organisasi dengan nama OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Benghazi, Libya pada bulan Maret 1973. Organisasi tersebut pertama kali mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama bank pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 Milyar dinar Islam.[3] Dengan berdirinya IDB, telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syari’ah dalam bentuk bank-bank Islam di beberapa negara, seperti Saudi Arabia, Dubai, Mesir, dan masih banyak lagi. Pada tahun 1992, Indonesia mulai mendirikan bank Islam yang diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Setelah BMI, mulai bermunculan lembaga-lembaga perbankan lain yang menggunakan prinsip Syari’ah.

B.  Tujuan dan Dasar Hukum Lembaga Keuangan Islam
Tujuan utama didirikannya lembaga keuangan Islam ialah untuk menunaikan perintah Allah dalam bidang ekonomi dan muamalah, serta membebaskan masyarakat Islam dari kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Dasar pemikiran dikembangkannya lembaga keuangan Islam, khususnya di Indonesia bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh lembaga keuangan yang sudah ada, dengan alasan bahwa bank-bank yang telah ada di Indonesia menggunakan sistem bunga.
Pada dasarnya, Lembaga Keuangan Islam merupakan sistem yang sesuai dengan ajaran agama Islam tentang larangan riba dan gharar. Selain itu, lembaga keuangan Islam, mempunyai falsafah dasar mencari keridhaan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan di akhirat.[4] Dasar hukum lembaga keuangan Islam dalam beroperasi adalah Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 275.
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….

Untuk menjalankan lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip dan ajaran Islam, maka perlu adanya sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap pihak yang ada dalam setiap lembaga keuangan, antara lain:
1.    Siddiq, yaitu bersikap jujur terhadap diri sendiri, orang lain, dan Allah SWT
2.    Fathinah, yaitu ketika menjalankan tugasnya dalam suatu lembaga keuangan  harus professional, disiplin, mentaati peraturan, bekerja keras, dan inovatif.
3.    Amanah, artinya penuh tanggungjawab dan saling menghormati dalam menjalankan tugas dan melayani mitra usaha.
4.    Tabligh, artinya bersikap mendidik, membina, dan memotivasi pihak lain untuk meningkatkan fungsinya sebagai kalifah di muka bumi.

C.  Ciri-Ciri dan Prinsip-Prinsip Lembaga Keuangan Islam
Lembaga keuangan Islam memiliki ciri-ciri yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan konvensional. Adapun ciri-ciri tersebut antara lain:
1.    Adanya Dewan Pengawas Syari’ah
2.    Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution yang berdasarkan kemitraan, bukan hubungan antara debitur dan kreditur
3.    Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat
4.    Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.
Selain ciri-ciri diatas, lembaga keuangan Islam juga memiliki prinsip-prinsip dalam menjalankan suatu lembaga keuangan, diantaranya:
1.    Prinsip Keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi hasil dan margin keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan nasabah.
2.    Prinsip Kesetaraan, yakni nasabah sebagai penyimpan dana dan pengguna dana, sedangkan bank memiliki hak, kewajiban, dan beban terhadap resiko dan keuntungan yang berimbang.
3.    Prinsip Ketentraman, bahwa produk bank syariah mengikuti prinsip dan kaidah muamalah Islam (bebas riba dan menerapkan zakat harta).[5]
4.    Prinsip Transparansi, yaitu lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya.
5.    Prinsip Universal, artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin.

D.   Jenis Lembaga Keuangan Islam di Indonesia
Sebagaimana yang kita ketahui, lembaga keuangan menurut ketentuan perundang-undangan dibagi menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank.[6] Lembaga keuangan bank dikelompokkan menjadi dua, yaitu bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan yang termasuk lembaga keuangan non-bank, antara lain BMT, Koperasi, Pegadaian, Asuransi, dan Obligasi. Tetapi secara garis besar, lembaga keuangan Islam saat ini sudah bermacam-macam, diantaranya:
1.    BAZ (Badan Amil Zakat)
Merupakan suatu lembaga yang bertugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama. Adapun harta yang bisa dizakatkan meliputi hewan (unta, sapi, kerbau, kambing atau domba, kuda, ternak unggas dan perikanan), emas perak, harta perniagaan dan perusahaan, dan hasil pertanian.
Dalam pengelolaan ZIS (zakat,infaq, dan shadaqah) ada beberapa prinsip yang harus dijalankan, yaitu:
ü Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah hendaknya dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
ü Prinsip Sukarela, bahwa dalam pemungutan dan pengumpulan zakat,infaq, dan shodaqoh BAZIS hendaknya senantiasa  berdasar sukarela dan dalam penyerahan nya tidak ada unsur keterpaksaan dan cara-cara yang dianggap sebagai suatu pemaksaan.
ü Prinsip Keterpaduan, yakni BAZIZ sebagai organisasi yang berasal dari lembaga swadaya dalam masyarakat dalam menjalankan fugsinya mesti dialakukan secara terpadu diatara komponen-komponennya.
ü Prinsip Profesionalisme, berarti dalam pengelolaan zakat, infaq, dan shodaqoh harus dilakukan oleh orang yang ahli dibidangnya, baik dalam administrasi, keuangan, dan sebagainya.
2.    Bank Syari’ah
Merupakan suatu lembaga keuangan yang dalam operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Adapun ciri-ciri bank syari’ah meliputi:
ü Berdimensi keadilan dan pemerataan, dilakukan dengan cara bagi hasil (mudharabah atau musyarakah).
ü Adanya pemberlakuan jaminan
ü Menciptakan rasa kebersamaan
ü Bersifat mandiri
ü Persaingan secara sehat
ü Adanya dewan pengawas syari’ah.
3.    IDB, BUS, dan BPRS
a.    IDB (Islamic Development Bank)
Pendirian IDB sangat berpengaruh terhadap suburnya pendidikan bank-bank yang prinsip operasionalya mengacu pada syari’at islam (Bank Islam). Karena setelah berdirinya IDB, terdapat beberapa negara yang kemudian mendirikan bank-bank Islam, seperti Mesir, Arab, dan Dubai. IDB memiliki beberapa bagian yaitu Dewan Gubernur, Dewan Direktur Eksekutif, Presiden, dan Manajemen. Setiap Negara anggota IDB diwakili oleh seorang Gubernur.
b.    BUS (Bank Umum Syari’ah)
Bank Umum Syari’ah adalah bank umum yang operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip syari’ah. Bank Syari’ah ini bisa berbentuk Islamic Commercial Banking dan bisa pula dalam bentuk Islamic Banking Unit. Islamic Commercial Banking adalah bank syai’ah yang didirikan secara khusus menggunakan prinsip syari’ah, misalnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Syari’ah Mandiri (BSM). Sedangkan yang dimaksud dengan Islamic Banking Unit adalah bank konvensional yang membuka unit usaha syari’ah, seperti Bank Jabar Unit Syari’ah dan BNI Unit Syari’ah.[7]
c.    BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah)
Adalah BPR biasa yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip ekonomi (syari’at) islam, terutama bagi hasil. Tujuan dari didirikanya BPRS, antara lain:
o Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat islam terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
o Meningkatkan pendapatan per kapita
o Menambah lapangan kerja terutama di kecamatan-kecamatan
o Mengurangi Urbanisasi
o Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
4.    BMT (Baitul Maal Wa Tamwil)
Adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil dengan anatra lain mendorong kegiatan menabung dan dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. BMT beroperasi atas dasar sistem syari’ah yang dimaksudkan untuk menggambarkan kemampuan lembaga keuangan sebagai banknya masyarakat yang kurang mampu yang sulit disentuh oleh lembaga keuangan formal (bank).[8] Salin itu, BMT juga bisa menerima titipan zakat, infak, dan sedekah, serta menyalurkan sesuai dengan peraturan dan amanatnya. Ciri-ciri BMT antara lain:
ü Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan pemanfaatkan ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya
ü Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifan penggunaan zakat, infak, dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak.
ü Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat disekitarnya.
ü Milik bersama masyarakat kecil bawah dan kecil dari lingkungan BMT itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang lain dari luar masyarakat itu.
5.    Reksa Dana Syari’ah
Merupakan sebuah wadah, dimana masyarakat dapat menginvestasikan dananya dan oleh pengurusnya ( manager investasi) dana itu diinfestasikan ke portofolio efek. Reksa dana ini merupakan solusi bagi para pemodal kecil yang ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksa dana memiliki empat unsur utama yakni:
ü Masyarakat pemilik modal (rab al-mal)
ü Modal yang disetor oleh masyarakat (mal)
ü Manager infestasi sebagai pengelola modal (amil)
ü Investasi yang dilakukan oleh manager investasi (amal)
6.    Asuransi Syari’ah
adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.[9] Adapun prinsip-prinsip asuransi Syari’ah antara lain:
ü Dibangun atas dasar kerjasama
ü Bersifat mudharabah
ü Sumbangan sama dengan hibah, sehingga haram untuk ditarik kembali
ü Setiap anggota yang menyetorkan uangnya selalu disertai dengan niat membantu orang lain
ü Dilakukan berdasarkan Syari’at Islam.
7.    Pegadaian Syari’ah
Pegadaian Syari’ah merupakan lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip gadai, yang melandaskan seluruh kegiatannya diatas dasar ajaran Islam.[10] Adapun rukun akad pegadaian Syari’ah ialah rahin, murtahin, sigat, marhun, dan marhun bih. Selain itu, juga terdapat ketentuan dalam pegadaian Syari’ah, meliputi:
ü Murtahin berhak menahan barang  sampai semua hutang dilunasi
ü Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.
ü Pemeliharaan dan penyimanan marhun pada dasarnya menjadi tanggung jawab rahin
ü Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
8.    Obligasi Syari’ah
Merupakan suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip Syari’ah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi Syari’ah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi Syari’ah berupa bagi hasil, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

E.   Perbedaan Lembaga Keuangan Islam Dengan Konvensional
Pada dasarnya dalam konteks posisinya, lembaga keuangan Islam yang berada ditengah-tengah masyarakat saat ini sama dengan lembaga keuangan konvensional, yaitu merupakan lembaga perantara.[11] Yang membedakan antara keduanya yaitu terletak pada produk-produk dan layanan jasa yang ditawarkan. Selain itu, perbedaan yang sangat menonjol ialah mengenai legalitas keagamaan produk dan layanan jasa tersebut.
Lembaga keuangan Islam, baik dalam menghimpun tabungan investasi masyarakat maupun pembiayaan bagi dunia usaha tidak mengenal riba, melainkan menggunakan sistem bagi hasil. Bagi hasil dapat diartikan sebagai total keuntungan pada modal akan dibagi antara kedua pihak secara adil. Sedangkan riba dapat dikatakan sebagai bunga bank. Sistem bunga tersebut, dalam lembaga keuangan Islam dianggap merugikan masyarakat yang bersangkutan dalam suatu lembaga keuangan.
Sedangkan dalam lembaga keuangan konvensional, dalam melakukan sistem transaksinya menggunakan sistem bunga. Karena pihak suatu lembaga keuangan tidak mau rugi, meskipun usahanya sudah memperoleh keuntungan tersendiri, sehingga masyarakat yang bersangkutan dalam lembaga tersebut dirugikan dengan menanggung bunga bank dan pihak lembaga tidak mau tau mengenai hal tersebut.
Untuk lebih jelasnya mengenai perbedaan kedua lembaga keuangan tersebut, dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

Lembaga Keuangan Islam
Lembaga Keuangan Konvensional
Prinsip-prinsip
-  Keadilan
-  Kesetaraan
-  Ketentraman
-  Transparansi
-  Universal
Mengutamakan kepentingan pribadi lembaga keuangan tersebut.
Sumber hukum
Ajaran agama Islam (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas)
Rasionalitas
Tujuan
Untuk kepentingan di dunia dan di akhirat
Hanya kepentingan di dunia
Praktek transaksi
Menggunakan sistem bagi hasil dan bagi resiko
Menggunakan sistem bunga
Pada BPR
Perusahaan kredit  membeli barang  kemudian menambahkan
marjin keuntungannya, setelah itu dihitung cicilannya tetap sampai lunas (murabahah)
Meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli suatu barang,  di  mana  uang  tersebut  dikenakan bunga  kemudian pengembaliannya  dicicil  sampai lunas.
Pada Asuransi
Akadnya adalah tolong menolong sesama peserta asuransi
Terjadi transfer resiko dari nasabah ke perusahaan asuransi
Pada Reksa dana
Emiten atau instrumennya haruslah comply  dengan syariah.
Tidak memperhatikan apakah transaksi tersebut bersifat spekulatif atau tidak
Pada pegadaian
-      Mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan biaya jasa simpanan
-      Biaya administrasi berdasarkan barang
-      Jasa simpanan berdasarkan simpanan
-      90% uang pinjaman dari taksiran
-   Hanya melakukan akad utang piutang
-   Menggunakan praktek fidusia
-   Biaya administrasi berupa persentase berdasarkan golongan barang
-   Sewa modal berdasarkan uang pinjaman
-   Terdapat penggolongan uang pinjaman (golongan A 92%, golongan B, C, D 86-88%)
Pada obligasi
-      Memperhatikan aspek halal/haram suatu produk
-      Berdasarkan sistem bagi hasil
-      Berdasarkan akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna’, dan ijarah
-   Hanya memperhitungkan keuntungan
-   Keuntungan ditetapkan dari besaran bunga yang diterapkan
-   Tidak terdapat sistem akad

F.      MEA
MEA merupakan sebuah kesepakatan di antara negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai bentuk pertahanan dari goncangan global. Implementasi kebijakan ini mirip dengan Free Trade Area (FTA) yang akan yang dilaksanakan pada tahun 2020 nanti, namun dalam cakupan yang lebih kecil yaitu ASEAN. Kebijakan ini telah direncanakan jauh hari sebelumnya, namun karena kebutuhan yang mendesak khususnya dalam hal kerja sama bilateral dan penguatan negara-negara ASEAN dari serangan produk luar negeri maka diajukanlah implementasi MEA paling lambat tahun 2015.
Dalam integrasi MEA, terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan sebagai momentum yang baik bagi bagsa-bangsa di ASEAN :
Pertama, negara-negara di kawasan ASEAN ini akan dijadikan sebagai sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation dan e-commerce.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM).
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global, dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota.

G.    Peluang Perbankan Syariah dalam MEA
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi dan peluang Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar khususnya dalam mengahdapi MEA, diantaranya : (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Hal yang paling pokok adalah bahwa industri perbankan syariah memiliki peluang yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah dibuktikan ketika Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Pertama, bank syariah memberikan dampak yang lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak.
H.    Tantangan Perbankan Syariah dalam menghadapi MEA
Dari beberapa hal di atas, terdapat beberapa tantangan yang harus menjadi perhatian dalam pengembangan industri jasa keuangan syariah Indonesia. Pertama, tingkat market share dan profitabilitas industri keuangan syariah kita masih relatif rendah dibanding yang konvensionalTantangan berikutnya adalah masih rendahnya literasi keuangan masyarakat kita terhadap produk dan jasa keuangan yang ditawarkan lembaga keuangan syariah. Selain itu, masih terbatasnya ahli-ahli produk dan jasa keuangan syariah, terutama untuk mendukung inovasi produk/jasa keuangan syariah dan mengevaluasi kelayakan pembiayaan proyek-proyek strategis. Tantangan yang lain adalah masih belum optimalnya pembiayaan bagi proyek-proyek strategis seperti proyek-proyek infrastruktur pemerintah, energi dan eksploitasi sumber daya alam, serta transportasi dan komunikasi.
Kendala lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap Sumber Daya Insani (SDI) dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA 2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Keberadaan skilled labours adalah faktor penting dalam menghadapi MEA 2015. Bila boleh dikatakan, barang, jasa, investasi, dan modal semua dikendalikan oleh skilled labours. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang mempuni mutlak dibutuhkan untuk “memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Jika kita jadikan GDP sebagai tolak ukur atas kualitas skilled labours Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa, dan modal maka dapat kita katakan bahwa kualitas skilled labours Indonesia masih jauh di bawah tiga negara penghuni kasta teratas yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Inilah tantagan yang kita hadapi saat ini. Para sarjana ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung liberal dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah daripada itu. Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian Indonesia masih terbilang belum optimal.
Di antara langkah yang dapat diambil adalah pelaku industri perbankan syariah dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat pendidikan dan pelatihan perbankan syariah’ untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap tersebut daripada saling bersaing dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya dapat berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat membantu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang dibutuhkan oleh industri perbankan syariah sehingga strategi ‘link and match’ dapat dijalankan.

Kesimpulan                                             
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa lembaga keuangan Islam merupakan sebuah lembaga keuangan yang prinsip pengoerasiannya berdasarkan prinsip-prinsip Islam, dan menghindari maisir, gharar, dan riba. Lembaga keuangan sebernarnya sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup. Pada saat itu, disebut sebagai lembaga perekonomian  berbentuk Baitul maal, yang merupakan lembaga ekonomi sebagai pengumpul dan pendayaguna harta yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat, infaq, dan shadaqah. Setelah Nabi SAW meninggal, baitul maal tetap diteruskan oleh sahabat Nabi SAW dan semakin berkembang. Salah satu sahabat Nabi SAW yang meneruskan baitul maal ialah Umar bin Khattab. Beliau memprioritaskan penambahan pemasukkan pada baitul maal yang bersumber dari zakat, infaq, shadaqah, dan kharaj. Beliau juga tidak membiarkan harta di baitul maal menumpuk, sehingga sirkulasi dana bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Tujuan utama dari lembaga keuangan Islam ialah untuk menunaikan perintah Allah dalam bidang ekonomi dan muamalah, serta membebaskan masyarakat Islam dari kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Adapun dasar hukum lembaga keuangan Islam ialah QS. Al-Baqarah ayat 175, yang artinya “ orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...
Untuk mengetahui bagaimana lembaga keuangan Islam, dapat dilihat dari ciri-ciri berikut: (1) Adanya Dewan Pengawas Syari’ah, (2) Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution yang berdasarkan kemitraan, bukan hubungan antara debitur dan kreditur, (3) Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit orianted, tetapi juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat, (4) Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam. Selain ciri-ciri tersebut, lembaga keuangan Islam juga memiliki prinsip-prinsip, antara lain prinsip keadilan, prinsiip kesetaraan, prinsip ketentraman, prinsip transparansi, dan prinsip universal.
Seiring dengan perkembangan zaman, jenis-jenis lembaga keuangan saat ini sudah semakin banyak, seperti bank syari’ah, BPR, BAZ, IDB, Bank Umum, BMT, asuransi syari’ah, reksa dana, pegadaian syari’ah, dan obligasi syari’ah. Dari semua jenis lembaga tersebut, terdapat perbedaan antara lembaga keuangan Islam dengan lembaga keuangan Konvensional. Yang membedakan antara keduanya yaitu terletak pada produk-produk dan layanan jasa yang ditawarkan. Selain itu, perbedaan yang sangat menonjol ialah mengenai legalitas keagamaan produk dan layanan jasa tersebut. Lembaga keuangan Islam dalam melakukan sistem transaksinya menggunakan sistem bagi hasil dan bagi rugi. Sedangkan lembaga keuangan konvensional, dalam melakukan sistem transaksinya menggunakan sistem bunga.
 Dalam perkembangan ekonomi global maka terciptakan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang sering disebut sebagai MEA, MEA merupakan sebuah kesepakatan di antara negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai bentuk pertahanan dari goncangan global. perbankan syariah memiliki peluang yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini memiliki ketahanan terhadap krisis. tingkat market share dan profitabilitas industri keuangan syariah kita masih relatif rendah dibanding yang konvensional. Tantangan berikutnya adalah masih rendahnya literasi keuangan masyarakat kita terhadap produk dan jasa keuangan yang ditawarkan lembaga keuangan syariahSelain itu, masih terbatasnya ahli-ahli produk dan jasa keuangan syariah, terutama untuk mendukung inovasi produk/jasa keuangan syariah dan mengevaluasi kelayakan pembiayaan proyek-proyek strategis. Tantangan yang lain adalah masih belum optimalnya pembiayaan bagi proyek-proyek strategis seperti proyek-proyek infrastruktur pemerintah, energi dan eksploitasi sumber daya alam, serta transportasi dan komunikasi.

Daftar Pustaka
Antonio, Syafi’i Muhammad. 2000.  Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek.  Jakarta: Gema Insani Press.
Antonio, Syafi’i Muhammad. 2006. Bank Syari’ah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman. Yogyakarta: Ekonisia.
Djazuli dan Yadi Janwari. 2002. Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hidayat, Aat. 2009. Menenal Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Lubis, Suhrawardi K. 2004. Hukum Ekonomi Islam, Cet.III. Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad. 2009. Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah: Pergulatan melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global. Yoyakarta: Graha Ilmu.
http://putracenter.net/2009/02/26/sekilas-dengan-lembaga-keuangan-syariah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2016 Pkl. 13.35 WIB.
http://www2.jawapos.com/baca/artikel/8786/industri-keuangan-syariah                               menghadapi-mea diakses Tanggal 16 Mei 2016 Pada 06.41 Wib


[1] Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.
[2] Ibid, hlm.11.
[3] Muhammad Syafi’i Antonio, Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 20.
[4] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Cet.III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 34.
[5] http://putracenter.net/2009/02/26/sekilas-dengan-lembaga-keuangan-syariah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2016 Pkl. 13.35 WIB.
[6] Aat Hidayat, Menenal Sistem Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2009), hlm.17.
[7] Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 96.
[8] Muhammad, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah: Pergulatan melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global, (Yoyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 84.
[9] Aat Hidayat, Menenal Sistem Ekonomi Islam..., hlm. 42.
[10] Ibid, hlm. 63.
[11] M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar