MAKALAH
FILSAFAT
HUKUM LARANGAN RIBA
Disusun untuk memenuhi mata kuliah “Filsafat Hukum
Islam ”
Dosen Pengampu:
Asmawi, M.Ag
Disusun Oleh:
Kelompok 13
1.
HESTI HANDAYANI (NIM. 1711143028)
2.
ZAINI
ROHMAH (NIM. 1711143090)
FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
2016
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI........................................................................................................ iv
ii BAB
I : PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.
Latar Belakang............................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.
Tujuan Masalah............................................................................................ 1
BAB
II: PEMBAHASAN................................................................................... 2
1. Pengertian
Riba......................................................................................... 2
2. Dasar
Hukum Riba.................................................................................... 3
3.
Tahapan
Pengharaman Riba...................................................................... 3
4.
Hikmah Haramnya
Riba ...........................................................................
5.
Sifat dan
Karakteristik ............................................................................. 4
6.
Maqasid Syariah
dan Riba........................................................................ 6
BAB
III : PENUTUP........................................................................................ 9
KESIMPULAN........................................................................................ 9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... iv
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucap puji syukur alhamdulilah kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “ Filosofi Hukum Larangan Riba ” ini dalam keadaan sehat wal’afiat
tanpa kurang suatu apapun.
Tujuan
utama penulis membuat makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Filosofi Hukum
Larangan Riba dan untuk memenuhi Mata Kuliah Lembaga Keuangan Syariah tahun
pelajaran 2016/2017.
Selesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan pihak-pihak lain, oleh
karena itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Bpk.
Dr. Maftukhin, M.Ag selaku ketua IAIN Tulungagung yang telah memberikan
berbagai fasilitas dalam pembuatan makalah ini.
2. Bpk.
Asmawi, M.Ag dosen pembimbing
mata kuliah Filsafat Hukum Islam.
3. Serta
rekan-rekan semua, khususnya kelas HES IV B yang telah banyak membantu
menyelesaikan makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan agar kedepannya menjadi lebih baik
lagi.
Mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi para mahasiswa dan IAIN Tulungagung pada umumnya.
Tulungagung,
Mei 2016
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Riba
berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian
berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan
kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam
pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar .
Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba,
namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam
secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Umat
islam di larang mengambil riba apapun jenisnya. Larang supaya umat islam tidak
melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan
hadis rasulullah saw. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai keharamanya, sebab hal ini telah di tetapkan berdasarkan nash al-quran
dan sunnah rasulullah SAW, ijma’ (consensus) kaum muslimin, termasuk madzhab
yang empat. Pada artikel ini penulis akan membahas tentang ayat-ayat al-quran
yang mengharamkan riba dan bagaimana tahapan pengharaman riba.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
Pengertian Riba?
2.
Bagimana Dasar
Hukum Larangan Riba?
3.
Bagaimana
Tahapan Pengharaman Riba?
4.
Bagaimana sifat
dak karakterisik Larangan Riba?
5.
Bagaimana
Hubungan Maqasid Syariah dan Riba?
C. TUJUAN
Dalam
penyusunan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan asal mula dan juga kerangka
berfikir tetang Larangan Riba.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Riba
Menurut bahasa atau lugat,
pengertian riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan
menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad
tukarmenukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara adil.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia
yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah :
Ar-Riba atau ar-rima
makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam
konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang
tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah
banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran.[1]
Menurut Dr.
Perry Warjiyo,
Dari pelajaran sejarah masyarakat
Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang kita kenal saat ini
pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, uumnya dalam
presentasi. Istilah “usuary” muncul karena mapannya pasar pada zaman itu
sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”.
Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi
hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum
permintaan dan penawaran.[2]
Dari beberapa pengertian diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan riba adalah tambahan yang
didapat dari hasil transaksi yang diambilnya secara batil atau tidak benar yang
salah satu pihaknya dirasa merugi. Sehingga di dapat bahwa huum riba adalah
Haram.
Andaikata akad Ribawi diperbolehkan
tentu tidak ada artinya lagi akad pinjam
meminjam dan sejenisnya yang merupakan unsur pokok ta’awun khususnya kepada
yang lemah dan yang sangat memelukan bantuan. Selain itu aan menjadikan manusia
malas untuk bekerja yang wajar, mereka berasumsi bahwa hanya dengan santai
tetap mendapatkan uang.
2. Dasar Hukum Larangan Riba
Tentang Riba diatur dalam ajaran Al-Quran yang
melarang Riba dan petunjuk sunah Nabi tentang hal yang sama :
a) QS.
Ar-Rum (30) : 39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ
“
dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah itu, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
Dalam ayat diatas, tidak ada penegasana
mengenai keharaman Riba.di dalam ayat ini hanya menyebutkan perbandingan Riba
dengan zakat, yang nilainya jauh berbeda. Riba (hadiah) membuat manusia suka
(senang) sedangkan zakat yang tujunanya adalah Ridha Allah.
b) QS.
An-Nisa (4) : 161
“Maka
diisebabkan ke zaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dulunya) di halalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan Riba, dan
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka
memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk
orang-ornag yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.
Dalam ayat diatas belum tegas
dinyatakan haramnya riba. Isinya hanya mengndung kecaman terhadap pemkana riba,
keran dipandang memakan harta dengan cara yang batil.
c) QS.
Al-Baqarah (2) : 275-278
“275.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhunya
jual blei itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya,
lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambil
dahulu (sebelum datang larangan), dan urusnnya (terserah kepada Allah). Orang
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya.”
Dalam ayat ini ditegaskan haramnya
Riba. Dan bahkan apabila masih ada sisa kelebihan yang belum dipungut, tidak
boleh lagi dipungut, dan hanya dibenarkan menagih modalnya saja, tidak boleh
lebih. Hal ini berarti, mengambil kelebihan itu tetap tidak boleh.
d) Dalam
Hadist
Dari Abu Rafi’ r.a
katanya Rasulullah SAW. Pernah meminjamkan unta muda usia kepada seseorang.
Setelah itu, ada orang mengantarkan unta sedekah kepada beliau. Lalu nabi SAW.
Menyuruh abu Rafi’ membayar unta muda yang dipinjamkan. Abu Rafi’ mengatakan
kepada beliau : “Ya Rasulullah, belum ada unta muda, yang ada adalah unta pilihan
yang telah dewasa”. Sabda beliau: “berikanlah itu! Sebaik-baik manusia, ialah
yang mengutamakan pelunasan suatu utang.”
Dari hadist diatas dapat diambil esimpulan bahwa
suatu tambahan tidak termasuk Riba apabila[3]:
a. Tambahan
itu tidak diayaratkan di muka atau dijanjikan terlebih dahulu
b. Tambahan
itu inisiatifnya datang dari peminjam
c. Inisiatif
memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo
3. Tahapan Pengharaman Riba
Dalam pengharaman riba terdapat
beberapa tahap, sehingga dapat kita ketahui rahasia pengharaman riba nantinya.
Riba diturunkan dalam empat tahap sebagaimana halnya dengan pengharaman arak,
juga diturunkan dalam empat tahap.
Tahap
pertama, yaitu turunnya Ar-Ruum 39, ayat ini
diturunkan dimekkah yang secara dhahirnya tidak ada isyarat yang menunjukan diharamnkan
riba secara jelas, tetapi sudah mengingatkan bahwa Allah membeci Riba dan
menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai conditioning. Artinya menciptakan
kondisi ummat agar siap mental untuk mentaati larangan riba.
Tahap
kedua, setelah turun ayat peringatan diatas turunlah ayat
kedua yaitu surat an-Nisa 160-161. Ayat ini diturunkan di medinah dan merupakan
pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perbuatan kaum yahudi.
Larangan riba disini juga masih berbentuk isyarat, bukan terangan terangan atau
dalil qoth’I karena ini adalah sebuah kisah, ini juga sama halnya dengan
larangan terhadap arak
Tahap
ketiga, baru pada tahap ketiga inilah larangan riba
dinyatakan secara tegas, dengan turunnya surat Ali Imran 130 di Madinah. Tetapi
larangan ini masih bersifat Juz’iy bukan kulliy. Karena haramnya disini baru
satu dari jenis riba yaitu riba yang paling buruk (fahisy) suatu bentuk riba
yang paling jahat, dimana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh
yang mengutangkan, sedang orang berhutang itu karena sangat membutuhkan dan
terpaksa.
Tahap
keempat, pada tahap ini riba telah diharamkan
secara keseluruhan yaitu surat Al-Baqarah 278-279. Dimana pada ayat ini tidak
lagi membedakan banyak sedikitnya jumlah riba. Dan inilah merupakan ayat
terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Ayat ini
adalah ayat terakhir, senada dengan pengharaman arak. Surat ini dapat dipakai
dalil untuk mengharamkan riba secara mutlak, yaitu haram hukumnya.
4. Hikmah
Diharamkannya Riba
Hikmah
diharamkannya riba tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual
beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik
bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang
buruk.
Rama` yaitu riba.
Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi secara
langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan
sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang
kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.
Para ulama
sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi,
yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum
merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali
dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.
Dalam dua pendapat:
Pertama, Riba tidak
berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang
dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab
Azh Zhahiriyah.
Kedua, Ada illat
yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan
selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.
Pendapat
yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak
mungkin membedakan antara yang serupa. Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan
enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun
kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaat ribawi pada
komoditi tersebut.
Ilaat Ribawi pada emas dan perak.
Yang rojih
dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah
bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan
pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud disini adalah
pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya
adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama sehingga
beliau menyatakan penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah
ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk
dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran
harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya
Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak.
Sedangkan
pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang
dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat
disimpan dalam waktu yang lama. Sehingga yang menjadi standar adalah
keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi
yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi dan diberlakukan
segala hukum yang berkaitan dengannya.
Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
1)
Orang yang mengamati empat komoditi
tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.
2)
Sesungguhnya tujuan dari
diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur
penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal
yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan,
karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.
Inilah
pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam
komoditi tersebut, beliau menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih dari
selainnya. Dengan demikian menjual
komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1)
Barang yang dibarter (ditukar
menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan
gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:
·
Sama dalam kwantitas
·
Pembayaran cash (kontan) di
majelis akad
2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan
jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Berbeda
jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum,
garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu
makanan pokok dan ditakar- atau emas dengan perak – keduanya berbeda jenis,
namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka
diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak
disyaratkan kesamaan kwantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di
atas,
Rasulullah Shallallahu
‘alahi wa sallam menyatakan:
فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا
بِيَدٍ“
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka
kalian, namun harus secara kontan juga..”
Dengan
demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya
diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad.
Kedua: Berbeda
komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas
dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya
maka tidak diwajibkan kesamaan kwantitas dan pembayaran tunai (cash).
5. Sifat dan Karakteristik Larangan Riba
a.
Mengambil bunga berarti mengambil
untuk diri sendiri milik orang lain tanpa memberikan sesuatu sebagai gantinya,
seseorang menerima lebih dari yang dipinjamkan tanpa perlu mengganti kelebihan
tersebut dengan sesuatu
b.
Bergantung pada bunga mengurangi
semangat orang untuk bekerja mendapatkan uang
c.
Mengizinkan membebankan bunga
mengurangi semangat orang untuk berbuat baik terhadap sesama
d.
Riba cenderung menimbulkan perlakuan
tidak jujur atau tidak adil antara satu pihak dengan pihak yang lain.
6. Maqasid Syariah dan Riba
a. Menjaga
agama
Ad-Din terdiri dari akidah, ibadah
dan hukum yang disyariahkan oleh Allah untuk mengatur dan menata hubungan
manusia dengan Tuhannya dan mengelola hubungan antar manusia di mana dengan
hukum itu Allah bermaksud untuk membangun dan menetapkan agama dalam jiwa
manusia dengan cara mengikuti hukum syariah dan menjauhi perilaku dan perkatan
yang dilarang syariah.
Sehubungan dengan pelarangan riba
dengan menjaga agama adalah bahwa orang yang memakan Riba itu akan mendapat
sanksi dari Allah yang begitu besar selain itu dalam hal nya memkaan riba
menjadikan seseorang hanya berpikiran untuk menumpuk harta, dan membanggakan
harta tersebut. Maka dalam hal ini pelarangan riba sangat di ketatkan untuk
menjaga manusia dari hal-hal yang membahayakan agama seperti itu rakus terhadap
harta dan pengambilannya dengan cara yang batil atau tidak benar.
b. Menjaga
Jiwa
Sebagaimana syariah mewajibkan
manusia untuk memelihara diri dengan cara memperoleh atau mendapatkan sesuatu
yang menjadi kebutuhannya seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal.
Islam juga mewajibkan manusia untuk mencegah sesuatu yang membahayakan jiwa karena
itu maka diwajibkanlah qishas dan diyat. Dan diharamkan segala sesuatu yang
akan berakibat pada kerusakan.
Masalahnya dengan Riba bahwa jika
riba dilakukan pelarangan akan menjadikan kerusakan di dalam jiwa manusia, jika
dilihat dari cara pengambilan nya Riba tersebut diambil secara batil atau tidak
benar dan juga akan menjadikan manusia rakus dan tidak mau bekerja karena hanya
dengan duduk santai akan mendapatkan uang dengan sendirinya.
c. Menjaga
Harta
Islam mewajibkan manusia untuk
berusaha mencari rejeki dan membolehkan muamalah atau transaksi jual beli,
barter dan perniagaan. Dalam halnya pelarangan Riba bahwa yang menjadi sektor
utama adalah harta. Dalam mencari harta umat islam dianjurkan untuk memperoleh
dan menggunakan harta secara halal dan tentunya tidak menggunakan Riba.
BAB III
PENUTUP
Dari
penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Larangan riba sebagaimana yang
termuat dalam Al-Qur’an telah di dahului oleh bentuk-bentuk larangan lainnya
yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam prilaku
sosial ekonomi masyarakat Makkah pada masa itu, yang secara luas menimbulkan
dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya.
Riba
dilarang karena juga termasuk dalam kategori mengambil atau memperoleh harta
dengan cara tidak benar, banyak ayat-ayat yang menyebutkan pelarangan riba
secara tegas dan jelas, diantaranya: (Qs .Ali Imran: 130) yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu dapat
keberuntungan”.
Selain di
dalam Al-Qur’an pelarangan riba juga terdapat di dalam hadits, diantaranya
yang di riwayatkan oleh Imam Muslim "Dari Jabir R.A ia berkata :
Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang suka makan riba, orang yang
jadi wakilnya, juru tulisnya, orang-orang yang menyaksikannya, dan selanjutnya
Rasulullah bersabda : “mereka semuanya sama “.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Filsafat
Hukum Islam. Cet. 1. Surabaya: eLKAF, 2006.
Rahman, Penjelasan
Lengkap Hukum-Hukum Allah. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002.
Tim Penyusun
Fakultas Hukum UI, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Predana Media, 2007
(T.N), Hakekat
Riba, diakses dalam https://pengusahamuslim.com/1024-hakekat-riba.html
pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 13.00 wib
Hemel,
Pengertian dan hakekat Riba, diakses dalam http://easyshemel9.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-riba.html
pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 13.20 wib
[1]
Tim Penyusun Fakultas Hukum UI, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Predana Media, Cet. III 2007), 21.
[2]
Perry Warjiyo, “Muslin dan Sumber-sumber Penghasilan”, makalah disampaikan pada
Pengajian Keluarga Muslim Indonesia, Iowa State University, Amerika Serikat,
1991 (dalam Tim Penyusun Fakultas Hukum UI, Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Predana Media, Cet. III 2007) hal. 22
[3]
A. Rahman I, “Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah” , (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2002), hal 477-481
Tidak ada komentar:
Posting Komentar