“GHARAR DALAM BERMUAMALAH”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah “MARKETING SYARIAH”
Dosen Pembimbing :
Budi
Kolistiawan, S.Pd., M.E.I.
Disusun Oleh :
Kelompok 3
1.
Henda
Destriani (1711143026)
2.
Hesti
Handayani (1711143028)
3.
Ilma
Hamdani (1711143029)
4.
Julianto
Ari Nugroho (1711143036)
5.
Zaini
Rohmah (17111430 )
HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
2017
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ekonomi dan bisnis merupakan pilar utama dalam
kehidupan umat manusia. Bagi umat Islam bisnis adalah bagian dari ibadah
sehingga tujuannya bukan sekedar mendapatkan uang dan keuntungan, lebih dari
itu beribadah dalam rangka mencari keridhaan Allah. Sehingga semua bisnis yang
dilakuakan umat Islam sejatinya harus dilandasi oleh nilai dan ajaran Islam.
Tanpa landasan nilai dan ajaran Islam, maka mereka akan terjatuh pada sikap dan
prilaku menghalalkan cara untuk meraih harta dan kekayaan (hedonisme). Suatu
sikap dan prilaku orang-orang kafir. Tapi inilah realita yang menimpa sebagian
umat Islam, yaitu jatuh pada sikap dan prilaku menghalalkan cara.
Sebab utama sebagian umat Islam yang jatuh pada
prilaku menghalalkan cara khususnya dalam mencari harta adalah pola pikir
materalisme atau cinta dunia yang berlebihan. Disinilah pentingnya umat Islam
memahami etika, nilai dan moral sesuai Islam. Sehingga bisnis yang dilakukan
benar-benar dilandasi ajaran Islam. Dengan demikian akan melahirkan kebaikan
dan kerberkahan dalam hidupnya. Dalam buku Peran dan Moral dalam Perekonomian
Islam, Yusuf Qaradhawi menjelaskan betapa pentingnya peran dan moral dalam
bisnis. Beliau membagi pada empat bagian; nilai dan moral dalam bidang
produksi, konsumsi, sirkulasi dan distribusi.
Jika etika dan nilai dalam bisnis membahas
prnsip-prinsip dasar, kaidah-kaidah umum, maka untuk membahas sesuatu yang
detail, tentang hukum rincian dalam bisnis dan ekonomi maka umat Islam harus
memahami Fiqih Muamalah. Dalam kitab Fiqih Muamalah atau kitab Buyu’
dibahas seluruh yang terkait dengan bisnis, bisnis yang halal maupun yang
haram. Walaupun secara umum para ulama menyebutkan bahwa prinsip dasar adalah
halal. Namun tidak dipungkiri ada banyak bisnis yang diharamkan dalam Islam.
Oleh karena itu bab riba’ masuk dalam bab Fiqih Muamalah atau Buyu’.
Bahkan riba’adalah dosa paling besar dalam muamalah atau berbisnis.
Selain riba’, ada jenis lain yang diharamkan
dalam muamalah yaitu gharar. Dan gharar ini banyak masuk dalam berbagai bentuk
bisnis. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui makna gharar,
batasanya dan ruang lingkupnya.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimanakah
pengertian Gharar?
2. Apa
saja Macam-macam Gharar?
3. Bagaimana
Realita Bisnis gharar ?
C. Tujuan
1. Menjelaskan
Pengertian Gharar dari berbagai pendapat dan Sumber.
2. Menjelaskan
Macam-macam Gharar
3. Menjelaskan
Realita gharar yang terjadi dalam transaksi
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Kata Gharar berasal
dari akar kata arab yang artinya sama dengaan kata al-khatar, yakni
sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya atau sesuatu yang
mengandung bahaya, atau dinamakan gharar yang berarti sesuatu
yang tersembunyi yang tidak dapat dipahami oleh orang yang berakad, gharar juga
mengandung pengertian khada yang bermakna penipuan, jika dihubungkan
dengan makna tersebut kata gharar diberikan pemahaman sebagai aktivitas
perniagaan yang mengandug unsur penipuan dan dapat mengakibatkan seseorang
berada dalam keadaan bahaya.
Menurut ibnu
Urfah gharar adalah sesuatu yang lahirnya menarik tetapi dalamnya belum
jelas diketahui, demikian juga berkaitan dengan jual beli, pengarang al-Musyafit
berkata, bay al-gharar adalah jual beli dalam keadaan bahaya terhadap
penjual dan pembeli, disebabkan tidak diketahui harga jual, jenis barang yang
diperjual belikan, keselamatan barang dan kapan tersebut diperbolehkan.[1]
Rasulullah SAW
bersabda tentang gharar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai
berikut:
عَنْ
اَ بِي هُرَيْرَةِ قاَ لَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
عَنْ بَيْحِ الْحَصَاَ ةِ وَ عَنْ بَيْحِ الخَرَارِ
Artinya : Abu Hurairah
mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli basah dan jual beli gharar.(HR. Bukhari Muslim)[2]
Dari Abdullah
bin Umar ra, Berkata: Rasulullah melarang jual beli Habalil Habalah seperti
yang biasa dilakukam oleh orang-orang jahiliyah. Biasnya seorang laki-laki
membeli seekor unta hingga unta itu beranak, kemudian anaknya itu beranak pula.
(HR. Bukhari)[3].
Berdasarkan
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gharar dengan segala bentuknya
merupakan sifat yang dilarang dalam berbagai transaksi perniagaan, namun para
ulama berbeda pendapat tentang kadar gharar
yang terdapat dalam transaksi yang dimaksud. Fuqaha mazhab yang muktabar telah
memberikan gambaran beberapa bentuk gharar yang dapat diketahui
akibatnya terhadap jual beli.
2. Macam – Macam Gharar
1. Gharar
(Risiko) terhadap Objek Akad
Telah menjadi kesepakatan fuqaha bahwa gharar yang
berlebihan berkenaan dengan objek akad, akan menyebabkan batalnya suatu
kontrak. Mereka sepakat bahwa gharar yang sedikit atau sekedarnya saja dapat
diizinkan dan dibenarkan serta tidak membatalkan akad. Sementara akad yang
diharamkan adalah disebabkan mengandung gharar yang berlebihan. Ibnu Juzay
mengatakan, termasuk kontrak yang tidak dapat dicapai pengiriman seperti jual
beli kuda liar, dan jual beli yang harganya atau objek jualnya tidak diketahui,
jual beli tertunda yang penundaanya tidak tertentu, jual beli binatang yang
masih dalam keadaan sakit, dan lainnya.
Fuqaha
berbeda pendapat mengenai keberadaan objek akad sehingga mereka
memisahkan antara konsep bai’ gharar dengan bai’ majhul. Konsep
asas bai’ gharar terdapat pada ketidakpastian terhadap keberadaan objek
akad, seperti menjual burung di udara atau menjual ikan dalam laut. Tetapi
ketika suatu objek jual pasti ada dan tidak meragukan akan kualitas dan
sifatnya serta dapat diserahkan pada saat tertentu, maka yang demikian disebut
dengan bai’ majhul, seperti jual beli sesuatu apa yang tersembunyi atau
sesuatu yang ada dalam karung, yang pasti ada tetapi tidak diketahui secara
benarnya.
Sebagian mereka menganggap bahwa bai’ gharar
dan bai’ majhul terdapat kesamaan dalam satu hal dan berbeda dalam hal
lain. Keduanya ada dalam jual beli ketika barang yang dijual adalah pasti
keberadaanya meskipun tidak mampu dihadirkan dalam majelis akad, yang demikian
disebut majhul. Sedangkan gharar terjadi pada keraguan atas
kemampuan menyerahkan barang tepat waktu sebagaimana dalam perjanjian.[4]
2. Gharar
(Risiko) terhadap Harga
Jual beli menurut definisi adalah pertukaran
nilai antara dua pihak dengan suatu persetujuan yang disepakati. Pakar hokum
Islam secara umum menetapkan bahwa persetujuan bersama hanya dapat terwujud
jika para pihak mengetahui harga yang tepat dari objek yang diperjual belikan
dan harus ditentukan pada saat kontrak dibuat. Ulama mazhab sepakat bahwa
pemahaman tentang ketentuan harga bertujuan suatu bentuk yang pasti tentang
mata uang atau pasti terhadap jumlah dari dua bentuk barang jika dilakukan
dalam model barter.
Ulama berbeda
pendapat mengenai penentuan harga dalam suatu akad. Kebanyakan mereka
berpendapat bahwa jika terjadi kesamaran dalam harga, ia termasuk dalam
kategori gharar yang berlebihan yang dapat merusak akad jual beli. Al-Syarakhsyi
mengatakan, jual beli yang mengabaikan ketetapan suatu harga yang menyebabkan
jual beli tidak sah.
Namun ketentuan
harga yang disebutkan secara isyarat atau tanda, jika jumlahnya dapat dikenali
oleh kedua pihak maka yang demikian dapat dibenarkan. Pandangan ini didukung
oleh golongan Syafi’i, Maliki, dan Zahiri. Mereka sepakat bahwa pengabaian
terhadap harga akan merusak jual beli dan ia termasuk dalam kategori gharar
yang dilarang, kecuali dengan menggunakan ketentuan harga yang khusus atau
harga yang dipersamakan.[5]
3. Gharar
(Risiko) terhadap Pengetahuan
Fuqaha berbeda pandangan mengenai
kadar pengetahuan para pihak (penjual dan pembeli), tentang substansi objek
jual beli dan nilai harganya, hal ini pula akan menyebabkan risiko kegagalan
yang timbul terhadap akad. Mengetahui ciri-ciri objek akad, menurut hanafi
tidak akan memberi akibat pada sah batalnya akad, tetapi hanya sebagai
kelaziman. Bahkan jual beli sesuatu yang pembelinya tidak melihat objeknya
tidak merusak akad, tetapi ini adalah hal yang tidak biasa, kecuali pihak
pembeli memberikan jaminan. Kalangan syafi’i mengatakan sebaliknya bahwa
pengetahuan tentang objek dan harga barang merupakan kondisi awal dari sahnya
akad dan suatu jual beli dimana pembeli tidak melihat objek akad, maka jual
beli menjadi batal disebabkan gharar yang berlebihan.[6]
Selain itu,
ulama sewaktu membahas sifat gharar sebagaimana disampaikan oleh
Musthafa Al-Zarqa bahwa gharar adalah suatu tipu daya melalui perkataan
atau perbuatan sehingga menarik minat seseorang untuk melakukan suatu akad , ia
mengelompokkan gharar menjai dua: gharar qauli dan gharar fi’li,
gharar qauli ialah penipuan yang dilakukan oleh penjual mengenai barang
jualan (harga, jenis/tipikal, dan penyerahannya) yang dilakukan dengan
perkataan para penjual. Sedangkan gharar fi’li ialah penipuan dilakukan
penjual melalui perbuatan penjual membuat sesuatu keadaan, sehingga menunjukkan
bahwa barang tiruan seakan akan kelihatan original.
Secara umum ada
tiga pandagan fuqaha dalam masalah tersebut:
1. Gharar
yang mendasarkan keraguan
2. Gharar
yang tidak dipahami
3. Gharar
yang mendasarkan kepada sesuatu yang tidak diketahui akibatnya
Secara garis besar gharar dibagi menjadi 2
(dua) bagian pokok yakni[7]
:
a.
Gharar dalam
shighat akad, yang meliputi:
1)
Bai ataini fii
ba’iah
ialah jual beli dalam
satu akad ada dua harga yang dalam praktiknya tidak ada kejelasan akad
(jahalah) atau harga yang akan diputuskan. Hal ini juga berlaku jika dalam
sutau transaksi ada dua akad yang bercampur tanpa adanya pemisahan terlebih
dahulu.
2)
Bai al-hashah
adalah sebuha transaksi
dimana penjual dan pembeli sepakat atas jual beli suatu barang dengan harga
tertentu dengan lemparan batu kecil (hashah) yang dilakukan oleh salah satu
pihak kepada yang lain dan dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya akad,
atau juga dengan meletakkan batu kecil tersebut diatas barang, dan juga
jatuhnya batu di pihak mana pun yang mengharusnkan orang tersebut melakukan
transaksi.
3)
Bai al-mulamasah
adalah adanya mekanisme
tawar menawar antara dua pihak atas suatu barang, dan apabila calon pembeli
menyentuh barang tersebut maka dia harus membelinya.
4)
Bai
al-munabadzah
adalah seorag penjual berkata “jika saya
lemparkan sesuatu maka transaksi jual beli harus berlangsung diantara kita”.
5)
Akad mu’alaq
adalah sebuah transaksi
jual beli dimana jadi tidaknya transaksi tersebut bergantung pada transaksi
yang lainnya.
6)
Bai al-muzabanah
adalah jual beli buah kurma yang masih ada di
pohon dengan beberapa wasaq buah kurma yang telah dipanen.
7)
Bai al mukhadharah
adalah menjual buah yang masih hijau yang
masih berada di pohon sebelum layak panen.
8)
Bai habal
al-habalah
adalah jual beli janin yang masih berada dalam
kandungan induknya.
9)
Dharbatu
al-ghawash
adalah melkaukan akad transaksi jual beli
untuk barang temuan yang akan ditemuan di kedalaman laut, sedangkan barang
belum diketahui dapat atau tidaknya barang diserahkan kepada pembeli
10)
Bai muhaqalah
adalah melkukan jual beli tanaman tertentu
seperti padi, dengan sejumlah takaran makan tertentu
11)
Bai nitaj
adalah transaksi jual beli sesuatu yang
diahsilakn dari binatang ternak sebelum dituai.
12)
Bai al mudhaf
adalah kesepaktan untuk melakukan jual beli
untuk waktu yang akan datang
b.
Gharar dalam
objek transaksi, yang meliputi:
a. Ketidak
jelasan jenis objek transaksi
Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah
syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah
hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual
sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis
barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab
Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak
diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya).
Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan adanya
syarat, berdasarkan hadis berikut:
“Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat,
maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”.
Akan tetapi
ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik
barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut
mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsure penipuan
(gharar)
b. Ketidakjelasan
dalam macam objek transaksi
Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi
sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad
seperti ini karena mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti
seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian”
tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana.
Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus
ditentukan secara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw.
mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa
dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu
kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu
tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama
sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.
Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah
Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)
c. Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek
transaksi
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh
tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual
beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk mensyaratkannya.
Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek
transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka
tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi jika obyek
transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh
mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter
obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat
bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping itu pembeli
juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan
dengan komoditi bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat
untuk disebutkan sifat dan karakternya.
Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan
sifat dan karakter baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak
adanya kejelasan dalam sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan
gharar yang dilarang dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’I mensyaratkan
penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang
tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika
pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak
membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan
karakternya.
d. Ketidakjelasan
dalam takaran objek transaksi
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak
diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat
(alasan) hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para
ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan jelas memaparkan
pendapatnya.
Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena
unsure gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek
transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah yang masih
berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan
zabib (anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu.
Adapun illat dari pengharamannya adalah adanya unsure riba yaitu aspek
penambahan dan gharar karena tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.
e. Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi
Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah
bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi tidak
diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga
berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan. Seperti jual pakaian
atau kambing yang bermacam-macam.
Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang
transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit
karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam
kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang
menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap akad. Adapun mazhab
Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang melebihi
dari tiga.
f. Ketidakjelasan
dalam waktu objek transaksi
Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan
waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.
Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual
beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau
hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya.
Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang
karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan
pembayaran.
g. Ketidakjelasan dalam penyerahan objek
transaksi
Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat
sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan,
secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak
jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui
tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa
barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual
atau tidak.
Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya
kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku
menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian
aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab : jangan
engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).
h. Objek
transaksi yang spekulatif
Gharar
yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (ma’dum) obyek
transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada
atau mungkin tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi
jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang
mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu
juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.[8]
Dalam kontek
jual beli, jika suatu akad mengandung unsur gharar berarti ada unsur
penipuan, seperti ketidak jelasan harga objek jual beli yang tidak pasti maupun
dapat atau tidaknya barang itu diserahkan dalam tempo tertentu.
Oleh karena itu
gharar merupakan suatu perkara yang tidak jelas dan ia dapat membatalkan akad.
Unsur gharar memang bisa terjadi dalam suatu akad jual beli. Oleh karena itu
ulama brusaha untuk menentukan jenis gharar apakah yang dapat membatalkn akad.
Namun ada
sebagian ulama yang tidak mempermasalahkan perolehan keuntungan bagi penjual
atas barang yang diperjualbelikan, hal ini didasarkan izin Rasulullah Saw epada
jabir untuk mengendarai unta yang telah dijual hingga sampai ke –Madinah, pada
lain kesempatan Rasul juga mengizinkan menjual pohon palem yang telah berbuah,
maka buahnya milik penjual, demikian juga menjual hamba sahaya yang memiliki
kekayaan , maka propertinya adalah milik si penjual.[9]
3. Realita Bisnis Gharar
a.
Bai ataini fii
ba’iah, para ulama sepakat mengharamkan bentuk jual beli
ini, namun berbeda pendapat dalam menafsirkan. Jumhur ulama mengharamkan dalam
hal jika dalam satu aqad mengandung dua penjualan, seperti saya jual barang ini
seribu kontan dan seribu dua ratus kredit dalam waktu satu tahun. Lalu pembeli
mnegatakan saya terima, tanpa menjelaskan bahwa ia membeli yang kontan atau
yang kredit, yang kmeudian keduanya berpisah. Maka cara inilah yang diharamkan.
Tafsir yang kedua diharamkan sepetu saya jual rumahku padamu dengan syarat
engkau menjual mobilmu padaku.
Jika penjual memilih salah satu dari ketentuan itu,
maka oleh para ulama diperbolehkan. Sebab larangan disini adalah terletak pada
akad, karen tidak tahu secara jelas akad mana yang disetujui. Sedangkan pada
bentuk kedua tidak tahu apakah akad terjadi atau tidak, maka keduanya
mengandung gharar
b. Bay’ul
Ma’dum yakni ketika terjadi akad tidak ada komoditi dan keberadaannya tidak
jelas pada waktu yang akan datang. Dalam traksaki moder dikenal[10]
:
a) Future
Tanding
Yakni
jual beli dengan pembayaran harga yang disepakati secara tunai sednagkan
penyerahan barangnya ditangguhkan pada waktu yang dijanjikan oleh penjual dan
disetujui pembeli (jatuh tempo). Dalam future Tanding, orang disamping
memotivasi untuk membeli barang akan tetapi juga melihat fluktuasi harga.saat
harga barang tinggi maka ia melepas surat tanda kepemilikan barang, dan jika
harga barang rendah maka ia tahan. Bisnis ini banyak sekali mnegndung cacat
syariah antara lain penjual tidak disyaratkan memeiliki barang tersebut, tetapi
cukup dengan komitmen menyerehakan komoditi tersebut pada waktu tertentu, jika
diminta pembeli. Bisnis ini juga tidak mensyaratkan memberikan harga semuanya secara
tunai.
b) Bisnis
Komoditi yang tidak dimiliki
Dinatara
bentuk bisnis yang berekembang sekarang adalah menjual barang yang tidak
dimilikinya. Alasan atau illat pengharaman ini adalah karena terdapat gharar
yang jelas dimana komoditi yang dijual tidak dijual tidak dapat diterima saat
transaksi. Fiqh islam mengecualikan bisnis salam karena terdapat hadis yang
membolehkannya dan tidak dapat unsur gharar, juga karena spesifikasinya telah
disebutkan secara jelas, dan jatuh tempo yang dijanjikan komoditi tersebut ada.
c) Money
Game
Money
game sebenarnya lebih dekat kepada maysir dari pada bisnis. Namun yang
sebenarnya adalah manipulasi dalam bisnis karena yang terjadi adalah putaran
dana atau arisan berantai tanpa ada komoditinya. Kalaupun komoditi itu ada maka
tidak sesuai dengan spesifikasi maupun size atau besaran putaran dananya.
c. Asuransi
Gharar (ketidakpastian) terjadi pada
asuransi konvensional yang kita kenal selama ini, syafi’i Antonio menjelaskan
bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi ada bentuk yakni:
1. Bentuk
akad syariah yang melandasi penutupan polis
2. Sumber
dana pembayaran klaim dan kebsahan syar’i penerimaan uang klaim itu sendiri
Secara
konvensional kata syafi’i kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat
dikategorikan sebagai akad pertukaran, secara syariah dalam akad pertukaram
harus jelas beberapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima.
Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang
pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan ( jumlah seluruh
premi) karen ahanya Alloh yang tau kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar
terjadi pada asuramsi konvensional.[11]
PENUTUP
Kesimpulan
Gharar merupakan sebagai
aktivitas perniagaan yang mengandug unsur penipuan dan dapat mengakibatkan
seseorang berada dalam keadaan bahaya dengan segala bentuknya, ini merupakan
sifat yang dilarang dalam berbagai transaksi perniagaan, namun para ulama berbeda pendapat tentang kadar gharar
yang terdapat dalam transaksi
Macam-macam gharar dari berbagai
sumber tidak sama yang pertama gharar dibagi gharar terhadap objek akad, gharar
terhadap harga, gharar terhadap pengetahuan. Menurut fuqaha Gharar yang
mendasarkan keraguan, Gharar yang tidak dipahami, Gharar yang mendasarkan
kepada sesuatu yang tidak diketahui akibatnya. Sedangkan secara garis besar
gharar dibagi kedalam dua kelompok besar yakni gharar dalam shighat dan gharar
dalam objek transaksi.
Mengenai realitas bisnis gharar
masih banyak sekali praktek dilapangan yang masih menandung gharar didalanya.
Ada beberapa contoh bisnis yang mengandung gharar antara lain Bai ataii fii
ba’iah, Bay’ul Ma’dum, dan asuransi
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU
Achsien,
Iggi H. Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta: Gramedia Pustaka,
2000
Am
Hasan Ali. Asuransi dalam perspektif Hukum Islam, Jakarta : Kencana, 2004
Huda,
Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah.
Jakarta: Kencana, 2014
Wahid.
Nazruddin Abdul. Memahami dan membedah Obigasi pada Pebankan Syariah,
Yogyakarta : Ar Ruzz Media, 2010
INTERNET
Wardah.
Larangan Gharar, Dalam http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/
gharar .html Diakses 12 Maret 2017 pukul 11:20
Imam
Satoso, Gharar dalam Fiqh Muamalah(Realita dan solusi). Syaria
Consulting Center dalam
syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqh-muamalah-realita-solusi.html.
Diakses pada 14 Maret 2017 pukul. 16:00
[1]
Nazruddin Abdul Wahid, Memahami dan membedah Obigasi pada Pebankan
Syariah, ( Yogyakarta: Ar Ruzz Media,), 2010 Hal 66-67
[2] Am Hasan Ali, Asuransi dalam
perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana), 2004, Hal135
[3] Iggi H Achsien, Investasi
Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: Gramedia Pustaka), 2000 Hal 34
[4] Nazaruddin
Abdul Wahid, Sukuk : Memahami & Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah,
Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 263-264
[7] Huda, Nurul dan Mustafa Edwin
Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana, 2014
[8] Wardah.
Larangan Gharar, Dalam http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/
gharar .html Diakses 12 Maret 2017 pukul 11:20
[9]
Nazruddin Abdul Wahid, Memahami
dan membedah Obigasi pada Pebankan Syariah, ( Yogyakarta: Ar Ruzz Media,),
2010 ... Hal 67-71
[10]
Imam Satoso, Gharar dalam
Fiqh Muamalah(Realita dan solusi). Syaria Consulting Center dalam
syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqh-muamalah-realita-solusi.html
[11] Am Hasan Ali, Asuransi dalam
perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana), 2004, ...Hal136
footnote 4, 5 mana mas?
BalasHapus