Sabtu, 18 Maret 2017

Gharar Dalam Bermuamalah



“GHARAR DALAM BERMUAMALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah MARKETING SYARIAH
Dosen Pembimbing :
Budi Kolistiawan, S.Pd., M.E.I.


Disusun Oleh :
Kelompok  3
1.     Henda Destriani                                (1711143026)
2.     Hesti Handayani                                (1711143028)
3.     Ilma Hamdani                                   (1711143029)
4.     Julianto Ari Nugroho                        (1711143036)
5.     Zaini Rohmah                                   (17111430   )




HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
2017


PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ekonomi dan bisnis merupakan pilar utama dalam kehidupan umat manusia. Bagi umat Islam bisnis adalah bagian dari ibadah sehingga tujuannya bukan sekedar mendapatkan uang dan keuntungan, lebih dari itu beribadah dalam rangka mencari keridhaan Allah. Sehingga semua bisnis yang dilakuakan umat Islam sejatinya harus dilandasi oleh nilai dan ajaran Islam. Tanpa landasan nilai dan ajaran Islam, maka mereka akan terjatuh pada sikap dan prilaku menghalalkan cara untuk meraih harta dan kekayaan (hedonisme). Suatu sikap dan prilaku orang-orang kafir. Tapi inilah realita yang menimpa sebagian umat Islam, yaitu jatuh pada sikap dan prilaku menghalalkan cara.
Sebab utama sebagian umat Islam yang jatuh pada prilaku menghalalkan cara  khususnya dalam mencari harta adalah pola pikir materalisme atau cinta dunia yang berlebihan. Disinilah pentingnya umat Islam memahami etika, nilai dan moral sesuai Islam. Sehingga bisnis yang dilakukan benar-benar dilandasi ajaran Islam. Dengan demikian akan melahirkan kebaikan dan kerberkahan dalam hidupnya. Dalam buku Peran dan Moral dalam Perekonomian Islam, Yusuf Qaradhawi menjelaskan betapa pentingnya peran dan moral dalam bisnis. Beliau membagi pada empat bagian; nilai dan moral dalam bidang produksi, konsumsi, sirkulasi dan  distribusi.
Jika etika dan nilai dalam bisnis membahas prnsip-prinsip dasar, kaidah-kaidah umum, maka untuk membahas sesuatu yang detail, tentang hukum rincian dalam bisnis dan ekonomi maka umat Islam harus memahami Fiqih Muamalah. Dalam kitab Fiqih Muamalah atau kitab Buyu’ dibahas seluruh yang terkait dengan bisnis,  bisnis yang halal maupun yang haram. Walaupun secara umum para ulama menyebutkan bahwa prinsip dasar adalah halal. Namun tidak dipungkiri ada banyak bisnis yang diharamkan dalam Islam. Oleh karena itu bab riba’ masuk dalam bab Fiqih Muamalah atau Buyu’.  Bahkan riba’adalah dosa paling besar dalam muamalah atau berbisnis.
Selain riba’, ada jenis  lain yang diharamkan dalam muamalah yaitu gharar. Dan gharar ini banyak masuk dalam berbagai bentuk bisnis. Oleh karena itu  sangat penting untuk mengetahui makna gharar, batasanya dan ruang lingkupnya.

B.       Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pengertian Gharar?
2.    Apa saja Macam-macam Gharar?
3.    Bagaimana Realita Bisnis gharar ?
C.       Tujuan
1.    Menjelaskan Pengertian Gharar dari berbagai pendapat dan Sumber.
2.    Menjelaskan Macam-macam Gharar
3.    Menjelaskan Realita gharar yang terjadi dalam transaksi



PEMBAHASAN
1.        Pengertian
Kata Gharar berasal dari akar kata arab yang artinya sama dengaan kata al-khatar, yakni sesuatu yang tidak diketahui pasti benar atau tidaknya atau sesuatu yang mengandung bahaya, atau dinamakan gharar yang berarti sesuatu yang tersembunyi yang tidak dapat dipahami oleh orang yang berakad, gharar juga mengandung pengertian khada yang bermakna penipuan, jika dihubungkan dengan makna tersebut kata gharar diberikan pemahaman sebagai aktivitas perniagaan yang mengandug unsur penipuan dan dapat mengakibatkan seseorang berada dalam keadaan bahaya.
Menurut ibnu Urfah gharar adalah sesuatu yang lahirnya menarik tetapi dalamnya belum jelas diketahui, demikian juga berkaitan dengan jual beli, pengarang al-Musyafit berkata, bay al-gharar adalah jual beli dalam keadaan bahaya terhadap penjual dan pembeli, disebabkan tidak diketahui harga jual, jenis barang yang diperjual belikan, keselamatan barang dan kapan tersebut diperbolehkan.[1]
Rasulullah SAW bersabda tentang gharar dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
عَنْ اَ بِي هُرَيْرَةِ قاَ لَ : نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ للهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ بَيْحِ الْحَصَاَ ةِ وَ عَنْ بَيْحِ الخَرَارِ
Artinya : Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli basah  dan jual beli gharar.(HR. Bukhari Muslim)[2]
Dari Abdullah bin Umar ra, Berkata: Rasulullah melarang jual beli Habalil Habalah seperti yang biasa dilakukam oleh orang-orang jahiliyah. Biasnya seorang laki-laki membeli seekor unta hingga unta itu beranak, kemudian anaknya itu beranak pula. (HR. Bukhari)[3].
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa gharar dengan segala bentuknya merupakan sifat yang dilarang dalam berbagai transaksi perniagaan, namun para ulama  berbeda pendapat tentang kadar gharar yang terdapat dalam transaksi yang dimaksud. Fuqaha mazhab yang muktabar telah memberikan gambaran beberapa bentuk gharar yang dapat diketahui akibatnya terhadap jual beli.
2.    Macam – Macam Gharar
1.      Gharar (Risiko) terhadap Objek Akad
Telah menjadi kesepakatan fuqaha bahwa gharar yang berlebihan berkenaan dengan objek akad, akan menyebabkan batalnya suatu kontrak. Mereka sepakat bahwa gharar yang sedikit atau sekedarnya saja dapat diizinkan dan dibenarkan serta tidak membatalkan akad. Sementara akad yang diharamkan adalah disebabkan mengandung gharar yang berlebihan. Ibnu Juzay mengatakan, termasuk kontrak yang tidak dapat dicapai pengiriman seperti jual beli kuda liar, dan jual beli yang harganya atau objek jualnya tidak diketahui, jual beli tertunda yang penundaanya tidak tertentu, jual beli binatang yang masih dalam keadaan sakit, dan lainnya.
Fuqaha  berbeda pendapat mengenai keberadaan objek akad sehingga mereka memisahkan antara konsep bai’ gharar dengan bai’ majhul. Konsep asas bai’ gharar terdapat pada ketidakpastian terhadap keberadaan objek akad, seperti menjual burung di udara atau menjual ikan dalam laut. Tetapi ketika suatu objek jual pasti ada dan tidak meragukan akan kualitas dan sifatnya serta dapat diserahkan pada saat tertentu, maka yang demikian disebut dengan bai’ majhul, seperti jual beli sesuatu apa yang tersembunyi atau sesuatu yang ada dalam karung, yang pasti ada tetapi tidak diketahui secara benarnya.
Sebagian mereka menganggap bahwa bai’ gharar dan bai’ majhul terdapat kesamaan dalam satu hal dan berbeda dalam hal lain. Keduanya ada dalam jual beli ketika barang yang dijual adalah pasti keberadaanya meskipun tidak mampu dihadirkan dalam majelis akad, yang demikian disebut majhul. Sedangkan gharar terjadi pada keraguan atas kemampuan menyerahkan barang tepat waktu sebagaimana dalam perjanjian.[4]
2.      Gharar (Risiko) terhadap Harga
 Jual beli menurut definisi adalah pertukaran nilai antara dua pihak dengan suatu persetujuan yang disepakati. Pakar hokum Islam secara umum menetapkan bahwa persetujuan bersama hanya dapat terwujud jika para pihak mengetahui harga yang tepat dari objek yang diperjual belikan dan harus ditentukan pada saat kontrak dibuat. Ulama mazhab sepakat bahwa pemahaman tentang ketentuan harga bertujuan suatu bentuk yang pasti tentang mata uang atau pasti terhadap jumlah dari dua bentuk barang jika dilakukan dalam model barter.
Ulama berbeda pendapat mengenai penentuan harga dalam suatu akad. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa jika terjadi kesamaran dalam harga, ia termasuk dalam kategori gharar yang berlebihan yang dapat merusak akad jual beli. Al-Syarakhsyi mengatakan, jual beli yang mengabaikan ketetapan suatu harga yang menyebabkan jual beli tidak sah.
Namun ketentuan harga yang disebutkan secara isyarat atau tanda, jika jumlahnya dapat dikenali oleh kedua pihak maka yang demikian dapat dibenarkan. Pandangan ini didukung oleh golongan Syafi’i, Maliki, dan Zahiri. Mereka sepakat bahwa pengabaian terhadap harga akan merusak jual beli dan ia termasuk dalam kategori gharar yang dilarang, kecuali dengan menggunakan ketentuan harga yang khusus atau harga yang dipersamakan.[5]


3.      Gharar (Risiko) terhadap Pengetahuan
Fuqaha berbeda pandangan mengenai kadar pengetahuan para pihak (penjual dan pembeli), tentang substansi objek jual beli dan nilai harganya, hal ini pula akan menyebabkan risiko kegagalan yang timbul terhadap akad. Mengetahui ciri-ciri objek akad, menurut hanafi tidak akan memberi akibat pada sah batalnya akad, tetapi hanya sebagai kelaziman. Bahkan jual beli sesuatu yang pembelinya tidak melihat objeknya tidak merusak akad, tetapi ini adalah hal yang tidak biasa, kecuali pihak pembeli memberikan jaminan. Kalangan syafi’i mengatakan sebaliknya bahwa pengetahuan tentang objek dan harga barang merupakan kondisi awal dari sahnya akad dan suatu jual beli dimana pembeli tidak melihat objek akad, maka jual beli menjadi batal disebabkan gharar yang berlebihan.[6]
Selain itu, ulama sewaktu membahas sifat gharar sebagaimana disampaikan oleh Musthafa Al-Zarqa bahwa gharar adalah suatu tipu daya melalui perkataan atau perbuatan sehingga menarik minat seseorang untuk melakukan suatu akad , ia mengelompokkan gharar menjai dua: gharar qauli dan gharar fi’li, gharar qauli ialah penipuan yang dilakukan oleh penjual mengenai barang jualan (harga, jenis/tipikal, dan penyerahannya) yang dilakukan dengan perkataan para penjual. Sedangkan gharar fi’li ialah penipuan dilakukan penjual melalui perbuatan penjual membuat sesuatu keadaan, sehingga menunjukkan bahwa barang tiruan seakan akan kelihatan original.
Secara umum ada tiga pandagan fuqaha dalam masalah tersebut:
1.      Gharar yang mendasarkan keraguan
2.      Gharar yang tidak dipahami
3.      Gharar yang mendasarkan kepada sesuatu yang tidak diketahui akibatnya

Secara garis besar gharar dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok yakni[7] :
a.    Gharar dalam shighat akad, yang meliputi:
1)   Bai ataini fii ba’iah
ialah jual beli dalam satu akad ada dua harga yang dalam praktiknya tidak ada kejelasan akad (jahalah) atau harga yang akan diputuskan. Hal ini juga berlaku jika dalam sutau transaksi ada dua akad yang bercampur tanpa adanya pemisahan terlebih dahulu.
2)   Bai al-hashah
adalah sebuha transaksi dimana penjual dan pembeli sepakat atas jual beli suatu barang dengan harga tertentu dengan lemparan batu kecil (hashah) yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada yang lain dan dijadikan pedoman atas berlangsung tidaknya akad, atau juga dengan meletakkan batu kecil tersebut diatas barang, dan juga jatuhnya batu di pihak mana pun yang mengharusnkan orang tersebut melakukan transaksi.
3)   Bai al-mulamasah
adalah adanya mekanisme tawar menawar antara dua pihak atas suatu barang, dan apabila calon pembeli menyentuh barang tersebut maka dia harus membelinya.
4)   Bai al-munabadzah
 adalah seorag penjual berkata “jika saya lemparkan sesuatu maka transaksi jual beli harus berlangsung diantara kita”.
5)   Akad mu’alaq
adalah sebuah transaksi jual beli dimana jadi tidaknya transaksi tersebut bergantung pada transaksi yang lainnya.
6)   Bai al-muzabanah
 adalah jual beli buah kurma yang masih ada di pohon dengan beberapa wasaq buah kurma yang telah dipanen.

7)   Bai al mukhadharah
 adalah menjual buah yang masih hijau yang masih berada di pohon sebelum layak panen.
8)        Bai habal al-habalah
 adalah jual beli janin yang masih berada dalam kandungan induknya.
9)        Dharbatu al-ghawash
 adalah melkaukan akad transaksi jual beli untuk barang temuan yang akan ditemuan di kedalaman laut, sedangkan barang belum diketahui dapat atau tidaknya barang diserahkan kepada pembeli
10)    Bai muhaqalah
 adalah melkukan jual beli tanaman tertentu seperti padi, dengan sejumlah takaran makan tertentu
11)    Bai nitaj
 adalah transaksi jual beli sesuatu yang diahsilakn dari binatang ternak sebelum dituai.
12)    Bai al mudhaf
 adalah kesepaktan untuk melakukan jual beli untuk waktu yang akan datang
b.    Gharar dalam objek transaksi, yang meliputi:
a.    Ketidak jelasan jenis objek transaksi
Mengetahui jenis obyek akad secara jelas adalah syarat sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah hukumnya karena terdapat gharar yang banyak di dalamnya. Seperti menjual sesuatu dalam karung yang mana pembeli tidak mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun demikian terdapat pendapat dari Mazhab Maliki yang membolehkan transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika disyaratkan kepada pembeli khiyar ru’ya (hak melihat komoditinya). Begitu juga dalam mazhab Hanafi menetapkan khiyar ru’yah tanpa dengan adanya syarat, berdasarkan hadis berikut:
Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”.
 Akan tetapi ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa jual beli barang yang gaib tidak sah, baik barang itu disebutkan sifatnya waktu akad maupun tidak. Oleh sebab itu, menurut mereka, khiyar ru’yah tidak berlaku, karena akad itu mengandung unsure penipuan (gharar)
b.    Ketidakjelasan dalam macam objek transaksi
Gharar dalam macam obyek akad dapat menghalangi sahnya jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya akad seperti ini karena mengandung unsure ketidakjelasan dalam obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda binatang dengan harga sekian” tanpa menjelaskan binatang apa dan yang mana.
Oleh karena itu obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. mengenahi jual beli kerikil (bai’ al-Hashah) yang mirip judi dan biasa dilakukan oleh orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melemparkan batu kerikil kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya dinginkan untuk dibeli.
Dari Abu Hurairah diceritakan, ia berkata: Rasulullah Saw melarang jual beli lempar krikil dan jual beli gharar. (HR. Muslim)
c.     Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter objek transaksi
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh tentang persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk mensyaratkannya. Diantara perbedaan itu adalah; Mazhab Hanafiyah melihat, bahwa jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi, baik itu komoditi ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual dan pembeli, maka para ulama fiqh mazhab Hanafiyah berselisih pendapat.
Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan perselisihan, disamping itu pembeli juga mempunyai hak khiyar ru’yah. Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan komoditi bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) semua ulama sepakat untuk disebutkan sifat dan karakternya.
Sedang Ulama Mazhab Maliki mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter baik terhadap komoditi maupun harga (tsaman). Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat dan karakter komoditi dan harga adalah merupakan gharar yang dilarang dalam akad. Begitu juga ulama mazhab Syafi’I mensyaratkan penyebutan sifat dan karakter komoditi dan mengatakan bahwa jual beli yang tidak jelas sifat dan karakter komoditinya hukumnya tidak sah kecuali jika pembeli diberi hak untuk melakukan khiyar ru’yah. Mazhab Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya tidak jelas sifat dan karakternya.
d.   Ketidakjelasan dalam takaran objek transaksi
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui, baik kadar komoditinya maupun kadar harga atau uangnya. Illat (alasan) hukum dilarangnya adalah karena adanya unsur gharar sebagaimana para ulama ahli fiqh dari mazhab Maliki dan Syafi’i dengan jelas memaparkan pendapatnya.
Contoh dari transaksi jual beli yang dilarang karena unsure gharar yang timbul akibat ketidaktahuan dalam kadar dan takaran obyek transaksi adalah bai’ muzabanah. Yaitu jual beli barter antara buah yang masih berada di pohon dengan kurma yang telah dipanen, anggur yang masih basah dengan zabib (anggur kering), dan tanaman dengan makanan dalam takaran tertentu. Adapun illat dari pengharamannya adalah adanya unsure riba yaitu aspek penambahan dan gharar karena tidak konkritnya ukuran dan obyek atau komoditi.

e.     Ketidakjelasan dalam zat objek transaksi
Ketidaktahuan dalam zat obyek transaksi adalah bentuk dari gharar yang terlarang. Hal ini karena dzat dari komoditi tidak diketahui, walaupun jenis, macam, sifat, dan kadarnya diketahui, sehingga berpotensi untuk menimbulkan perselisihan dalam penentuan. Seperti jual pakaian atau kambing yang bermacam-macam.
Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Dhahiri melarang transaksi jual beli semacam ini, baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit karena adanya unsur gharar. Sedang mazhab Maliki membolehkan baik dalam kuantitas banyak maupun sedikit dengan syarat ada khiyar bagi pembeli yang menjadikan unsure gharar tidak berpengaruh terhadap akad. Adapun mazhab Hanafiyah membolehkan dalam jumlah dua atau tiga, dan melarang yang melebihi dari tiga.
f.     Ketidakjelasan dalam waktu objek transaksi
Jual beli tangguh (kredit), jika tidak dijelaskan waktu pembayarannya, maka ia termasuk jual beli gharar yang terlarang.
Seperti jual beli habl al-hablah, yaitu jual beli dengan sistem tangguh bayar hingga seekor unta melahirkan anaknya, atau hingga seekor unta melahirkan anak dan anak tersebut melahirkan juga anaknya. Jual beli semacam ini dikategorikan dalam jual beli gharar yang terlarang karena tidak ada kejelasan secara kongkrit dalam penentuan penangguhan pembayaran.
g.     Ketidakjelasan dalam penyerahan objek transaksi
Kemampuan menyerahkan obyek transaksi adalah syarat sahnya dalam jual beli. Maka jika obyek transaksi tidak dapat diserahkan, secara otomatis jual belinya tidak sah karena terdapat unsur gharar (tidak jelas). Seperti menjual onta yang lari atau hilang dan tidak diketahui tempatnya.Nabi Saw melarang jual beli seperti ini karena mempertimbangkan bahwa barang itu tidak dapat dipastikan apakah akan dapat diserahkan oleh penjual atau tidak.
Dari Hakim Ibn Hizam, ia berkata: Aku bertanya kepada Nabi Saw. kataku: wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku minta aku menjual suatu yang tidak ada padaku. Lalu aku menjualnya kepadanya, kemudian aku membelinya di pasar untuk aku serahkan kepadanya. Beliau menjawab : jangan engkau menjual barang yang tidak ada padamu. (HR. An-Nasa’i).
h.    Objek transaksi yang spekulatif
Gharar yang dapat mempengaruhi sahnya jual beli adalah tidak adanya (ma’dum) obyek transaksi. Yaitu keberadaan obyek transaksi bersifat spekulatif, mungkin ada atau mungkin tidak ada, maka jual beli seperti ini tidak sah. Seperti transaksi jual beli anak unta yang belum lahir dan buah sebelum dipanen. Seekor unta yang mengandung bisa jadi melahirkan dan ada kemungkinan tidak (keguguran), begitu juga buah terkadang berbuah dan terkadang juga tidak ada.[8]
Dalam kontek jual beli, jika suatu akad mengandung unsur gharar berarti ada unsur penipuan, seperti ketidak jelasan harga objek jual beli yang tidak pasti maupun dapat atau tidaknya barang itu diserahkan dalam tempo tertentu.
Oleh karena itu gharar merupakan suatu perkara yang tidak jelas dan ia dapat membatalkan akad. Unsur gharar memang bisa terjadi dalam suatu akad jual beli. Oleh karena itu ulama brusaha untuk menentukan jenis gharar apakah yang dapat membatalkn akad.
Namun ada sebagian ulama yang tidak mempermasalahkan perolehan keuntungan bagi penjual atas barang yang diperjualbelikan, hal ini didasarkan izin Rasulullah Saw epada jabir untuk mengendarai unta yang telah dijual hingga sampai ke –Madinah, pada lain kesempatan Rasul juga mengizinkan menjual pohon palem yang telah berbuah, maka buahnya milik penjual, demikian juga menjual hamba sahaya yang memiliki kekayaan , maka propertinya adalah milik si penjual.[9]
3.    Realita Bisnis Gharar
a.         Bai ataini fii ba’iah, para ulama sepakat mengharamkan bentuk jual beli ini, namun berbeda pendapat dalam menafsirkan. Jumhur ulama mengharamkan dalam hal jika dalam satu aqad mengandung dua penjualan, seperti saya jual barang ini seribu kontan dan seribu dua ratus kredit dalam waktu satu tahun. Lalu pembeli mnegatakan saya terima, tanpa menjelaskan bahwa ia membeli yang kontan atau yang kredit, yang kmeudian keduanya berpisah. Maka cara inilah yang diharamkan. Tafsir yang kedua diharamkan sepetu saya jual rumahku padamu dengan syarat engkau menjual mobilmu padaku.
Jika penjual memilih salah satu dari ketentuan itu, maka oleh para ulama diperbolehkan. Sebab larangan disini adalah terletak pada akad, karen tidak tahu secara jelas akad mana yang disetujui. Sedangkan pada bentuk kedua tidak tahu apakah akad terjadi atau tidak, maka keduanya mengandung gharar
b.    Bay’ul Ma’dum yakni ketika terjadi akad tidak ada komoditi dan keberadaannya tidak jelas pada waktu yang akan datang. Dalam traksaki moder dikenal[10] :
a)    Future Tanding
Yakni jual beli dengan pembayaran harga yang disepakati secara tunai sednagkan penyerahan barangnya ditangguhkan pada waktu yang dijanjikan oleh penjual dan disetujui pembeli (jatuh tempo). Dalam future Tanding, orang disamping memotivasi untuk membeli barang akan tetapi juga melihat fluktuasi harga.saat harga barang tinggi maka ia melepas surat tanda kepemilikan barang, dan jika harga barang rendah maka ia tahan. Bisnis ini banyak sekali mnegndung cacat syariah antara lain penjual tidak disyaratkan memeiliki barang tersebut, tetapi cukup dengan komitmen menyerehakan komoditi tersebut pada waktu tertentu, jika diminta pembeli. Bisnis ini juga tidak mensyaratkan memberikan harga semuanya secara tunai.
b)   Bisnis Komoditi yang tidak dimiliki
Dinatara bentuk bisnis yang berekembang sekarang adalah menjual barang yang tidak dimilikinya. Alasan atau illat pengharaman ini adalah karena terdapat gharar yang jelas dimana komoditi yang dijual tidak dijual tidak dapat diterima saat transaksi. Fiqh islam mengecualikan bisnis salam karena terdapat hadis yang membolehkannya dan tidak dapat unsur gharar, juga karena spesifikasinya telah disebutkan secara jelas, dan jatuh tempo yang dijanjikan komoditi tersebut ada.
c)    Money Game
Money game sebenarnya lebih dekat kepada maysir dari pada bisnis. Namun yang sebenarnya adalah manipulasi dalam bisnis karena yang terjadi adalah putaran dana atau arisan berantai tanpa ada komoditinya. Kalaupun komoditi itu ada maka tidak sesuai dengan spesifikasi maupun size atau besaran putaran dananya.
c.    Asuransi
 Gharar (ketidakpastian) terjadi pada asuransi konvensional yang kita kenal selama ini, syafi’i Antonio menjelaskan bahwa gharar atau ketidakpastian dalam asuransi ada bentuk yakni:
1.    Bentuk akad syariah yang melandasi penutupan polis
2.    Sumber dana pembayaran klaim dan kebsahan syar’i penerimaan uang klaim itu sendiri
Secara konvensional kata syafi’i kontrak/perjanjian dalam asuransi jiwa dapat dikategorikan sebagai akad pertukaran, secara syariah dalam akad pertukaram harus jelas beberapa yang harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan menjadi rancu (gharar) karena kita  tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan), tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan ( jumlah seluruh premi) karen ahanya Alloh yang tau kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi pada asuramsi konvensional.[11]


PENUTUP
Kesimpulan
Gharar merupakan sebagai aktivitas perniagaan yang mengandug unsur penipuan dan dapat mengakibatkan seseorang berada dalam keadaan bahaya dengan segala bentuknya, ini merupakan sifat yang dilarang dalam berbagai transaksi perniagaan, namun para ulama  berbeda pendapat tentang kadar gharar yang terdapat dalam transaksi
Macam-macam gharar dari berbagai sumber tidak sama yang pertama gharar dibagi gharar terhadap objek akad, gharar terhadap harga, gharar terhadap pengetahuan. Menurut fuqaha Gharar yang mendasarkan keraguan, Gharar yang tidak dipahami, Gharar yang mendasarkan kepada sesuatu yang tidak diketahui akibatnya. Sedangkan secara garis besar gharar dibagi kedalam dua kelompok besar yakni gharar dalam shighat dan gharar dalam objek transaksi.
Mengenai realitas bisnis gharar masih banyak sekali praktek dilapangan yang masih menandung gharar didalanya. Ada beberapa contoh bisnis yang mengandung gharar antara lain Bai ataii fii ba’iah, Bay’ul Ma’dum, dan asuransi


DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Achsien, Iggi H. Investasi Syariah di Pasar Modal, Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000
Am Hasan Ali. Asuransi dalam perspektif Hukum Islam, Jakarta :  Kencana, 2004
Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana, 2014
Wahid. Nazruddin Abdul. Memahami dan membedah Obigasi pada Pebankan Syariah, Yogyakarta :  Ar Ruzz Media, 2010

INTERNET
Wardah. Larangan Gharar, Dalam http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ gharar .html Diakses 12 Maret 2017 pukul 11:20
Imam Satoso, Gharar dalam Fiqh Muamalah(Realita dan solusi). Syaria Consulting Center dalam syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqh-muamalah-realita-solusi.html. Diakses pada 14 Maret 2017 pukul. 16:00


[1]  Nazruddin Abdul Wahid, Memahami dan membedah Obigasi pada Pebankan Syariah, ( Yogyakarta: Ar Ruzz Media,), 2010 Hal 66-67
[2] Am Hasan Ali, Asuransi dalam perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana), 2004, Hal135
[3] Iggi H Achsien, Investasi Syariah di Pasar Modal, (Jakarta: Gramedia Pustaka), 2000 Hal 34
[4] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami & Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 263-264
                [5] Nazaruddin Abdul Wahid, Sukuk : Memahami & Membedah Obligasi pada Perbankan Syariah, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 267-268
                [6] Ibid.,hlm. 271.
[7] Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution. Investasi pada Pasar Modal Syariah. Jakarta: Kencana, 2014
[8] Wardah. Larangan Gharar, Dalam http://wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ gharar .html Diakses 12 Maret 2017 pukul 11:20
[9] Nazruddin Abdul Wahid, Memahami dan membedah Obigasi pada Pebankan Syariah, ( Yogyakarta: Ar Ruzz Media,), 2010 ... Hal 67-71
[10] Imam Satoso, Gharar dalam Fiqh Muamalah(Realita dan solusi). Syaria Consulting Center dalam syariahonline.com/v2/component/content/article/31-general/3191-gharar-dalam-fiqh-muamalah-realita-solusi.html
[11] Am Hasan Ali, Asuransi dalam perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana), 2004, ...Hal136

1 komentar: