Sabtu, 18 Maret 2017

Filsafat Hukum Larangan Riba



MAKALAH
FILSAFAT HUKUM LARANGAN RIBA

Disusun untuk memenuhi mata kuliah “Filsafat Hukum Islam

Dosen Pengampu:
Asmawi, M.Ag




Disusun Oleh:
Kelompok 13

1.      HESTI HANDAYANI                                  (NIM.  1711143028)
2.      ZAINI ROHMAH                                         (NIM.  1711143090)





FAKULTAS SYARI’AH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
TULUNGAGUNG
2016

DAFTAR ISI


                                         KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
                                         DAFTAR ISI........................................................................................................ iv
ii                                       BAB I   : PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A.  Latar Belakang............................................................................................. 1
B.  Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C.  Tujuan Masalah............................................................................................ 1
BAB II: PEMBAHASAN................................................................................... 2
1.      Pengertian Riba......................................................................................... 2
2.      Dasar Hukum Riba.................................................................................... 3
3.      Tahapan Pengharaman Riba...................................................................... 3
4.      Hikmah Haramnya Riba ...........................................................................
5.      Sifat dan Karakteristik ............................................................................. 4
6.      Maqasid Syariah dan Riba........................................................................ 6
BAB III   : PENUTUP........................................................................................ 9
KESIMPULAN........................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... iv





 

KATA PENGANTAR


       Dengan mengucap puji syukur alhamdulilah kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Filosofi Hukum Larangan Riba ” ini dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa kurang suatu apapun.
        Tujuan utama penulis membuat makalah ini agar pembaca dapat mengetahui Filosofi Hukum Larangan Riba dan untuk memenuhi Mata Kuliah Lembaga Keuangan Syariah tahun pelajaran 2016/2017.
        Selesainya makalah ini tidak lepas dari bantuan pihak-pihak lain, oleh karena itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1.      Bpk. Dr. Maftukhin, M.Ag selaku ketua IAIN Tulungagung yang telah memberikan berbagai fasilitas dalam pembuatan makalah ini.
2.      Bpk. Asmawi, M.Ag dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Hukum Islam.
3.      Serta rekan-rekan semua, khususnya kelas HES IV B yang telah banyak membantu menyelesaikan makalah ini.
 Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar kedepannya menjadi lebih baik lagi.
Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa dan IAIN Tulungagung pada umumnya.

Tulungagung,   Mei 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Riba berarti menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Umat islam di larang mengambil riba apapun jenisnya. Larang supaya umat islam tidak melibatkan diri dengan riba bersumber dari berbagai surah dalam al-Qur’an dan hadis rasulullah saw. Dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai keharamanya, sebab hal ini telah di tetapkan berdasarkan nash al-quran dan sunnah rasulullah SAW, ijma’ (consensus) kaum muslimin, termasuk madzhab yang empat. Pada artikel ini penulis akan membahas tentang ayat-ayat al-quran yang mengharamkan riba dan bagaimana tahapan pengharaman riba.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.         Bagaimana Pengertian Riba?
2.         Bagimana Dasar Hukum Larangan Riba?
3.         Bagaimana Tahapan Pengharaman Riba?
4.         Bagaimana sifat dak karakterisik Larangan Riba?
5.         Bagaimana Hubungan Maqasid Syariah dan Riba?

C.  TUJUAN
Dalam penyusunan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan asal mula dan juga kerangka berfikir tetang Larangan Riba.

BAB II
PEMBAHASAN
1.    Pengertian Riba
Menurut bahasa atau lugat, pengertian riba artinya ziyadah (tambahan) atau nama’ (berkembang). Sedangkan menurut istilah pengertian dari riba adalah penambahan pada harta dalam akad tukarmenukar tanpa adanya imbalan atau pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara adil.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah :
Ar-Riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh, dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran.[1]
Menurut Dr. Perry Warjiyo,
Dari pelajaran sejarah masyarakat Barat, terlihat jelas bahwa “interest” dan “usury” yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, uumnya dalam presentasi. Istilah “usuary” muncul karena mapannya pasar pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap “wajar”. Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.[2]
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang disebut dengan riba adalah tambahan yang didapat dari hasil transaksi yang diambilnya secara batil atau tidak benar yang salah satu pihaknya dirasa merugi. Sehingga di dapat bahwa huum riba adalah Haram.
Andaikata akad Ribawi diperbolehkan  tentu tidak ada artinya lagi akad pinjam meminjam dan sejenisnya yang merupakan unsur pokok ta’awun khususnya kepada yang lemah dan yang sangat memelukan bantuan. Selain itu aan menjadikan manusia malas untuk bekerja yang wajar, mereka berasumsi bahwa hanya dengan santai tetap mendapatkan uang.
2.    Dasar Hukum Larangan Riba
Tentang Riba diatur dalam ajaran Al-Quran yang melarang Riba dan petunjuk sunah Nabi tentang hal yang sama :
a)    QS. Ar-Rum (30) : 39
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷ŽzÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# Ÿxsù (#qç/ötƒ yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y šcr߃̍è? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$# ÇÌÒÈ  
“ dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah itu, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).”
 Dalam ayat diatas, tidak ada penegasana mengenai keharaman Riba.di dalam ayat ini hanya menyebutkan perbandingan Riba dengan zakat, yang nilainya jauh berbeda. Riba (hadiah) membuat manusia suka (senang) sedangkan zakat yang tujunanya adalah Ridha Allah.
b)   QS. An-Nisa (4) : 161
“Maka diisebabkan ke zaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dulunya) di halalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan Riba, dan padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-ornag yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.
Dalam ayat diatas belum tegas dinyatakan haramnya riba. Isinya hanya mengndung kecaman terhadap pemkana riba, keran dipandang memakan harta dengan cara yang batil.
c)    QS. Al-Baqarah (2) : 275-278
“275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhunya jual blei itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambil dahulu (sebelum datang larangan), dan urusnnya (terserah kepada Allah). Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Dalam ayat ini ditegaskan haramnya Riba. Dan bahkan apabila masih ada sisa kelebihan yang belum dipungut, tidak boleh lagi dipungut, dan hanya dibenarkan menagih modalnya saja, tidak boleh lebih. Hal ini berarti, mengambil kelebihan itu tetap tidak boleh.
d)   Dalam Hadist
Dari Abu Rafi’ r.a katanya Rasulullah SAW. Pernah meminjamkan unta muda usia kepada seseorang. Setelah itu, ada orang mengantarkan unta sedekah kepada beliau. Lalu nabi SAW. Menyuruh abu Rafi’ membayar unta muda yang dipinjamkan. Abu Rafi’ mengatakan kepada beliau : “Ya Rasulullah, belum ada unta muda, yang ada adalah unta pilihan yang telah dewasa”. Sabda beliau: “berikanlah itu! Sebaik-baik manusia, ialah yang mengutamakan pelunasan suatu utang.”
Dari hadist diatas dapat diambil esimpulan bahwa suatu tambahan tidak termasuk Riba apabila[3]:
a.     Tambahan itu tidak diayaratkan di muka atau dijanjikan terlebih dahulu
b.    Tambahan itu inisiatifnya datang dari peminjam
c.     Inisiatif memberikan tambahan itu timbul pada waktu jatuh tempo
3.    Tahapan Pengharaman Riba
Dalam pengharaman riba terdapat beberapa tahap, sehingga dapat kita ketahui rahasia pengharaman riba nantinya. Riba diturunkan dalam empat tahap sebagaimana halnya dengan pengharaman arak, juga diturunkan dalam empat tahap.
Tahap pertama, yaitu turunnya Ar-Ruum 39, ayat ini diturunkan dimekkah yang secara dhahirnya tidak ada isyarat yang menunjukan diharamnkan riba secara jelas, tetapi  sudah mengingatkan bahwa Allah membeci Riba dan menyukai zakat, sehingga ayat ini sebagai conditioning. Artinya menciptakan kondisi ummat agar siap mental untuk mentaati larangan riba.
Tahap kedua, setelah turun ayat peringatan diatas turunlah ayat kedua yaitu surat an-Nisa 160-161. Ayat ini diturunkan di medinah dan merupakan pelajaran yang dikisahkan Allah kepada kita tentang perbuatan kaum yahudi. Larangan riba disini juga masih berbentuk isyarat, bukan terangan terangan atau dalil qoth’I karena ini adalah sebuah kisah, ini juga sama halnya dengan larangan terhadap arak
Tahap ketiga, baru pada tahap ketiga inilah larangan riba dinyatakan secara tegas, dengan turunnya surat Ali Imran 130 di Madinah. Tetapi larangan ini masih bersifat Juz’iy bukan kulliy. Karena haramnya disini baru satu dari jenis riba yaitu riba yang paling buruk (fahisy) suatu bentuk riba yang paling jahat, dimana hutang itu bisa berlipat ganda yang diperbuat oleh yang mengutangkan, sedang orang berhutang itu karena sangat membutuhkan dan terpaksa.
Tahap keempat, pada tahap ini riba telah diharamkan secara keseluruhan yaitu surat Al-Baqarah 278-279. Dimana pada ayat ini tidak lagi membedakan banyak sedikitnya jumlah riba. Dan inilah merupakan ayat terakhir turunnya, yang berarti merupakan syariat yang terakhir pula. Ayat ini adalah ayat terakhir, senada dengan pengharaman arak. Surat ini dapat dipakai dalil untuk mengharamkan riba secara mutlak, yaitu haram hukumnya.
4.    Hikmah Diharamkannya Riba
Hikmah diharamkannya riba tidak diketahui oleh banyak orang, karena secara zhahir jual beli ini tidak mengandung manipulasi. Karena satu hal yang logis dan aksiomatik bahwa yang jelek tidak sama dengan yang bagus, yang baik tidak sama dengan yang buruk.
Rama` yaitu riba. Karena kalau Allah melarang kita mengambil kelebihan dalam jual beli komoditi secara langsung, padahal kelebihan itu karena kwalitas, kriteria, bentuk dan sejenisnya, maka lebih layak dan lebih masuk akal lagi bila Allah melarang kelebihan yang tidak ada imbalannya, tapi hanya semata-mata penangguhan waktu.
Para ulama sepakat riba berlaku pada enam jenis harta yang ada dalam hadits-hadits Nabi, yaitu: emas, perak, kurma, Asy Sya’ir (gandum), Al Burr (Gandum merah) dan garam. Sehingga tidak boleh menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, kecuali dengan sama berat dan kontan (cash) di majelis akad transaksi.

Dalam dua pendapat:
Pertama, Riba tidak berlaku pada selain enam komoditi tersebut dan tidak ada illat yang dapat dijadikan dasar dalam menganalogikan selainnya. Inilah pendapat madzhab Azh Zhahiriyah.
Kedua, Ada illat yang menjadikannya sebagai komoditi ribawi sehingga dapat dianalogikan selainnya. Inilah pendapat mayoritas ahli fikih.
Pendapat yang rajih adalah pendapat mayoritas ahli fikih, karena syari’at secara umum tidak mungkin membedakan antara yang serupa. Mayoritas Ahli Fikih menyetarakan dengan enam komoditi itu segala komoditi yang sama fungsinya (ilaat-nya). Namun kemudian, mereka berbeda pendapat dalam penentuan ilaat ribawi pada komoditi tersebut.
Ilaat Ribawi pada emas dan perak.
Yang rojih dari pendapat para ulama tentang illat ribawi dalam emas dan perak adalah bernilainya (Ats Tsamaniyah). Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan pengertian ats-Tsamaniyah dengan menyatakan: Yang dimaksud disini adalah pembicaraan tentang illat ribawi pada dinar dan dirham. Yang rojih illatnya adalah ats-Tsamaniyah bukan timbangan sebagaimana pendapat mayoritas ulama sehingga beliau menyatakan penentuan illat (ta’liel) dengan ats-Tsamaniyah adalah ta’liel dengan sifat yang pas, karena maksud dari al-Atsmaan adalah untuk dijadikan standar ukuran harta benda yang mengantar kepada pengenalan ukuran harta benda bukan untuk dimanfaatkan jenisnya
Ilaat Ribawi pada selain emas dan perak.
Sedangkan pada selain emas dan perak maka illat ribawi adalah makanan pokok yang dapat disimpan (Muddakhor), yaitu menjadi makanan pokok orang dan dapat disimpan dalam waktu yang lama. Sehingga yang menjadi standar adalah keberadaannya sebagai bahan makanan pokok dan bisa disimpan. Setiap komoditi yang memiliki dua kriteria tersebut, berarti termasuk komoditi dan diberlakukan segala hukum yang berkaitan dengannya.
Alasan kebenaran pendapat ini adalah sebagai berikut:
1)   Orang yang mengamati empat komoditi tersebut, pasti akan mendapatkan kedua kriteria ini padanya.
2)   Sesungguhnya tujuan dari diharamkannya riba adalah memelihara harta manusia dan menghilangkan unsur penipuan dalam jual beli mereka, maka hal itu harus dibatasi dengan hal-hal yang amat dibutuhkan oleh mereka, seperti makanan pokok yang bisa disimpan, karena keduanya adalah dasar pencarian nafkah dan tulang punggung kehidupan.
Inilah pendapat yang dirojihkan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menjelaskan pendapat para ulama seputar ilaat ribawi pada enam komoditi tersebut, beliau menyatakan: “Inilah pendapat yang paling rajih dari selainnya. Dengan demikian menjual komoditi ribawi ini tidak lepas dari dua keadaan:
1)   Barang yang dibarter (ditukar menukarkan) keduanya dari satu jenis, seperti kurma dengan kurma, gandum dengan gandum, garam dengan garam, jagung dengan jagung. Maka disyaratkan dua syarat:
·         Sama dalam kwantitas
·         Pembayaran cash (kontan) di majelis akad
2. Apabila komoditi ribawi yang ditukar berlainan jenis, maka tidak lepas dari dua keadaan:
Pertama: Berbeda jenis namun sama dalam ilaat ribawinya, seperti kurma dengan gandum, garam dengan gandum, -keduanya berbeda jenis namun satu ilaat-nya yaitu makanan pokok dan ditakar- atau emas dengan perak – keduanya berbeda jenis, namun satu ilaat-nya yaitu bernilai tukar (Ats Tsamniyah). Maka diwajibkan padanya pembayaran cash (kontan) di majelis akad dan tidak disyaratkan kesamaan kwantitas. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shamit di atas,

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam menyatakan:
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ“
“Kalau berlainan jenis, silakan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga..”
Dengan demikian bila berbeda jenisnya, namun satu ilaat ribawinya, maka hanya diwajibkan pembayaran cash dalam majelis akad.
Kedua: Berbeda komoditi ribawi yang ditukar dalam jenis dan ilaat-nya, seperti emas dengan gandum atau beras dengan perak. Apabila berbeda jenis dan ilaat-nya maka tidak diwajibkan kesamaan kwantitas dan pembayaran tunai (cash).
5.    Sifat dan Karakteristik Larangan Riba
a.         Mengambil bunga berarti mengambil untuk diri sendiri milik orang lain tanpa memberikan sesuatu sebagai gantinya, seseorang menerima lebih dari yang dipinjamkan tanpa perlu mengganti kelebihan tersebut dengan sesuatu
b.        Bergantung pada bunga mengurangi semangat orang untuk bekerja mendapatkan uang
c.         Mengizinkan membebankan bunga mengurangi semangat orang untuk berbuat baik terhadap sesama
d.        Riba cenderung menimbulkan perlakuan tidak jujur atau tidak adil antara satu pihak dengan pihak yang lain.
6.    Maqasid Syariah dan Riba
a.    Menjaga agama
Ad-Din terdiri dari akidah, ibadah dan hukum yang disyariahkan oleh Allah untuk mengatur dan menata hubungan manusia dengan Tuhannya dan mengelola hubungan antar manusia di mana dengan hukum itu Allah bermaksud untuk membangun dan menetapkan agama dalam jiwa manusia dengan cara mengikuti hukum syariah dan menjauhi perilaku dan perkatan yang dilarang syariah.
Sehubungan dengan pelarangan riba dengan menjaga agama adalah bahwa orang yang memakan Riba itu akan mendapat sanksi dari Allah yang begitu besar selain itu dalam hal nya memkaan riba menjadikan seseorang hanya berpikiran untuk menumpuk harta, dan membanggakan harta tersebut. Maka dalam hal ini pelarangan riba sangat di ketatkan untuk menjaga manusia dari hal-hal yang membahayakan agama seperti itu rakus terhadap harta dan pengambilannya dengan cara yang batil atau tidak benar.
b.    Menjaga Jiwa
Sebagaimana syariah mewajibkan manusia untuk memelihara diri dengan cara memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang menjadi kebutuhannya seperti makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Islam juga mewajibkan manusia untuk mencegah sesuatu yang membahayakan jiwa karena itu maka diwajibkanlah qishas dan diyat. Dan diharamkan segala sesuatu yang akan berakibat pada kerusakan.
Masalahnya dengan Riba bahwa jika riba dilakukan pelarangan akan menjadikan kerusakan di dalam jiwa manusia, jika dilihat dari cara pengambilan nya Riba tersebut diambil secara batil atau tidak benar dan juga akan menjadikan manusia rakus dan tidak mau bekerja karena hanya dengan duduk santai akan mendapatkan uang dengan sendirinya.
c.    Menjaga Harta
Islam mewajibkan manusia untuk berusaha mencari rejeki dan membolehkan muamalah atau transaksi jual beli, barter dan perniagaan. Dalam halnya pelarangan Riba bahwa yang menjadi sektor utama adalah harta. Dalam mencari harta umat islam dianjurkan untuk memperoleh dan menggunakan harta secara halal dan tentunya tidak menggunakan Riba.


BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Larangan riba sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an telah di dahului oleh bentuk-bentuk larangan lainnya yang secara moral tidak dapat ditoleransi. Larangan ini tercermin dalam prilaku sosial ekonomi masyarakat Makkah pada masa itu, yang secara luas menimbulkan dampak kerugian yang besar dalam komunitasnya. 
Riba dilarang karena juga termasuk dalam kategori mengambil atau memperoleh harta dengan cara tidak benar, banyak ayat-ayat yang menyebutkan pelarangan riba secara tegas dan jelas, diantaranya: (Qs .Ali Imran: 130) yang artinya  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu dapat keberuntungan”.
Selain di dalam Al-Qur’an pelarangan riba juga terdapat di dalam hadits, diantaranya  yang di riwayatkan oleh Imam Muslim "Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknati orang-orang yang suka makan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya, orang-orang yang menyaksikannya, dan selanjutnya Rasulullah bersabda  : “mereka semuanya sama “.


       
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Filsafat Hukum Islam. Cet. 1. Surabaya: eLKAF, 2006.
Rahman, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah. Ed. 1. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Tim Penyusun Fakultas Hukum UI, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Predana Media, 2007
(T.N), Hakekat Riba, diakses dalam https://pengusahamuslim.com/1024-hakekat-riba.html pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 13.00 wib
Hemel, Pengertian dan hakekat Riba, diakses dalam http://easyshemel9.blogspot.co.id/2012/05/pengertian-riba.html pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 13.20 wib



[1] Tim Penyusun Fakultas Hukum UI, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Predana Media, Cet. III 2007), 21.
[2] Perry Warjiyo, “Muslin dan Sumber-sumber Penghasilan”, makalah disampaikan pada Pengajian Keluarga Muslim Indonesia, Iowa State University, Amerika Serikat, 1991 (dalam Tim Penyusun Fakultas Hukum UI, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Predana Media, Cet. III 2007) hal. 22
[3] A. Rahman I, “Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah” , (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hal 477-481

Tidak ada komentar:

Posting Komentar