Tantangan Lembaga Keuangan Syariah dalam mengahadapi
MEA 2015
oleh
Hesti handayani
1711143028
Hukum Ekonomi Syariah 4B
Abstrak
Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep yang baku. Tetapi dalam
berjalannya waktu, terdapat ijtihad-ijtihad dalam beberapa bidang kehidupan dan
tetap berada pada batasan yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Sehingga
Islam dalam menanggapi masalah-masalah yang ada dalam bidang kehidupan, sesuai
dengan perkembangan zaman.
Demikian juga
dengan sistem ekonomi yang merupakan bagian dari bidang kehidupan. Sistem
ekonomi Islam diharapkan bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada
pada kehidupan manusia, dan tanpa melanggar ketentuan hukum Allah SWT. Seiring
dengan perkembangan zaman, saat ini telah banyak sistem ekonomi yang
bermunculan ditengah masyarakat, misalnya seperti lembaga-lembaga keuangan yang
berbasis Islam.
Untuk mengetahui lebih jelasnya
mengenai lembaga keuangan dalam perspektif Islam, kami akan membahasnya secara
rinci pada makalah ini.
Pembahasan
A.
Sejarah
Lembaga Keuangan Islam
Sebelum
membahas sejarah lembaga keuangan Islam, terlebih dahulu kita ketahui
pengertiannya. Lembaga dapat diartikan sebagai organisasi sosial yang
mengorganisir sekelompok orang yang memiliki tujuan, target, sasaran, dan visi
yang sama untuk menjalankan sebuah usaha sosial. Sedangkan lembaga keuangan
Islam merupakan sebuah lembaga keuangan yang prinsip pengoperasiannya
berdasarkan prinsip-prinsip Islam, dan menghindari maisir, gharar, dan riba.
1.
Masa
Nabi SAW
Lembaga
keuangan, sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi SAW ketika masih hidup. Pada
saat itu, disebut sebagai lembaga perekonomian
berbentuk Baitul maal, yang merupakan lembaga ekonomi sebagai
pengumpul dan pendayaguna harta yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat,
infaq, dan shadaqah.[1]
Selain itu, Baitul maal juga dijadikan sebagai kas atau pembendaharaan
negara dan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a.
Baitul
maal al-khashsh, berfungsi
sebagai kas pembendaharaan negara atau pengeluaran uang dari publik untuk biaya
pribadi kepala negara, perawatan istana, gaji pegawai raja, dan kemaslahatan
umum.
b.
Baitul
maal al-muslim, digunakan
untuk pembangunan dan pemeliharaan fasilitas umum, membantu fakir miskin.
Baitul maal pada masa ini, dapat diidentifikasikan sebagai bank sentral pada
saat ini, karena bisa berindak sebagai penyandang dana negara dan juga memberi
kan pembiayaan (modal) kepada publik.[2]
2.
Masa
Sahabat Nabi SAW
Pada masa ini,
pengelolaan baitul maal terus berkembang. Baitul maal tersebut
berkembang karena tak lepas dari sahabat-sahabat Nabi SAW yang ikut menjalankannya,
dan salah satunya yaitu Umar bin Khathab. Beliau memprioritaskan penambahan
pemasukkan pada baitul maal yang bersumber dari zakat, infaq,
shadaqah, dan kharaj. Umar juga memiliki kebijakan pendayagunaan
tanah “Sawad” yang sekarang ada di Irak dan mengoptimalkan pemanfaatan tanah,
sehingga pendanaan di baitul maal terus bertambah dan semua kebutuhan serta
kesejahteraan bisa terpenuhi. Beliau juga tidak membiarkan harta di baitul
maal menumpuk, sehingga sirkulasi dana bisa berjalan secara efektif dan
efisien.
Selain uraian
diatas, saat ini juga terdapat Lembaga Keuangan Syari’ah. Lembaga tersebut pertama
kali dirintis oleh umat Islam dan dibentuk dalam sebuah organisasi dengan nama
OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Benghazi, Libya pada bulan Maret 1973.
Organisasi tersebut pertama kali mendirikan sebuah lembaga yang diberi nama bank
pembangunan Islami atau Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal
2 Milyar dinar Islam.[3] Dengan
berdirinya IDB, telah memotivasi banyak negara Islam untuk mendirikan lembaga
keuangan syari’ah dalam bentuk bank-bank Islam di beberapa negara, seperti
Saudi Arabia, Dubai, Mesir, dan masih banyak lagi. Pada tahun 1992, Indonesia
mulai mendirikan bank Islam yang diberi nama Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Setelah BMI, mulai bermunculan lembaga-lembaga perbankan lain yang menggunakan
prinsip Syari’ah.
B.
Tujuan
dan Dasar Hukum Lembaga Keuangan Islam
Tujuan utama
didirikannya lembaga keuangan Islam ialah untuk menunaikan perintah Allah dalam
bidang ekonomi dan muamalah, serta membebaskan masyarakat Islam dari
kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Dasar pemikiran
dikembangkannya lembaga keuangan Islam, khususnya di Indonesia bertujuan untuk memberikan
pelayanan kepada sebagian masyarakat Indonesia yang tidak dapat dilayani oleh
lembaga keuangan yang sudah ada, dengan alasan bahwa bank-bank yang telah ada
di Indonesia menggunakan sistem bunga.
Pada dasarnya,
Lembaga Keuangan Islam merupakan sistem yang sesuai dengan ajaran agama Islam
tentang larangan riba dan gharar. Selain itu, lembaga keuangan Islam, mempunyai
falsafah dasar mencari keridhaan Allah untuk memperoleh kebajikan di dunia dan
di akhirat.[4]
Dasar hukum lembaga keuangan Islam dalam beroperasi adalah Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 275.
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
Untuk menjalankan lembaga keuangan yang sesuai dengan prinsip dan
ajaran Islam, maka perlu adanya sifat-sifat yang harus dimiliki oleh setiap
pihak yang ada dalam setiap lembaga keuangan, antara lain:
1.
Siddiq,
yaitu bersikap jujur terhadap diri sendiri, orang lain, dan Allah SWT
2.
Fathinah, yaitu ketika menjalankan tugasnya dalam suatu lembaga
keuangan harus professional,
disiplin, mentaati peraturan, bekerja keras, dan inovatif.
3.
Amanah,
artinya penuh tanggungjawab dan saling menghormati dalam menjalankan tugas dan
melayani mitra usaha.
4.
Tabligh,
artinya bersikap mendidik, membina, dan memotivasi pihak lain untuk meningkatkan
fungsinya sebagai kalifah di muka bumi.
C.
Ciri-Ciri
dan Prinsip-Prinsip Lembaga Keuangan Islam
Lembaga
keuangan Islam memiliki ciri-ciri yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan
konvensional. Adapun ciri-ciri tersebut antara lain:
1.
Adanya
Dewan Pengawas Syari’ah
2.
Hubungan antara investor (penyimpan dana),
pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution
yang berdasarkan kemitraan, bukan hubungan antara debitur dan kreditur
3.
Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya
berdasarkan profit orianted, tetapi juga falah orianted, yakni kemakmuran di
dunia dan kebahagiaan di akhirat
4.
Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan
investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan
syiar Islam.
Selain
ciri-ciri diatas, lembaga keuangan Islam juga memiliki prinsip-prinsip
dalam menjalankan suatu lembaga keuangan, diantaranya:
1.
Prinsip
Keadilan, yakni imbalan atas dasar bagi
hasil dan margin keuntungan ditetapkan atas kesepakatan bersama antara bank dan
nasabah.
2.
Prinsip
Kesetaraan, yakni nasabah sebagai penyimpan
dana dan pengguna dana, sedangkan bank memiliki hak, kewajiban, dan beban
terhadap resiko dan keuntungan yang berimbang.
3.
Prinsip
Ketentraman, bahwa produk
bank syariah mengikuti prinsip dan kaidah muamalah Islam (bebas riba dan
menerapkan zakat harta).[5]
4.
Prinsip Transparansi, yaitu lembaga keuangan
Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan
agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya.
5.
Prinsip Universal, artinya tidak membedakan
suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam
sebagai rahmatan lil alamin.
D.
Jenis Lembaga Keuangan Islam di Indonesia
Sebagaimana yang
kita ketahui, lembaga keuangan menurut ketentuan perundang-undangan dibagi
menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank.[6] Lembaga
keuangan bank dikelompokkan menjadi dua, yaitu bank umum dan Bank Perkreditan
Rakyat (BPR). Sedangkan yang termasuk lembaga keuangan non-bank, antara lain
BMT, Koperasi, Pegadaian, Asuransi, dan Obligasi. Tetapi secara garis besar,
lembaga keuangan Islam saat ini sudah bermacam-macam, diantaranya:
1.
BAZ
(Badan Amil Zakat)
Merupakan suatu
lembaga yang bertugas mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat
sesuai dengan ketentuan agama. Adapun harta yang bisa dizakatkan meliputi hewan
(unta, sapi, kerbau, kambing atau domba, kuda, ternak unggas dan perikanan),
emas perak, harta perniagaan dan perusahaan, dan hasil pertanian.
Dalam pengelolaan
ZIS (zakat,infaq, dan shadaqah) ada beberapa prinsip yang harus dijalankan,
yaitu:
ü Prinsip Keterbukaan, artinya dalam pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah hendaknya
dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh masyarakat umum.
ü Prinsip Sukarela, bahwa dalam pemungutan dan pengumpulan zakat,infaq, dan shodaqoh
BAZIS hendaknya senantiasa berdasar
sukarela dan dalam penyerahan nya tidak ada unsur keterpaksaan dan cara-cara
yang dianggap sebagai suatu pemaksaan.
ü Prinsip Keterpaduan, yakni BAZIZ sebagai organisasi yang berasal dari lembaga swadaya
dalam masyarakat dalam menjalankan fugsinya mesti dialakukan secara terpadu diatara
komponen-komponennya.
ü Prinsip Profesionalisme, berarti dalam pengelolaan zakat, infaq, dan shodaqoh harus
dilakukan oleh orang yang ahli dibidangnya, baik dalam administrasi, keuangan,
dan sebagainya.
2.
Bank
Syari’ah
Merupakan suatu
lembaga keuangan yang dalam operasionalnya sesuai dengan prinsip-prinsip
syari’ah. Adapun ciri-ciri bank syari’ah meliputi:
ü Berdimensi keadilan dan pemerataan, dilakukan dengan cara bagi hasil (mudharabah atau musyarakah).
ü Adanya pemberlakuan jaminan
ü Menciptakan rasa kebersamaan
ü Bersifat mandiri
ü Persaingan secara sehat
ü Adanya dewan pengawas syari’ah.
3.
IDB,
BUS, dan BPRS
a.
IDB (Islamic
Development Bank)
Pendirian IDB sangat
berpengaruh terhadap suburnya pendidikan bank-bank yang prinsip operasionalya
mengacu pada syari’at islam (Bank Islam). Karena setelah berdirinya IDB,
terdapat beberapa negara yang kemudian mendirikan bank-bank Islam, seperti
Mesir, Arab, dan Dubai. IDB memiliki beberapa bagian yaitu Dewan Gubernur,
Dewan Direktur Eksekutif, Presiden, dan Manajemen. Setiap Negara anggota IDB
diwakili oleh seorang Gubernur.
b.
BUS
(Bank Umum Syari’ah)
Bank Umum
Syari’ah adalah bank umum yang operasionalnya menggunakan prinsip-prinsip
syari’ah. Bank Syari’ah ini bisa berbentuk Islamic Commercial Banking dan bisa
pula dalam bentuk Islamic Banking Unit. Islamic Commercial Banking adalah bank
syai’ah yang didirikan secara khusus menggunakan prinsip syari’ah, misalnya
Bank Muamalat Indonesia (BMI) dan Bank Syari’ah Mandiri (BSM). Sedangkan yang
dimaksud dengan Islamic Banking Unit adalah bank konvensional yang membuka unit
usaha syari’ah, seperti Bank Jabar Unit Syari’ah dan BNI Unit Syari’ah.[7]
c.
BPRS
(Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah)
Adalah BPR
biasa yang pola operasionalnya mengikuti prinsip-prinsip ekonomi (syari’at)
islam, terutama bagi hasil. Tujuan dari didirikanya BPRS, antara lain:
o
Meningkatkan
kesejahteraan ekonomi umat islam terutama masyarakat golongan ekonomi lemah
o
Meningkatkan
pendapatan per kapita
o
Menambah
lapangan kerja terutama di kecamatan-kecamatan
o
Mengurangi
Urbanisasi
o
Membina
semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi.
4.
BMT
(Baitul Maal Wa Tamwil)
Adalah balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt
al-mal wa al-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan
investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil dengan anatra
lain mendorong kegiatan menabung dan dan menunjang pembiayaan kegiatan
ekonominya. BMT beroperasi atas dasar sistem syari’ah yang dimaksudkan untuk
menggambarkan kemampuan lembaga keuangan sebagai banknya masyarakat yang kurang
mampu yang sulit disentuh oleh lembaga keuangan formal (bank).[8] Salin
itu, BMT juga bisa menerima titipan zakat, infak, dan sedekah, serta
menyalurkan sesuai dengan peraturan dan amanatnya. Ciri-ciri BMT antara lain:
ü Berorientasi bisnis, mencari laba bersama, meningkatkan
pemanfaatkan ekonomi paling banyak untuk anggota dan lingkungannya
ü Bukan lembaga sosial tetapi dapat dimanfaatkan untuk mengefektifan
penggunaan zakat, infak, dan sedekah bagi kesejahteraan orang banyak.
ü Ditumbuhkan dari bawah berlandaskan peran serta masyarakat
disekitarnya.
ü Milik bersama masyarakat kecil bawah dan kecil dari lingkungan BMT
itu sendiri, bukan milik orang seorang atau orang lain dari luar masyarakat itu.
5.
Reksa
Dana Syari’ah
Merupakan sebuah wadah, dimana masyarakat dapat menginvestasikan
dananya dan oleh pengurusnya ( manager investasi) dana itu diinfestasikan ke
portofolio efek. Reksa dana ini merupakan solusi bagi para pemodal kecil yang
ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil dan
kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksa dana memiliki empat unsur utama
yakni:
ü Masyarakat pemilik modal (rab al-mal)
ü Modal yang disetor oleh masyarakat (mal)
ü Manager infestasi sebagai pengelola modal (amil)
ü Investasi yang dilakukan oleh manager investasi (amal)
6.
Asuransi
Syari’ah
adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam
bentuk asset dan atau tabarru memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.[9] Adapun
prinsip-prinsip asuransi Syari’ah antara lain:
ü Dibangun atas dasar kerjasama
ü Bersifat mudharabah
ü Sumbangan sama dengan hibah, sehingga haram untuk ditarik kembali
ü Setiap anggota yang menyetorkan uangnya selalu disertai dengan niat
membantu orang lain
ü Dilakukan berdasarkan Syari’at Islam.
7.
Pegadaian
Syari’ah
Pegadaian
Syari’ah merupakan lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usaha dengan
prinsip gadai, yang melandaskan seluruh kegiatannya diatas dasar ajaran Islam.[10]
Adapun rukun akad pegadaian Syari’ah ialah rahin, murtahin, sigat,
marhun, dan marhun bih. Selain itu, juga terdapat ketentuan dalam
pegadaian Syari’ah, meliputi:
ü Murtahin berhak menahan barang sampai
semua hutang dilunasi
ü Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin.
ü Pemeliharaan dan penyimanan marhun pada dasarnya menjadi
tanggung jawab rahin
ü Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh
ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman
8.
Obligasi
Syari’ah
Merupakan suatu
surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip Syari’ah yang dikeluarkan emiten
kepada pemegang obligasi Syari’ah yang mewajibkan emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang obligasi Syari’ah berupa bagi hasil, serta membayar
kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
E.
Perbedaan
Lembaga Keuangan Islam Dengan Konvensional
Pada dasarnya
dalam konteks posisinya, lembaga keuangan Islam yang berada ditengah-tengah
masyarakat saat ini sama dengan lembaga keuangan konvensional, yaitu merupakan
lembaga perantara.[11]
Yang membedakan antara keduanya yaitu terletak pada produk-produk dan layanan
jasa yang ditawarkan. Selain itu, perbedaan yang sangat menonjol ialah mengenai
legalitas keagamaan produk dan layanan jasa tersebut.
Lembaga keuangan
Islam, baik dalam menghimpun tabungan investasi masyarakat maupun pembiayaan
bagi dunia usaha tidak mengenal riba, melainkan menggunakan sistem bagi hasil.
Bagi hasil dapat diartikan sebagai total keuntungan pada modal akan dibagi
antara kedua pihak secara adil. Sedangkan riba dapat dikatakan sebagai bunga
bank. Sistem bunga tersebut, dalam lembaga keuangan Islam dianggap merugikan
masyarakat yang bersangkutan dalam suatu lembaga keuangan.
Sedangkan dalam
lembaga keuangan konvensional, dalam melakukan sistem transaksinya menggunakan
sistem bunga. Karena pihak suatu lembaga keuangan tidak mau rugi, meskipun
usahanya sudah memperoleh keuntungan tersendiri, sehingga masyarakat yang
bersangkutan dalam lembaga tersebut dirugikan dengan menanggung bunga bank dan
pihak lembaga tidak mau tau mengenai hal tersebut.
Untuk lebih
jelasnya mengenai perbedaan kedua lembaga keuangan tersebut, dapat dilihat dari
tabel dibawah ini:
|
Lembaga
Keuangan Islam
|
Lembaga
Keuangan Konvensional
|
Prinsip-prinsip
|
-
Keadilan
-
Kesetaraan
-
Ketentraman
-
Transparansi
-
Universal
|
Mengutamakan kepentingan pribadi lembaga keuangan tersebut.
|
Sumber
hukum
|
Ajaran agama Islam (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas)
|
Rasionalitas
|
Tujuan
|
Untuk kepentingan di dunia dan di akhirat
|
Hanya kepentingan di dunia
|
Praktek
transaksi
|
Menggunakan sistem bagi hasil dan bagi resiko
|
Menggunakan sistem bunga
|
Pada BPR
|
Perusahaan
kredit membeli barang kemudian menambahkan
marjin keuntungannya,
setelah itu dihitung cicilannya tetap sampai lunas (murabahah)
|
Meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli suatu barang, di mana uang
tersebut dikenakan bunga kemudian pengembaliannya dicicil
sampai lunas.
|
Pada Asuransi
|
Akadnya adalah tolong menolong sesama peserta asuransi
|
Terjadi transfer resiko dari nasabah ke perusahaan asuransi
|
Pada
Reksa dana
|
Emiten atau instrumennya haruslah comply dengan syariah.
|
Tidak
memperhatikan apakah transaksi tersebut bersifat spekulatif atau tidak
|
Pada
pegadaian
|
-
Mensyaratkan
secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan biaya
jasa simpanan
-
Biaya
administrasi berdasarkan barang
-
Jasa simpanan
berdasarkan simpanan
-
90% uang
pinjaman dari taksiran
|
-
Hanya
melakukan akad utang piutang
-
Menggunakan
praktek fidusia
-
Biaya
administrasi berupa persentase berdasarkan golongan barang
-
Sewa modal
berdasarkan uang pinjaman
-
Terdapat
penggolongan uang pinjaman (golongan A 92%, golongan B, C, D 86-88%)
|
Pada
obligasi
|
-
Memperhatikan
aspek halal/haram suatu produk
-
Berdasarkan
sistem bagi hasil
-
Berdasarkan
akad mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istisna’, dan ijarah
|
-
Hanya
memperhitungkan keuntungan
-
Keuntungan
ditetapkan dari besaran bunga yang diterapkan
-
Tidak
terdapat sistem akad
|
F.
MEA
MEA
merupakan sebuah kesepakatan di antara negara-negara ASEAN dalam rangka
penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai bentuk pertahanan dari goncangan
global. Implementasi kebijakan ini mirip dengan Free Trade Area (FTA) yang akan
yang dilaksanakan pada tahun 2020 nanti, namun dalam cakupan yang lebih kecil
yaitu ASEAN. Kebijakan ini telah direncanakan jauh hari sebelumnya, namun
karena kebutuhan yang mendesak khususnya dalam hal kerja sama bilateral dan
penguatan negara-negara ASEAN dari serangan produk luar negeri maka diajukanlah
implementasi MEA paling lambat tahun 2015.
Dalam
integrasi MEA, terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015
yang dapat dijadikan sebagai momentum yang baik bagi bagsa-bangsa di ASEAN :
Pertama, negara-negara di kawasan ASEAN ini akan dijadikan sebagai sebuah
wilayah kesatuan pasar dan basis produksi.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat
kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi
competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR),
taxation dan e-commerce.
Ketiga, MEA pun akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan
ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM).
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian
global, dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap
negara-negara anggota.
G.
Peluang
Perbankan Syariah dalam MEA
Sebagai
negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi
pelopor dan kiblat pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal ini
bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi dan peluang Indonesia
untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar khususnya dalam
mengahdapi MEA, diantaranya : (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi
potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah,
tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang
ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign
credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat
investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri
keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat
dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Hal yang
paling pokok adalah bahwa industri perbankan syariah memiliki peluang yang
besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem
ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan
solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya
lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini
memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah dibuktikan ketika Krisis
Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative spread, namun bank
Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan terhadap krisis dan
memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Pertama, bank syariah
memberikan dampak yang lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena
lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua,
tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga
mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis keuangan
global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh
perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak.
H.
Tantangan
Perbankan Syariah dalam menghadapi MEA
Dari
beberapa hal di atas, terdapat beberapa tantangan yang harus menjadi perhatian
dalam pengembangan industri jasa keuangan syariah Indonesia. Pertama, tingkat market
share dan profitabilitas industri keuangan syariah kita masih
relatif rendah dibanding yang konvensionalTantangan berikutnya adalah masih
rendahnya literasi keuangan masyarakat kita terhadap produk dan jasa keuangan
yang ditawarkan lembaga keuangan syariah. Selain itu, masih terbatasnya
ahli-ahli produk dan jasa keuangan syariah, terutama untuk mendukung inovasi
produk/jasa keuangan syariah dan mengevaluasi kelayakan pembiayaan
proyek-proyek strategis. Tantangan yang lain adalah masih belum optimalnya
pembiayaan bagi proyek-proyek strategis seperti proyek-proyek infrastruktur
pemerintah, energi dan eksploitasi sumber daya alam, serta transportasi dan
komunikasi.
Kendala
lainnya yang perlu mendapat perhatian serius adalah upaya untuk memenuhi gap
Sumber Daya Insani (SDI) dari tenaga kerja domestik agar tidak diisi oleh
tenaga kerja asing. Perlu disaari bahwa salah satu butir kesepakatan dalam MEA
2015 adalah freedom of movement for skilled and talented labours. Keberadaan
skilled labours adalah faktor penting dalam menghadapi MEA 2015. Bila boleh
dikatakan, barang, jasa, investasi, dan modal semua dikendalikan oleh skilled
labours. Karena itu tenaga kerja (SDM) yang mempuni mutlak dibutuhkan untuk
“memenangkan” tujuan Indonesia dalam MEA. Jika kita jadikan GDP sebagai tolak
ukur atas kualitas skilled labours Indonesia dalam mengendalikan barang, jasa,
dan modal maka dapat kita katakan bahwa kualitas skilled labours Indonesia
masih jauh di bawah tiga negara penghuni kasta teratas yaitu Singapura,
Malaysia dan Thailand. Inilah tantagan yang kita hadapi saat ini. Para sarjana
ekonomi islam yang merupakan mesin penggerak ekonomi yang berbasiskan syariah
itu masih tergolong gagal dalam mengambil hati pasar domestik. Rakyat Indonesia
saat ini masih cenderung menyukai transaksi secara konvensional yang cenderung
liberal dan kapitalis. Para pelaku ekonomi di tanah air ini masih menjadikan
transaksi syariah sebagai pilihan kedua atau bahkan lebih rendah daripada itu.
Inilah bukti bahwa peran dari para sarjana ekonomi islam terhadap perekonomian
Indonesia masih terbilang belum optimal.
Di
antara langkah yang dapat diambil adalah pelaku industri perbankan syariah
dapat bekerjasama mendirikan ‘pusat pendidikan dan pelatihan perbankan syariah’
untuk mencetak tenaga ahli guna memenuhi gap tersebut daripada saling bersaing
dan melakukan ‘pembajakan pegawai’. Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) tentunya
dapat berperan dalam menyediakan tenaga ahli untuk mengajar di pusat pendidikan
dan pelatihan tersebut. Agar lebih terarah dan tepat guna, IAEI juga dapat
membantu melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis-jenis keahlian yang
dibutuhkan oleh industri perbankan syariah sehingga strategi ‘link and match’
dapat dijalankan.
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas, dapat disimpulkan bahwa lembaga keuangan Islam merupakan sebuah lembaga
keuangan yang prinsip pengoerasiannya berdasarkan prinsip-prinsip Islam, dan
menghindari maisir, gharar, dan riba. Lembaga keuangan
sebernarnya sudah ada sejak Nabi SAW masih hidup. Pada saat itu, disebut
sebagai lembaga perekonomian berbentuk Baitul
maal, yang merupakan lembaga ekonomi sebagai pengumpul dan pendayaguna
harta yang bersumber dari umat Islam, seperti zakat, infaq, dan shadaqah.
Setelah Nabi SAW meninggal, baitul maal tetap diteruskan oleh sahabat
Nabi SAW dan semakin berkembang. Salah satu sahabat Nabi SAW yang meneruskan baitul
maal ialah Umar bin Khattab. Beliau memprioritaskan penambahan pemasukkan pada
baitul maal yang bersumber dari zakat, infaq, shadaqah, dan kharaj.
Beliau juga tidak membiarkan harta di baitul maal menumpuk, sehingga
sirkulasi dana bisa berjalan secara efektif dan efisien.
Tujuan utama
dari lembaga keuangan Islam ialah untuk menunaikan perintah Allah dalam bidang
ekonomi dan muamalah, serta membebaskan masyarakat Islam dari kegiatan-kegiatan
yang dilarang oleh agama Islam. Adapun dasar hukum lembaga keuangan Islam ialah
QS. Al-Baqarah ayat 175, yang artinya “ orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba...”
Untuk
mengetahui bagaimana lembaga keuangan Islam, dapat dilihat dari ciri-ciri
berikut: (1) Adanya Dewan Pengawas Syari’ah, (2) Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary
institution yang berdasarkan kemitraan, bukan hubungan antara debitur dan
kreditur, (3) Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit
orianted, tetapi juga falah orianted, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan
di akhirat, (4) Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal
dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam. Selain
ciri-ciri tersebut, lembaga keuangan Islam juga memiliki prinsip-prinsip,
antara lain prinsip keadilan, prinsiip kesetaraan, prinsip ketentraman, prinsip
transparansi, dan prinsip universal.
Seiring dengan
perkembangan zaman, jenis-jenis lembaga keuangan saat ini sudah semakin banyak,
seperti bank syari’ah, BPR, BAZ, IDB, Bank Umum, BMT, asuransi syari’ah, reksa
dana, pegadaian syari’ah, dan obligasi syari’ah. Dari semua jenis lembaga
tersebut, terdapat perbedaan antara lembaga keuangan Islam dengan lembaga
keuangan Konvensional. Yang membedakan antara keduanya yaitu terletak pada
produk-produk dan layanan jasa yang ditawarkan. Selain itu, perbedaan yang
sangat menonjol ialah mengenai legalitas keagamaan produk dan layanan jasa
tersebut. Lembaga keuangan Islam dalam melakukan sistem transaksinya
menggunakan sistem bagi hasil dan bagi rugi. Sedangkan lembaga keuangan konvensional,
dalam melakukan sistem transaksinya menggunakan sistem bunga.
Dalam
perkembangan ekonomi global maka terciptakan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang
sering disebut sebagai MEA, MEA merupakan sebuah kesepakatan di antara
negara-negara ASEAN dalam rangka penguatan di berbagai sektor, terutama sebagai
bentuk pertahanan dari goncangan global. perbankan syariah memiliki peluang
yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan
sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif
dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya
lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini
memiliki ketahanan terhadap krisis. tingkat market share dan profitabilitas
industri keuangan syariah kita masih relatif rendah dibanding yang konvensional.
Tantangan berikutnya adalah masih rendahnya literasi keuangan masyarakat kita
terhadap produk dan jasa keuangan yang ditawarkan lembaga keuangan
syariahSelain itu, masih terbatasnya ahli-ahli produk dan jasa keuangan
syariah, terutama untuk mendukung inovasi produk/jasa keuangan syariah dan
mengevaluasi kelayakan pembiayaan proyek-proyek strategis. Tantangan yang lain
adalah masih belum optimalnya pembiayaan bagi proyek-proyek strategis seperti
proyek-proyek infrastruktur pemerintah, energi dan eksploitasi sumber daya
alam, serta transportasi dan komunikasi.
Daftar Pustaka
Antonio, Syafi’i Muhammad. 2000.
Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
Antonio, Syafi’i Muhammad. 2006. Bank
Syari’ah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan Ancaman. Yogyakarta:
Ekonisia.
Djazuli dan Yadi Janwari. 2002. Lembaga-Lembaga Perekonomian
Umat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hidayat, Aat. 2009. Menenal
Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
Lubis, Suhrawardi K. 2004. Hukum Ekonomi Islam, Cet.III.
Jakarta: Sinar Grafika.
Muhammad. 2009. Lembaga Keuangan
Mikro Syari’ah: Pergulatan melawan Kemiskinan dan Penetrasi Ekonomi Global.
Yoyakarta: Graha Ilmu.
http://putracenter.net/2009/02/26/sekilas-dengan-lembaga-keuangan-syariah/, diakses pada tanggal 3 Maret 2016 Pkl. 13.35 WIB.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20434-industri-perbankan-syariah-menghadapi-masyarakat-ekonomi-asean-mea-2015-peluang-dan-tantangan-kontemporer diakses tanggal 16 Mei 2016 Pukul 06.05 Wib
http://www2.jawapos.com/baca/artikel/8786/industri-keuangan-syariah menghadapi-mea diakses Tanggal 16 Mei 2016
Pada 06.41 Wib
[1]
Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 9-10.
[2] Ibid,
hlm.11.
[3]
Muhammad Syafi’i Antonio, Perbankan Syari’ah dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 20.
[4]
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, Cet.III, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hlm. 34.
[5] http://putracenter.net/2009/02/26/sekilas-dengan-lembaga-keuangan-syariah/,
diakses pada tanggal 3 Maret 2016 Pkl. 13.35 WIB.
[6] Aat
Hidayat, Menenal Sistem Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2009), hlm.17.
[7]
Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 96.
[8]
Muhammad, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah: Pergulatan melawan Kemiskinan dan
Penetrasi Ekonomi Global, (Yoyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 84.
[9]
Aat
Hidayat, Menenal Sistem Ekonomi Islam..., hlm. 42.
[10] Ibid,
hlm. 63.
[11] M.
Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Analisis Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan
Ancaman, (Yogyakarta: Ekonisia, 2006), hlm. 105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar