Sabtu, 18 Maret 2017

Perjanjian Khusus dalam Hukum Perdata



“PERJANJIAN KHUSUS”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah HUKUM PERDATA
Dosen Pembimbing :

Indri Hadisiswati, SH., M.Hum


Disusun Oleh :
Kelompok  5
Hesti Handayani                             (1711143028)
Indriani                                           (1711143028)
Laily Tazkiah                                  (1711143028)
Suckma Choliardika                        (1711143028)
Zaini Rohmah                                 (1711143028)

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG 2015

KATA PENGANTAR
Assalamualaiakum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena dengan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami telah menyelesaikan makalah dengan judul sewa-menyewa dan jual beli menurut Hukum Perdata
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dan untuk membantu rekan-rekan mahasiswa serta pembaca pada umumnya dalam mempelajari dan sebagai informasi serta untuk menambah wawasan khususnya mengenai Hukum Perdata
Penulis menyadari makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa dukungan, binaan.serta bimbingan dari dosen dan pihak yang mendukung.
Kami selaku penyusun mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Dr.Maftukhin, M.Ag selaku Rektor Institut Agama Islam Negri Tulungagung
2.      Indri Hadiswati, SH., M.Hum selaku dosen mata kuliah Hukum Perdata
3.      Semua pihak yang peduli terhadap kami,demi terwujudnya makalah ini
Demikian yang dapat kami sampaikan,kami menyadari atas kekurangan dalam menyusun makalah. Untuk itu kami mohon maaf dan mohon kritik serta saran yang membangun dengan harapan kedepan lebih baik dan sempurna. Kami mengucapkan terimakasih dan semoga makalh ini benar-benar bermanfaat. Amiin
Tulungagung, februari 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
Kata pengantar                  …………..….………………………………….......i
Daftar Isi        ………………………………………………….…………….....ii
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang………………………………………………………....1
B.     Rumusan masalah ..…………………………………………………….1
C.     Tujuan Pembahasan    ………………………………………………….1
Bab II Pembahasan
A.    Perjanjian sewa-menyewa                   ………… ………………………2
B.     Perjanjiian jual-beli                              ………………………………….6
C.     Perjanjian tukar-menukar                    ………………………………….13
D.    Perjanjian sewa beli                             ………………………………….14
Bab III Penutup
       Kesimpulan          ……………………………....………………………….17
Daftar pustaka     ………………………………………………………….19

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seseorang atau lebih berjanji untuk melakukan sesuatu kepada orang lain. Hal ini merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara orang-orang yang membuatnnya.
Di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenal berbagai perjanjian, contoh perjanjian yang sering ditemui antara lain jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain. Karena perjanjian tersebut sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan masih banyak masyarakat yang belum paham akan hal itu.
Pada makalah ini kami akan menjelaskan empat macam perjanjian yakni perjanjian sewa-menyewa, perjanjian jula beli, perjanjian tuar-menukar, dan perjanjian sewa beli.

B.  Rumusan Masalah
1)      Bagaimanakah perjanjian sewa menyewa dalam hukum perdata?
2)      Bagaimanakah perjanjian jual-beli dalam hukum perdata?
3)      Bagaimanakah perjanjian tukar menukar dalam hukum perdata?
4)      Bagiamanakah perjanjian sewa beli dalam hukum perdata?

C.  Tujuan Makalah
1)                              Menjelaskan perjanjian sewa-menyewa dalam hukum perdata
2)                              Menjelaskan perjanjian jual-beli dalam hukum perdata
3)                              Menjelaskan perjanjian tukar-menukar dalam perdata
4)                              Menjelaskan perjanjian sewa beli dalam perdata



BAB II
PEMBAHASAN
Perjanjian khusus atau yang disebut juga perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah mempunya nama-nama sendiri yang diberikan oleh pembuat undang-undang berdasarkan tipe-tipe atau bentuk-bentuk yang benyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus yang ada dalam KUHPerdata disebutkan dalam buku ke-III, dimulai pada Bab ke-V sampai pada Bab ke-XVIII. Adapun penjelasan-penjelasan lebih rinci mengenai bentuk-bentuk perjanjian khusus tersebut sebagai berikut :
1.    Perjanjian Sewa –menyewa
a)   Definisi
Sewa menyewa diatur dalam pasal 1548 sampai dengan pasal 1600 KUH perdata. Perjanjian sewa menyewa adalah salah satu perjanjian dengan mana pihak yang satu (yang menyewakan) mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu barang kepada pihak lainnya (penyewa) untuk digunakan dalam waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang telah disanggupi pihak tersebut (Pasal 1548 KUHPerdata). Semua jenis barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Definisi lainnya menyebutkan bahwa perjanjian sewa menyewa adalah “persetujuan untuk pemakaian sementara suatu benda, baik bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.” (Algra, dkk., 1983:199)
Pada dasarnya sewa menyewa dilakukan untuk waktu tertentu. Persewaan tidak berakhir dengan meninggalnya orang yang menyewakan atau penyewa. Begitu juga karena barang yang disewakan pindah tangankan.
Unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sewa menyewa adalah: [1]
a.       Adanya pihak yang menyewakan dan pihak penyewa
b.      Adanya konsensus antara kedua belah pihak
c.       Adanya objek sewa menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak.
d.      Adanya kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan
e.       Adanya kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran kepada pihak yang menyewakan.

b)   Subjek dan objek sewa menyewa
Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
Yang menjadi objek dalam perjanjian sewa menyewa adalah barang dan harga. Dengan syarat barang yang di sewakan adalah barang yang halal, artinya tidak bertentangan dengan undang-undang ketertiban, dan kesusilaan.[2]

c)    Bentuk dan substansi perjanjian sewa-menyewa
Di dalam KUHperdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak oleh karena itu, perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Dalam perjanjian sewa menyewa bangunan, khususnya dalam praktik dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau Notaris. Akan tetapi yang paling dominan dalam menentukan substansi kontrak adalah dari pihak yang menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang lemah. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.[3]



d)   Kewajiban pihak yang menyewakan
Menurut Pasal 1550-1554 KUHPerdata, kewajiban dari pihak yang menyewakan adalah:
1)   Menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa
2)   Memelihara barang yang disewakan dengan baik
3)   Menjamin terhadap penyewa untuk dapat memakai dan menggunkan barang yang disewa dengan aman selama berlakunya perjanjian sewa-menyewa
4)   Menanggung segala kekurangan dari barang yang disewakan yang dapat merintangi pemakaian barang itu, walaupun pihak yang menyewakan tidak mengetahuinya sejak perjanjian sewa dibuat
5)   Mengganti kerugian akibat cacadnya barang sewa
6)   Tidak diperkenankan selama waktu sewa merubah wujud amupun tataan barang yang disewakan.
e)    Kewajiban pihak penyewa
Menurut Pasal 1559-1566 KUHPerdata, kewajiban si penyewa adalah:
1)   Membayar uang sewa pada waktu yang telah ditentukan
2)   Memakai barang yang disewa sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya
3)   Mengganti kerugian untuk segala kerusakan yang disebabkan oleh penyewa sendiri, atau oleh orang-orang yang ada dalam rumah yang disewa selama waktu sewa.
4)   Mengembalikan barang barang  yang disewa dalam keadaan semula apabila perjanjian sewa-menyewa telah habis waktunya.
5)   Menjaga barang yang disewa sebagai tuan rumah yang baik.
6)   Tidak diperbolehkan menyewakan lagi barang sewaannya kepada orang lain.
f)    Risiko dalam perjanjian sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa dapat batal demi hukum apabila berang yang disewakan sama sekali usnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja (Pasal 1553 ayat 1 KUHPerdata)[4]. Resiko adalah suatu ajaran yang mewajibkan seseorang untuk memikul suatu kerugian, jikalau ada suatu kejadian diluar kemampuan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Dalam perjanjian sewa menyewa ini, barang itu berada pada pihak penyewa. Musnah atas barang objek sewa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu musnah secara total dan musnah sebagiandari objek sewa.
a.    Jika barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara keseluruhan di luar kesalahannya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur demi hukum dan yang menanggung resiko atas musnahnya barang tersebut adalah pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH Perdata). Artinya, pihak yang menyewakan yang akan memperbaikinya dan menanggung segala kerugiannya.
b.    Jika barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa atau akan meminta pembatalan perjanjian sewa-menyewa ( pasal 1553 KUH Perdata). Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal itu, namun ia tidak dapat menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan (Pasal 1553 KUH perdata)[5]

g)        Berakhirnya perjanjian sewa-menyewa
Berakhir suatu perjanjian sewa-menyewa adalah apabila:
1)   Waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah habis (Pasal 1570 KUHPerdata).
2)   Salah satu pihak memutuskan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1571 KUHPerdata).
Selanjutnya menurut Pasal 1576 ayat (1) KUHPerdata, dengan dijualnya barang yang disewa, maka tidak memutuskan hubungan sewa. Artinya, yang tidak putus hubungannya hanya hak sewanya, sedangkan hak lainnya putus. Sedangkakn menurut Pasal 1575 KUHPerdata, perjanjian sewa tidak sekali-kali hapus dengan meninggalnya pihak yang menyewakan maupun dengan meninggalnya pihak yang menyewa.
2.    Perjanjian Jual-beli
a.    Definisi
Perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang satu (penjual) berjanji akan menyerahkan suatu barang, dan pihak lain (pembeli) akan membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata). Unsur pokok perjanjian jual beli adalah “barang dan barang”. Perjanjian jual beli bersifat konsensual yang ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH-Perdata, yang berbunyi: “Jual beli dianggap sudah terjadi setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun benda tersebut belum diserahkan dan harga belum dibayar.” (syahmin AK.,S.H.,M.,H. ,hal 50-51).
Di dalam akta perjanjian jual beli harus dengan tegas dibuat apa saja yang menjadi hak dan keajiban para pihak. Ada dua keajiban utama pihak penjual, yaitu: (a) menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan; (b) menanggung kenikmatan tenteram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
Sementara itu, kewajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian. Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian, sesuai dengan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH-Perdata yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 1266 KUH-Perdata merumuskan:
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, hakim adalah leluasa menurut keadaan, atas permintaan tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan.

Pasal 1267 KUH-Perdata menegaskan :
Pihak terhadap siapa perikatan tidak terpenuhi dapat memilih apakah ia jika hal itu masih dapat di lakukan akan memaksa pihak yang akan memenuhi persetujuan, di sertai pengantian biaya kerugian dan bunga.
Dalam pelaksanaan perjanjian perlu di pertimbangkan peristiwa yang mungkin akan terjadi, apabila terjadi dan membawa kerugian, siapa yang menanggung resiko kerugian. Oleh karena itu, mengenai resiko sebaiknya ditegaskan dalam perjanjian. Resiko adalah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluarkesalahan salah satu pihak. Mengenai resiko dalam KUH-perdata telah ditentukan sebagai berikut :
  1. Mengenai barang tertentu, diatur dalam pasal 1460 yang berbunyi sebagai berikut
jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah di tentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya.
  1. Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, menurut ketentuan pasal 1461 adalah sebagai berikut.
Jika barang-barang tidak dijual menurut tumpukan, tetapi menurut berat, jumlah atau ukuran, maka barang-barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang ditimbang, dihiting atau diukur.
  1. Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan, maka menurut ketentuan pasal 1462 adalah sebagai berikut.
Jika sebaliknya barang-barangnya dijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung, atau diukur.[6]
Salah satu sifat yang penting dari jual beli menurut sistem kitab undang-undang Hukuk Perdata, adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya bersifat obligator yang berarti bahwa jual beli belum memindahkan hak milik, ia baru memberikan hak dan meletakkan kewajiban kepada kedua belah pihak yaitu meberikan kepada si pembeli hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang dijual. [7]
b.   Momentum Terjadinya Kontrak Jual Beli
Pada dasarnya,terjadinya kontrak jual beli antara pihak penjual dan pembeli adalah pada saat terjadinya persesuaian kehendak dan pernyataan diantara mereka tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar lunas (pasal 1458 KUH perdata). Walaupun telah terjadinya penyesuan antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan (levering) benda. Penyerahan ini tergantung pada jenis bendanya.
a.       Benda bergerak.
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
b.      Piutang atas nama dan benda tidak bertubuh.
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tidak bertubuh lainya dilakukan dengan sebuah akta autentik atau akta di bawah tangan.
c.         Benda tidak bergerak.
Untuk benda tidak bergerak, penyerahanya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di Kantor Penyimpanan Hipotek.
d.        Benda atau barang yangsudah di tentukan (pasal 1460 KUH perdata).
Benda atau barang yang sudah di tentukan di jual maka barang itu saat pembelian menjadi tanggungan si pembeli, walaupun barang itu belum di serahkan (pasal 1460 KUH perdata). Namun ketentuan itu telah di cabut dengan SEMA nomer 3 tahun 1963, sehingga ketentuan ini tidak dapat di terapkan secara tegas namun penerapannya harus memperhatikan :
1)      Bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu, dan
2)      Bergantung pada yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut.
e.       Benda menurut berat, jumlah, atau ukuran (pasal 1461 KUH perdata)
Barang yang dijual menurut berat, jumlah,atau ukuran, tetap menjadi tanggungan si penjual hingga barang itu ditimbang, dihtung atau diukur. Jadi, sejak terjadinya penimbagan perhitungan, dan pengukuran atas barang maka tanggung jawab atas benda tersebut beralih kepada si pembeli.
f.       Jual beli tumpukan (pasal 1462 KUH perdata).
Jika barang yang dijual menurut tumpukan maka sejak terjadinya kesepakatan tentang harga dan barang maka sejak saat itulah barang-barang itu menjadi tanggung jawab si pembeli walaupun baramg itu belum ditimbang, dihitung, atau diukur.
g.      Jual beli percobaan (pasal 1463 KUH perdata).
Jual beli percobaan merupakan jual beli dengan syarat tangguh.
h.        Jual beli dengan sistem panjar (pasal 1464 KUH perdata).
Jual beli dengan sistem panjar merupakan suatu jual beli yang diadakan antara penjual dan pembeli. Di dalam jual beli itu pihak pembeli menyerahkan uang petschot/panjar atas harga barang sesuai kesepakatan antara kedua belah pihak tersebut. Jual beli dengan sistem ini salah satu pihak tidak dapat meniadakan pembelian itu dengan menyuruh memiliki atau mengembalikan uang pinjamannya.
Tentang peyerahan barang ini dilakukan secara yuridis. Dan sebagaimana telah diketahui bahwa penhyerahan barang dalam artian yuridis ada tiga macam yakni :
a.    Penyerahan barang bergerak dilakukan dengan penyerahan secara nyata atau menyerahakan kekuasaan barangnya (pasal 612 kitab Udang-Undang Hukum Perdata).
b.    Penyerahan barang tidak bergerak terjadi pengutipa sebuah kata “akta transport” dalam register nama di depan Pegawai Balik Nama ( Orodonasi Balik Nama L.N. 1834-27). Sejak berlakunya Undang- Undang pokok Agraria (UU  No.5 Tahun 1990) dengan pembuatan aktanya jaul beli oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah).
c.    Penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang diberikan kepada si beruatang (akta “cessie”, pasal 613).[8]

c.    Subjek Dan Objek Jual Beli
pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli, yaitu bertindak sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun, secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakuakan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini:
a.    Jual beli antara suami istri.
Pertimbangan hukum tidak di perkenankan jual beli antara suami dan istri adalah karena mereka sejak terjadi perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi percampuran harta, yang disebut harga bersama, kecuali ada perjanjian kawin namun itu ada pengecualiannya, yaitu
1)    Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istrimenurut hukum.
2)    Jika penyerahan dilakuan oleh seorang suami kepada istrinya, juga dari siapa ia di pisahkan berdasarkan kepda suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah di jual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu di kecualikan dari persatuan.
3)     Jika si isrti menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang telah ia janjikan yang telah ia janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
b.        Jual beli oleh para hakim, jaksa, advokat, pengacara, juru sita, dan notaris.
Para pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk pengantian biaya, rugi, dan bunga.
    Yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan tidak bergerak.sedangkan yang tidak di perkenankan untuk tidak diperjualbelikan adalah
1)      Benda atau barang orang lain,
2)      Barang yang tidak diperkenankan olehundang-undang, seperti jual beli narkotika,
3)      Bertentangan dengan ketertiban.
Apabila hal itu tetap dilakukan maka jual beli itu batal demi hukum.     Kepada penjual dapat di tuntut pengantian biaya, kerugian, dan bunga.
d.   Bentuk dan substansi perjanjian jual beli
Di dalam KUH Perdata tidak ditentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian jual beli. Bentuk perjanjian jual beli dapat dilakukan secara lisan dan maupun tertulis. Perjanjian jual beli secara lisan cukup dilakukan berdasarkan konsensus para pihak tentang barang dan harga. Sedangkan perjanjian jual beli secara tertulis merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tertulis, apakah itu dalam bantuk akta dibawah tangan maupun autentik. Didalam perjanjianjual beli tanah, biasanya dibuat dalam akta auntetntik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jual beli tanah adalah Camat dan atau Notaris PPAT. Biasanya akta jual beli tanah tersebut telah ditentukan bentuknya dalam sebuah formulir. Para Camat dan Notaris PPAT tinggal mengisi hal-hal yang kosong dalam akta jual beli tersebut.
a.    Saat terjadinya jual-beli
Jual-beli ini dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketiak setelah kedua belah pihak mencapai kata sepakat tentang barang dan harganya, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar (Pasal 1458 KUHPerdata). Hal ini sesuai dengan asas konsensualitas dalam perjanjian.
b.    Jual-beli yang batal
Jual-beli barang orang lain adalah batal, dan dapat memberikan dasar untuk menggantikan biaya kerugian dan bunga jika si pembeli tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain (Pasal 1471 KUHPerdata). Jika pada saat penjualan, barang yang dijual sama sekali telah musnah, maka pembelian adalah batal. Tetapi apabila yang musnah hanya sebagian saja, maka pembeli dapat memilih antara pembelian atau pembatalan sisa barang (Pasal 1472 KUHPerdata).
c.    Resiko dalam Jual-beli
Mengenai resiko dalam jual-beli ini dalam KUHPerdata diatur sebagai berikut :
1)             Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang itu sejak saat pembelian adalah atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahnnya belum dilakukan, dan si penjual berhak menuntut harganya (Pasal 1460 KUHPerdata).
2)             Jika barang-barang itu dijual menurut berat, jumlah atau ukuran, maka barang itu tetap atas tanggungan si penjual hingga barang-barang tersebut ditimbang, dihitung atau diukur (Pasal 1461 KUHPerdata).
3)             Jika barang yang duijual menurut tumpukan, maka barang-barang itu atas tanggungan si pembeli, meskipun belum ditimbang, dihitung atau diukur (Pasal 1462 KUHPerdata).
4)             Biaya akta jual-beli dan lain-lain biaya tambahan dipikul oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1466 KUHPerdata).
d.   Kewajiban penjual
Menurut Pasal 1473 KUHPerdata, seoarng penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya dan segala janji yang tidak terang akan ditafsir untukkerugiannya. Disamping kewajiban tersebut, menurut pasal 1474 KUHPerdata mempunyai 2 kewajiban utama, yaitu :
1)        Menyerahkan barangnya.
2)        Menanggung barang yang dijual.
Penyerahan disini berartipemindahan barang yang telah dijual kedalam kekuasaan dan dalam kepunyaan si pembeli (Pasal KUHPerdata). Sedangkan penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalan untuk menjamin dua hal, yaitu:
1)        Menjamin penguasaan benda yang dijual secara aman dan tenteram
2)        Menjamin tidak adanya cacad barang yang tersembunyi
e.    Kewajiban pembeli
Keajiban utama si pembeli adalah membayar harga pembelian, pada tempat dan waktu yang sebagaimana di tetapkan menurut perjanjian (Pasal  1513 KUHPerdata). Jika pada waku membuat perjanjian tidak ditetapkan tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan harus dilakukan (Pasal 1514 KUHPerdata). Jika si pembeli tidak membayar harga pembelian, maka si penjual dapat menuntut pembatalan pembelian (pasal 1517 KUHPerdata).
f.     Hak untuk membeli kembali
Si penjual diberikan hak untuk mengembalikan kembali branga yang telah dijual asalkan ada perjanjian sebelumnya dengan syarat bahwa penjual akan mengembalikan harga beli serta memberikan ganti rugi (Pasal 1519 KUHPer). Hak membeli kembali tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang lebih lama dari 5 tahun (Pasal 1520 KUHPerdata).

3.    Perjanjian Tukar-Menukar
1.      Pengertian
            Tukar menukar diatur dalam pasal 1541-1546 KUH Perdata. Perjanjian tuka menukar adalah “suatu persetujuan dengan mana ke dua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya.” (pasal 1541 KUH Perdata).
            Algra mengartikan perjanjian tukar menukar adalah “suatu perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan benda kepada satu sama lain.” (Algra,dkk. 1983:487)
            Dapat disimpulkan bahwa perjanjian tukar menukar adalah perjanjian yang dibuat antara pihak satu dengan yang lain, dimana pihak satu menyerahkan barang yang ditukar begitu pula pihak lainnya berhak mendapatkan barang yang ditukar. Adapun barang yang ditukar dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak, penyerahan barang bergerak cukup menyerahkan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan cara yuridis formal.
2.        Unsur-unsur
Unsur-unsur yang tercantum dalam ke dua definisi di atas adalah
a.       Adanya subjek hukum
b.      Adanya kesepakatan subjek hukum
c.       Adanya objek
d.      Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek tukar menukar
3.      Hak dan kewajiban dalam Perjanjian Tukar Menukar
            Pihak pertama dan pihak kedua, masing-masing berkewajiban untuk menyerahkan barang yang ditukar sedangkan haknya menerima barang yang ditukar.
4.      Resiko dalam Perjanjian Tukar Menukar
           Jika barang yang menjadi objek tukar menukar musnah diluar kesalahan salah satu pihak maka perjanjian tukar menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah menyerahkan barang dapat menuntuk kembali barang yang telah diserahkannya (pasal 1545 KUH Perdata)

4.    Perjanjian Beli sewa
1)   Pengertian
       Beli sewa adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, suatu hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual[9].
2)   Unsur-unsur dalam perjanjian beli sewa antara lain :
a.         Adanya jual beli barang
b.        Penjualan dengan memeperhitunglan setiap pembayaran
c.         Objek beli sewa diserahkan oleh pembeli
d.        Momentum ketentuan hak milik setelah pelunasan terakhir
berdasar definisi tersebut di atas, pengertian beli sewa dikonstruksikan sama dengan perjanjian sewa menyewa barang, dalam arti bahwa si pembeli hanya pemakai belaka, tetapi kalau harganya sama, maka si penyewa menjadi pembeli.
3)   Kalusula-klausula
1)      Klausula Penundaan Peralihan Hak
Dalam beli sewa, klausul penundaan peralihan hak, ini merupakan suatu karakter utama, hal ini berhubungan langsung dengan proses peralihan hak milik. Dalam proses peralihan hak milik tidak disyaratkan adanya suatu bentuk hukum, akan tetapi peralihan hak milik tersebut berlangsung tanpa melalui proses apapun yaitu terjadi dengan sendirinya. Hak milik beralih kepada pembeli bila ia telah memenuhi semua kewajibannya berdasarkan persetujuan pembelian (uit hoofde van de koopovereenkomst).
2)      Klausul Menggugurkan (Verval Clausule)
Pada umumnya syarat yang tercantum pada perjanjian beli sewa adalah syarat menggugurkan atau jatuh tempo. Syarat ini merupakan akibat adanya syarat tentang hak milik yang belum beralih kepada pembeli atau dengan kata lain adanya syarat penundaan peralihan hak, sehingga keadaan demikian membawa akibat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih di tangan penjual.
3)      Status uang yang telah dibayarkan pembeli kepada penjual
Sepanjang pembeli masih mengangsur atau belum melunasi pembayaran maka uang tersebut telah dibayarkan kepada penjual apabila terjadi wanprestasi umumnya tidak dikembalikan meskipun barang telah ditarik.
4)      Klausul Larangan Memindahtangankan Objek Perjanjian (verreemdigs clausule)
Adanya syarat bahwa selama masa pembayaran angsuran hak milik masih ada ditangan penjual, mengakibatkan pembeli selama itu belum menjadi pemilik, oleh karena itu, maka selama periode pembayaran angsuran atau selama masa mengangsur, pembeli tidak dapat menjual atau menggadaikan atau memindahtangankan barang (objek perjanjian) tersebut. Apabila terjadi pemindahtanganan objek perjanjian beli sewa selama masa angsuran, maka dapat dianggap sebagai penggelapan. Selain itu di dalam masa angsuran pembeli juga diwajibkan untuk memelihara barang yang dibelinya dan tidak boleh menyalahgunakannya ataupun mengubahnya.
5)      Klausul pemeliharaan
Dalam kurun waktu pembayaran angsuran, maka pembeli diwajibkan untuk memelihara dan merawat barang sebagaimana barang tersebut adalah miliknya
6)      Klausul Risiko
Dalam perjanjian beli sewa, barang sudah beralih kepada pembeli sejak penandatanganan kontrak, sehingga disyaratkan bahwa risiko ada pada pembeli. Dalam kenyataannya selama masa angsuran ada penundaan peralihan hak sehingga pembeli pada saat itu belum menjadi pemilik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahsan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sewa menyewa dalam perjanjian hukum perdata adalah salah satu perjanjian dengan mana pihak yang satu (yang menyewakan) mengikatkan dirinya untuk memberikan suatu barang kepada pihak lainnya (penyewa) untuk digunakan dalam waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga yang telah disanggupi pihak tersebut (Pasal 1548 KUHPerdata).  Adapun unsur-unsur nya yaitu pihak yang menyewakan dan pihak penyewa, konsensus antara kedua belah pihak, objek sewa menyewa, yaitu barang, baik barang bergerak maupun tidak bergerak, kewajiban dari pihak yang menyewakan untuk menyerahkan kenikmatan kepada pihak penyewa atas suatu benda, dan kewajiban dari penyewa untuk menyerahkan uang pembayaran kepada pihak yang menyewakan.
Perjanjian sewa-menyewa dapat batal demi hukum apabila berang yang disewakan sama sekali usnah karena suatu kejadian yang tidak disengaja (Pasal 1553 ayat 1 KUHPer). Berakhir suatu perjanjian sewa-menyewa adalah apabila: Waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah habis (Pasal 1570 KUHPer) dan Salah satu pihak memutuskan perjanjian sewa-menyewa (Pasal 1571 KUHPer).
            Perjanjian jual-beli adalah suatu perjanjian timbal-balik, dimana pihak yang satu (penjual) berjanji akan menyerahkan suatu barang, dan pihak lain (pembeli) akan membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457 KUHPer). Unsur pokok perjanjian jual beli adalah “barang dan barang”. Perjanjian jual beli bersifat konsensual yang ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH-Perdata.  Untuk penyerahan barang dalam jual beli tergantung pada jenis barangnya.
            Perjanjian tukar-menukar adalah adalah “suatu persetujuan dengan mana ke dua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya.” (pasal 1541 KUH Perdata). Adapun barang yang ditukar dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak, penyerahan barang bergerak cukup menyerahkan nyata, sedangkan barang tidak bergerak menggunakan cara yuridis formal.
            Beli sewa adalah jual beli barang dimana penjual melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dengan pelunasan atas harga yang telah disepakati bersama dan diikat dalam suatu perjanjian, suatu hak milik atas barang tersebut beralih dari penjual kepada pembeli setelah harganya dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual. Ada beberapa klausa dalam perjanjian beli sewa


DAFTAR PUSTAKA

Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, Cet. II, 2005
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, Cet XII, 1990
Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Massofa, Tentang  Beli sewa dalam https://massofa.wordpress.com/2012/01/11/tentang-beli-sewa/ diakses tanggal 27 Februari 2016 pukul 07.30 wib


[1] Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hlm.58-59
[2] Salim, Hukum Kontrak Teori da Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hlm. 59
[3] Ibid... hlm.59
[4] Simanjuntak, pokok-pokok hukum perdata indonesia, (jakarta: Djambatan, 2005) hlm. 359
[5]  Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hlm.62
[6] Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006) hlm. 52-53
[7] Subekti, Hukum Perjanjian, (jakarta: PT Intermasa, Cet XII, 1990) hlm. 80

[8] Ibid...

[9] Massofa, Tentang  Beli sewa dalam https://massofa.wordpress.com/2012/01/11/tentang-beli-sewa/ diakses tanggal 27 Februari 2016 pukul 07.30 wib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar