“Studi
Komparasi Ijma’ Sebagai Metode Istimbath Hukum Islam Dalam Pespektif Madzab
Ushul FIQH”
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah “USHUL FIQH
PERBANDINGAN”
Dosen
Pembimbing :
Dr. Iffatin Nur, M.Ag
Disusun
Oleh :
Kelompok 3
Hesti
Handayani
Lina
Indah Yunaini
Indra
Ika Yulianto
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG 2015
KATA
PENGANTAR
Assalamualaiakum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan ke
hadirat Allah SWT. Karena dengan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami telah
menyelesaikan makalah dengan judul studi komparasi ijma sebagai metode istimbat
hukum islam dalam perspektif madzab ushul fiqh.
Tujuan penyusunan makalah ini
adalah untuk memenuhi tugas dan untuk membantu rekan-rekan mahasiswa serta
pembaca pada umumnya dalam mempelajari dan sebagai informasi serta untuk
menambah wawasan khususnya mengenai Ushul fiqh Perbandingan
Penulis menyadari makalah ini tidak
akan terselesaikan tanpa dukungan, binaan.serta bimbingan dari dosen dan pihak
yang mendukung.
Kami selaku penyusun mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Dr.Maftukhin,
M.Ag
selaku Rektor Institut Agama Islam Negri Tulungagung
2. Dr.Iffatin Nur,
M.Ag selaku dosen mata
kuliah Ushul Fiqh Perbandingan
3. Semua
pihak yang peduli terhadap kami,demi terwujudnya makalah ini
Demikian yang dapat kami
sampaikan,kami menyadari atas kekurangan dalam menyusun makalah. Untuk itu kami
mohon maaf dan mohon kritik serta saran yang membangun dengan harapan kedepan
lebih baik dan sempurna. Kami mengucapkan terimakasih dan semoga makalh ini
benar-benar bermanfaat. Amiin
Tulungagung,september
2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
Cover .…………………………………………………….…………..............1
Kata
pengantar …………..….………………………………….......2
Daftar
Isi ………………………………………………….…………….....3
Bab I Pendahuluan
A.
Latar Belakang………………………………………………………....4
B.
Rumusan masalah
..…………………………………………………….4
C.
Tujuan
Pembahasan ………………………………………………….4
Bab II Pembahasan
A.
Pengertian Ijma ………… ………………………5
B.
Kualifikasi Ijma ………………………………….8
C.
Klasifikasi Ijma ………………………………….9
D.
Kehujjahan Ijma ………………………………….11
E.
Intensitas Ijma ………………………………….14
Bab III Penutup
Kesimpulan ……………………………....………………………….15
Daftar
pustaka ………………………………………………………….16
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ijma merupakan salah satu dalil
syara’ yang memiliki tingkatan dibawah Al Quran dan al hadist. Namun, ada
komunitas islam yang tidak mengakui dengan adanya Ijma itu sendiri, mereka hanya berpedoman kepada
al quran dan ala hadist. Mereke berjihat
dengan sendirinya akan tetapi tidak terlepas dari al quran dan al hadist. Ijma
muncul setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat menetapkan ijtihad untuk
menetapkan hukum terhadap masalah yang mereka hadapi.
Imam
Madzab adalah merupakan salah satu orang yang diyakini dan seringkali dijadikan
pertimbangan ulama terkait dengan suatu permasalahan. Perbedaan yang muncul
seringkalikaren ametode istimbath hukum yang digunakan juga berbeda. Meski
begitu masing-masing punya alasan tersendiri terkait hal itu. Oleh karena itu,
untuk lebih memahami perbandingan apa saja yang ada tentang ijma maka penulis
membuat makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
pendapat para madzab mengenai Ijma?
2. Bagaimana saja Kualifikasi Ijma?
3. Apa saja
klasifikasi Ijma?
4. Bagaimana saja
kehujjahan Ijma?
5. Bagaimana Intensitas
Ijma?
C. Tujuan
Makalah
1.
Mengetahui pendapat para madzab mengenai ijma
2.
Memahami kualifikasi Ijma
3.
Mengetahui Pengklasifikasian Ijma
4.
Mengerti Kehujjahan Ijma
5.
Mengetahui Intensitas Ijma
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pengertian
ijma secara etimologi mengandung dua arti
a. ijma
dengan arti ketetapan hati untuk melakukan suatu jeputusan berbuat atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma dalam
arti pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah dalam surat
yunus ayat 71:
ã@ø?$#ur öNÍkön=tã r't6tR ?yqçR
øÎ) tA$s%
¾ÏmÏBöqs)Ï9
ÉQöqs)»t
bÎ)
tb%x.
uã9x. /ä3øn=tæ
ÍG$s)¨B ÎÏ.õs?ur ÏM»t$t«Î/ «!$# n?yèsù
«!$# àMù=2uqs? (#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uà°ur ¢OèO w ô`ä3t öNä.áøBr& ö/ä3øn=tæ Zp£Jäî ¢OèO (#þqàÒø%$# ¥n<Î) wur ÈbrãÏàZè? ÇÐÊÈ
71. dan bacakanIah kepada mereka berita
penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika
terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan
ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah
keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian
janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan
janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Juga dapat dilihat dalam hadist
nabi yang bunyinya:
لاَ
صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَجْمَعَ الصِّيَامَ مِنَ الَّليْلِ
Tidak ada puasa bagi orang yang tidak
meniatkan puasa semenjak malam
b.
ijma dengan arti
“sepakat” dalam arti ini dapat dilihat dalam Al-Quran surat yusuf ayat 15 :
$£Jn=sù (#qç7yds
¾ÏmÎ/
(#þqãèuHødr&ur br&
çnqè=yèøgs
Îû
ÏMt6»uxî
Éb=ègø:$#
4
!$uZøym÷rr&ur Ïmøs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏdÌøBr'Î/ #x»yd öNèdur w tbráãèô±o
ÇÊÎÈ
15. Maka tatkala mereka membawanya dan
sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu
Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan
menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat
lagi."
Pengertian ijma secara terminologi
menurut para madzab diantaranya ialah
1.
Al-Ghazali
Merumuskan ijma
dengan:
فِي
عَصرٍ اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِ ينَ مِنْ أمَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَى أمْرٍ
شَرْعِيٍ مَا بَعْدَ عَصْرهِ
“Kesepakatan umat muhammad secara khusus
atas suatu urusan agama”
Meskipun dalam istilah ini di
khususkan kepada umat nabi muhammad,
namun mencangkup jumlah yang luas yaitu seluruh umat nabi muhammad atau umat
islam.
Pandangan Al-Ghazali ini mengikuti
pandangan imam Syafi’i yang menetapkan ijma sbagai kesepakatan umat. Hal ini
tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan
hanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan. Namun, pendapat imam syafi’i
mengalami perubahan dan perkembangan ditangan pengikutnya dikemudian hari.
2.
Al Amidi
Merumuskan ijma dengan
“Ijma adalah
kesepakatan sejumlah ahlul Halli wal aqid (para ahli yang berkompeten mengurusi
umat) pada umat muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.”
Kelihatanyya imam Al Amidi
membatasi ijma membatasi ijma itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari
umat Nabi Muhammad yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai oengikut
para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. dalam hal ini orang
awan tidak diikutkan dalam kesepakatnnya.
3. Al
Nazham
Merumuskan
ijma dengan :
“Setiap perkataan yang hujjahnya
tidak dapat dibantah”.
Maksudnya adalah setiap ucapan atau
pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah meskipun ucapan
seseorang.
4. Rumusan
yang mencangkup kepada pengertian ahl al sunah adalah yang dapat dikemukakan
oleh Abdul Wahab Khallaf. Consensusu
semua mujtahid muslim pada suatu massa setelah Rasulullah wafat atau suatu
hukum syara’ mengenai suatu kasus.
Dari
rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma itu adalah suatu kesepakatan dan semua
yang sepakat disini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu massa
tertentu sesudah wafatnya nabi. Ijma itu berlaku dalam setiap masaa oleh
seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid
semua massa sampai hari kiamat.[1]
a.
Kemudian di
kalangan Ulama ushul kontemporer terdapat beberapa definisi Sebagai berikut:
Ijma’
ialah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas sesuatu perkara
hukum syara’.
Ijma’
ialah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa tentang hukum
syara’setelah wqfatnya Nabi saw.
Sebetulnya masih terdapat beberapa
definisi lai, tetapi tidak mungkin dikemukakan semuanya di sini. Dan keempat
definisi yang telah disebutkan di atas, ternyata antara yang satu dengan
lainnya terdapat perbedaan baik dari segi redaksional maupun cakupannya.
Definisi yang dikemukakan oleh
al-Ghazali, misalnya, Ijma’ yang dimaksudnya adalah kesepakatan umat Muhammad.
Ia menyebutnya dengan kata-kata .
Sementara tiga defisini lainnya, baik yang dikemukakan oleh al-Subki dan Ali
Abdur Razak Abdul Karim Zaidan, mereka menggunakan kata-kata (kesepakatan para mujtahid), bukan seluruh
umat. Kemudian, dari ketiga definisi yang disebut terakhir ini, dua
diantaranya, yaitu definisi yang dikemukakan oleh al-Subki dan Abdul Karim
Zaidan sama-sama menyebutkan bahwa ijma’ itu terjadi setelah wafatnya
nabi, sedangkan definisi yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan Ali Abdur Razak
tidak menyebutkan terjadinya ijma’ tersebut.
Memperlihatkan perbedaan-perbedaan
di atas, maka sesungguhnya, ijma’ yang dimaksud dalam hubunganya dengan
definisi yang dikemukakan di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Abdur Razak[4]
adalah ijma’ yang didasarkan atas kesepakatan para mujtahid. Kesepatakan
yang berasal dari selain mujtahid tidak dinamakan ijma’.
Senada pula dengan Ali Abdur Razak,
Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa ijma’ di sini adalah kesepakatan
para mujtahid, bukan orang awam. Adapun orang awam adalah orang yang tidak
mampu melakukan ijtihad dan mereka tidak berkompeten dan tidak ahli
dalam meneliti hukum syara’.
Berdasarkan definisi yang
dikemukakan di atas dan membandingkan antara satu dengan lainnya, maka definisi
yang dikemukakan oleh al-Subki, Ali Abdur Razak dan Abdul Karim Zaidan lebih
tegas dan rinci, Ali Abdur Razak dan Abdul Karim Zaidan lebih tegas dan rinci,
karena disamping menyebtukan kesepakatan itu datangnya dari para mujtahid juga
menyebutkan waktu terjadinya kesepakatan tersebut, yaitu pada suatu masa
setelah wafatnya Nabi. Dan kesepaktan itu adalah kesepakatan terhadap persoalan
yang berkaitan dengan hukum syara’. Sementara itu, definisi yang
dikemuakakn oleh al-Ghazali, agaknya tidak tegas dan rinci. Al-Ghazali tidak
menyebutkan kapan terjadinya ijma’ itu dan di samping itu ijma’
(kesepakatan) yang disebutkannya adalah kesepakatan seluruh umat.
Setelah mencermati dan menganalisa
dari keempat definisi di atas, ternyata definisi yang dikemuakan oleh
al-Ghazali mengandung kelemahan. Sebab persoalan ijma’ adalah menyangkut
masalah ijtihadiyah dan hal ini berkaitan dengan aktivatas para mujtahid
dalam urusan hukum. Kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua umat atau
orang-orang awam - kecuali oleh para mujtahid yang mempunyai otoritas tentang
itu. Jika al-Ghazali mengatakan ijma’ itu kesepakatan umat, tentu tidak
tepat, karena ijma’ itu menyangkut kesepakatan para mujtahid.
B. Kualifikasi ijma
- Kemungkinan diadakan sidang
Ijma tidak akan berlangsung jika
tidak mencukupi rukun-rukunnya demikian juga tidak terdapat ukuran untk
mengetahui seseoarang itu apakah sudah mencapai tingkat jihad apa belum, untuk
mengetahui man yang mujtahid atau yang bukan itu ialah dengan dalih.
Kalau diperlukan masing-masing
mujtahid dunia islam pada waktu terjadinya peristiwa maka mereka semua akan berpikir
untuk memecahkan peristiwa tersebut. Hal ini dapat dijalankan dengan
mempergunanakan keyakinan. Mengumpulkan mereka mengalami banyak kesulitan
karena mereka terdapat pada benua-benua yang berbeda.
Alasan yang lebih kuat untuk
mengatakan ijma dengan rukun-rukunya sulit untuk dilakukan apabila hela
tersebut diwakilkan kepada pribadi-pribadi umat islam, sidang mungkin dilakukan
apabila diwakilkan kepada pemerintah islam. tiap-tiap pemerintah itu sanggup
menerangkan syarta-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan ijtihad maka
tiap-tiap pemerintah harus sanggup mengetahui kemujtahidan seseorang. Apabila tiap-tiap pemerintah menyetujui akan
pendapat mujtahid dalam memecahkan suatu masalah maka akan terwujudlah ijma
yang akan dihimpun diatas hukum syari dan wajib diikuti oleh kaum muslim
seluruhnya.
- Sidang ijma
Sidang ijma belum pernah dilakukan
setelah wafatnya Nabi. Dalam hal ini orang kemabali pada peristiwa-peristiwa
hukum yang diputuskan oleh para sahabat, pelajaran yang dpat diambil dari hukum
yang mereka putuskan itu, inilah yang disebut ijma. Keputusan yang diambil itu
hanya atas kesepakatan mereka yang hadir. Pada hakikatnya hukum itu bersumber
dari musyawarah, bukan dari pemikiran pribadi
C. Klasifikasi ijma
1) Ditinjau dari cara berijma’
Ditinjau dari caranya maka ijma’
itu dibagi menjadi dua, yakni ijma’ qouli dan sukuti.
a) ijma’
sharih
Dimana setiapmujtahid muslim
menyatakan bahwa mereka menerima pendapat ynag disepakati tersebut. Ijma sharih
inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha sebagai hujjah. Imam syafii
memberikan interpretasi ijma sharih sebaga berikut ;
“ijma sharih adalah salah satu ijma
yang engkau atau salah seorang ulama mengatakan, hukum ini telah disepakati”
maka niscaya semua ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau
katakan.
b) ijma sukuti
imam Syafii tidak memasukan ijma
sukuti ini dalam kategori ijma yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Ijma sukuti
adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorng mujtahid kemudian pendapat
tersebut telah diketahui oleh oara mujtahid yang hidup sesama dengan mujtahid
diatas, kan tetapi tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Mengenai ijma sukuti ulama terbagi
dalam tiga pendapat sebgai berikut :
Pertama: ijma’
sukuti bukanlah ijma’, apalagi untuk dijadikan hujjah sekalipun sifatnya
zanniy. Ini adalah pendapat dari imam syafi’I dan sebagian pengikut imam malik,
Alasannya adalah diamnya mujtahid boleh jadi tidak sampai masalah yang
diijtihadkan itu kepada mereka, atau memang mereka tidak berijtihad terhadap
masalah tersebut atau karena mereka takut terhadap pemimpin yang kejam jika
pendapatnya berlawanan dengan yang lain atau malu atas kehebatan mujtahid lain.
Atas dasar ini diamnya mereka tidak dipastikan ijma’.
Kedua: ijma’
sukuti merupakan hujjah yang qot’i dan tidak bolah di tolak karena ia sama
dengan ijma’ sarih meski kekuatannya sedikit lebih rendah. Ini adalah pendapat
dari sebagian besar pengikut imam hanafi dan pengikut Imam Ahmad Bin Hanbal,
Alasan galongan ini adalah diamnya sejumlah mujtahid atas sesuatu yang
diijtihadkan oleh mujtahid lain menunjukan kesepakatan yang ditunjukan dengan
sikap diam.
Ketiga: ijma’
sukuti tidak dapat digolongkan sebagai ijma’, tetapi hanya lebih dekat atau
dangan mengarah kepada kesepakatan saja, dan bisa dijadikan hujjah yang meski
sifatnya zanniy. Ini adalah pendapat dari sebagian pengikut Imam Abu hanifah
dan sebagian pengikut imam Syafi’i.[5]Sedangkan
ulama habafi berpendapat boleh dijadikan hujjah jika mujtahid tetap berdiam
diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri disini
tidak dapat dikategorikan berdiam diri karena takut atau berolok-olok. Karena
berdiam diri tidak bersuara pada etmpat berfatwa itu menyatakan sesuatu atau
membuat peratuaran atau undang-undang. Disamping itu dia meniadakan terhadapa
apa ang menjadi halangan baginya mengemukakan pendapat sekalipun berbeda. Kalau
memang ternyata beda maka disini jika berdiam diri akan dipertajam.
Ulama hanafi
membagi ijma dalam dua macam :
a. Ijma qathi’ yaitu ijma sharih adalah
tidaka ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa dengan adanya perbedaan
pendapat.
b. Ijma dzanni
itu hukumnya masih diragukan, tidak boleh mengeluarkanperistiwa dari lapangan
yang dibentuk oleh ijtihad karena merupakan jalan pemikiran dari sebagian
mujtahid bukan keseluruhan.
Syarat-syarat adanya ijma’ sukuti antara lain:
1.
Yang diijma’kan
adalah masalah ijtihadiyah.
2.
Yang diijma’kan
adalah masalah hukum taklifiyah.
3.
Hendaknya pernyataan pendapat yang disetujui
sampai kepada semua mujtahid.
4.
Sikap diam harus
benar-benar tanpa komentar sama sekali artinya, tidak ada gelagat pernyataan
antara setuju dan tidak setuju. Tidak menunjukkan tanda-tanda sikap ridho atau
tidak ridho
2) Ditinjau
dari cara berijma’
Ada
beberapa macam ijma’ yang dikenal dan dikatakan orang sebagai ijma’ sesuai
dengan siapa orang yang berijma’,yakni:
1. Ijma’
sahabat yakni, ijma’ seluruh sahabat Nabi SAW.
2. Ijma’
khalifah empat yakni, abu bakar, umar, usman, ali.
3. Ijma’
abu bakar dan umar.
4. Ijma’
ulama madinah.
5. Ijma’
ulama kuffa dan basroh.
Didalam buku lai disebutkan macam-macam ijma’
terdiri dari:
1. Ijma’
ummah yaitu, kesepakatan seluruh mujtahid.
2. Ijma’
sahaby yaitu, kesepakatan seluruh ulama sahabat.
3. Ijma’
ahli madinah yaitu, kesepakatan ulama madinah.
4. Ijma’
ahli kuffah yaitu, kesepakatan ulama kufah.
5. Ijma’
khalifah yang empat yaitu, kesepakatan khalifah empat.
6. Ijma’
syaikhony yaitu, kesepakatan antara abu bakar dan umar.
Dari beberapa macam ijma’ itu,
ditinjau berdasarkan definisi ijma’ diatas maka, hanya ijma’ sahabatlah yang
betul-betul disebut ijma’. Hal ini karena yang dinamakan ijma’ adalah
kesepakatan seluruh ulama’ mujtahid bukan sebagian ulama mujtahid.
Pada zaman sahabat nampak siapa
diantara mereka yang terkriteria sebagai mujtahid dan bukan mujtahid. Kemudian
jumlah mereka yang masih sedikt dan masih berkumpul disuatu wilayah terbata,
yakni madinah, makah, kuffah dan basroh sehingga sangat mungkin terjadi ijma’.
D. Kehujahan ijma
Kehujjahan ijma dilandasi oleh
sejumlah ayat Al-Quran antara lain
1. surat Al Baqarah ayat 143
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_
Zp¨Bé& $VÜyur
(#qçRqà6tGÏj9
uä!#ypkà n?tã
Ĩ$¨Y9$# tbqä3tur
ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3
$tBur
$oYù=yèy_
s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$#
|MZä.
!$pkön=tæ wÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB
ßìÎ6®Kt tAqߧ9$# `£JÏB
Ü=Î=s)Zt
4n?tã Ïmøt7É)tã 4
bÎ)ur
ôMtR%x.
¸ouÎ7s3s9
wÎ) n?tã
tûïÏ%©!$#
yyd
ª!$# 3
$tBur
tb%x.
ª!$# yìÅÒãÏ9
öNä3oY»yJÎ) 4
cÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9
ÒOÏm§
ÇÊÍÌÈ
143. dan demikian (pula) Kami telah menjadikan
kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang)
melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat,
kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada manusia.
2. surat An Nisa ayat 115
`tBur È,Ï%$t±ç
tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB
tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6Ftur uöxî È@Î6y
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
¾Ï&Îk!uqçR $tB
4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur
zN¨Yygy_ (
ôNuä!$yur #·ÅÁtB ÇÊÊÎÈ
115. dan Barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.[8]
Disamping itu dilandasi pula oleh
sejumlah hadis :
1. hadist yang diriwayatkan oleh
Al-Turmudzi
أُ
مَّتِي لأ تَجْتَمِعُ عَلَى الْخَطَاِ
“tidak mungkin bersepakat umatku
terhadap sesuatu yang keliru”
2. hadist ibnu umar yang
diriwayatkan oleh At-Turmudzi
إِنَّ
أمَّتِي لأ يَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَا لَةٍ
“tidak mungkin bersepakat umatku
terhadap sesuatu yang sesat”.[9]
Kehujahan ijma menurut para ulama
madzab
- Imam Hanifah
Menurut ulma hanafiah baik ijma
sharih maupun ijma sukuti keduanya boleh dijadikan hujah. Ijma sukuti boleh
dijadikan hujjah dengan alasan bahwa diamnya mujtahid setelah disodorkan
kepadanya peristiwa dan telah sampai akhir pembahasan itu tidak didapati suatu
petunjuk, adalah karena takut oleh penguasa atau malu mengakui kehebatan
mujtahid yang lain.
- Imam malik
Menjadikan ijma sebagai hujjah atau
sandaran fatwa setelah Al Quran dan sunah. Imam malik hanya menerima ijma yang
bersumber dari fiqh dan ahli ijtihad. Dalam praktiknya ijma ahlu madinah lebih
didahulukan dari pada khabar ahad dalam melakukan istimbathukum, karena amalan
mereka adalah cerminan Rasul.
- Imam Syafi’i
Hanya menjadikan ijma sharih
sebagai hujjah, sedangkan ijma sukuti tidak beliau jadikan hujjah dan ia tidak
menerima ijma yang bersifat lokal. .ia menempatan ijma pada urutan ketiga
setelah Al-Quran dan sunah.
- Imam Ahmad Abu Hanbal
Hanya menjadikan hujah ijma yang
terjadi pada masa sahabat saja, karena setelah masa itu ulama islam telah
bertebaran ke pelosok dunia sehingga untuk mengumpulkan mereka kembali bukalah
suatu hal yang mudah.[10]
E. Sandaran Ijma’
Walau
bagaimanapun sebuah Ijma’ ulama’ tidak lahir begitu saja. Sebab Ijma’ bukan
wahyu yang turun dari atas langit dari sisi Allah ke bumi. Sehingga sebuah
Ijma’ terbentuk dengan berdasarkan sesuatu yang disandarkan atasnya.
Sandaran
untuk sebuah Ijma’ menurut Dr. Abdul Karim Zaidan antara lain :
1. Nash
Al-Quran
Ketika para ulama’ berIjma’
mengharamkan pernikahan antara seorang laki-laki dengan ibunya, atau dengan
anak perempuannya, saudari perempuan, atau bibinya, maka sandarannya adalah
ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé&
öNä3è?$oYt/ur
öNà6è?ºuqyzr&ur
öNä3çG»£Jtãur
öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur
ËF{$# ßN$oYt/ur
ÏM÷zW{$# ...
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu
yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” (QS. An-Nisa’ : 23)
2. Nash
Al-Hadits
Ketika para ulama’ berIjma’ bahwa
bagian harta warisan yang diterima oleh seorang kakek yang ditinggal mati oleh
cucunya adalah 1/6, maka Ijma’ itu didasarkan pada hadits ahad.
3. Qiyas
Ketika
para ulama’ berIjma’ bahwa minyak babi dan lemaknya adalah najis dan haram
dimakan, maka hal itu adalah qiyas yang mereka lakukan terhadap daging babi.
Mengingat bahwa yang disebutkan keharamannya adalah daging babi, dan lemaknya
tidak ikut disebutkan. Namun qiyas yang mereka lakukan itu sampai ke derajat
Ijma’. Artinya, seluruh ulama’ bersepakat mengqiyaskan lemak babi dengan daging
babi, tanpa kecuali.
F. Intensitas ijma’
Rukun ijma ada empat yakni :
a. pada saat terjadi peristiwa tersebut
mujtahid jumlahnya lebih dari seorang. Karena kesepakatan itu tidak akan
terwujud kalau pemikiran yang dikeuarkan itu jumlahnya tidak lebih dari
seorang, seluruh keputusan itu harus disetujui oleh semua mujtahid
b. sepakat atas hukum syar’i, karena sidang
ijma itu tidak lain selain dengan kesepakatan seluruh mujtahid alam islami pada
masa peristiwa itu.
c. kesepakatan untuk memulai. Semua mujtahid
harus mengeluarkan pandapat secara jujur atas suatu peristiwa agar memudahkan
mereka untuk memutuskan hukum.
d. Menetapka kesempatan dari semua mujtahid
terhadap suatu hukum untuk mendapatkan penyelesaian.
Berdasarkan
definisi yang dikemukakan oleh para jumhur ulama’, dapat disimpulkan syarat-syarat
ijma’ sebagai berikut :
Syarat
Pertama berkenaan dengan kesepakatan (الإتِّفَاق), yaitu kesamaan pendapat antara seseorang
dengan orang lain, baik dalam hal keyakinan, perkataan atau perbuatan. Dalam
hal ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi untuk terlaksananya Ijma’;
1.
Kesepakatan itu
adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’ jika
kesepakatan itu hanya dari sebagian mujtahid, sedangkan sebagian lainnya tidak.
Akan tetapi para pakar ushul fiqh menilai bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid
sebagai hujjah.
2.
Kesepakatan
mujtahid itu harus dari semua tempat dan golongan.
3.
Kesepakatan para
mujtahid harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat dilihat dalam
perbuatan.
Syarat
Kedua berkenaan dengan mujtahid. Syarat yang harus
dipenuhi bagi seseorang untuk menjadi mujtahid,yaitu ;
1.
Memiliki
pengetahuan tentang al-Qur’an, sunnah, dan persoalan-persoalan yang telah
menjadi objek ijma’ sebelumnya.
2.
Memiliki
pengetahuan ilmu Ushul Fiqh.
3.
Memiliki
pengetahuan kebahasaan (arab).
Syarat
ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal
dari umat Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu.
Syarat
keempat adalah bahwa pasti berlangsung setelah wafat nabi
Muhammad SAW.
Syarat
kelima ; ijma’ merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan
masalah hukum syara’, seperti wajib, haram, sunnah dan seterusnya.
G. Objek Ijma’
Objek
ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah
ghairu mahdlah (ibadah yang tidak langsung ditunjukan kepada Allah SWT) seperti
mu’amalat, kemasyarakatan atau semua hal yang berhubungan dengan urusan duniawi
tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qu’ran dan Hadits.
H. Kemungkinan
Ijma’ Setelah Masa Sahabat
Setelah masa sahabat, yakni masa tabi’in sampai
sekarang dimana ulama mujtahid telah tersebar keseluruh pelosok dan penjuru
dunia, maka kemungkinan adanya ijma’ sangat kecil sekali,bahkan hampir tidak
mungkin akan terjadi ijma’. Untuk dapat terwujudnya ijma’ itu
sekurang-kurangnya harus diperhatikan hal-hal berikut:[11]
a.
Penentuan status seorang Mujtahid. Untuk menentukan bahwa seseorang itu ulama’ mujtahid atau bukan, siapa
yang menentukannya dan apa parameter-nya. Status kemujtahidan seseorang bukan
ditentukan oleh status sosialnya, domisili geografisnya atau terkenal tidaknya,
akan tetapi berdasarkan kewara’an dan kedalaman ilmunya.
b.
Untuk bisa terjadi ijma’ maka harus terjadi persamaan pendapat,
untuk terjadinya sesuatu persamaan maka masalah itu harus dapat dinukilkan dan
diketahui oleh seluruh Ulama’ Mujtahid, (baik mereka yang terkenal atau yang
tidak terkenal). Hal ini tidak mungkin, karena boleh jadi sesuatu pendapat bisa
saja sampai kepada seorang ulama’ tetapi ia kapasitas kemujtahidannya tidak
terpenuhi, atau mungkin ada ulama’ yang terpenuhi kriteria sebagai mujtahid
akan tetapi tidak sedang menjadi orang populer sehingga tidak didengar
pendapatnya yang muncul sekalipun pendapatnya sangat berbobot. Oleh karenanya,
dapatlah dimaklumi apa yang dikatakan oleh Imam Hambal bahwa:
من ادعى وجود
الاجماع فهو كادب
Artinya: “siapa yang
menyatakan ada ijma sebenarnya ia adalah berdusta.”
Ijma’ menurut konsepsi ahli ushul
fiqih sesudah zaman sahabat tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin ini hanya
pelaksanaanya, tanpa menyinggung prinsip terjadinya ijma’, meskipun dalam
bentuk yang lain. Ijma’ yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda
dengan ijma’ dari keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama’ yang
mewakili segala lapisan masyarakatnya untuk membicarakan kepentingan kepentingan
mereka. Mereka itulah yang dinamakan ulil ‘amri atau ahlul halli wal
‘aqdi. Mereka diberi hak oleh syariat islam untuk membuat undang-undang
yang belum ada dalam syara’.
Keputusan dari ahlul halli wal
‘aqdi wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan nash yang
jelas, tetapi jika berlawanan dengan nash syariat betapa dan bagaimana pun
keputusan mereka tetap batal.[12]
I.
Perbedaan
Ijma’ dengan Ijtihad
Ijma’ adalah kesepakatan (konsessus)
seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum
syara’ untuk satu peristiwa (kejadian)
Ijtihad jama’I koletif adalah ijtihad
yang dilakukan bersama atau bermusyawarah terhadap suatu masalah dan pengalaman
hasilnya menjadi tanggung jawab bersama.
J.
Contoh
ijma
Contoh ijma’ yang dilandaskan
atas Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan
cucu perempuan. Kesepakatan tersebut dilandaskan atas ayat 23 Surat an-Nisa’
yang berbunyi:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَا تُكُمْ وَبَنَا تُكُمْ وَأ خَواَتُكُمْ
وَعَمَّا تُكُمْ وخَالَاتكم وبَنَاتُ لأخِ و بنات الأخْتِ وأمَّهَا تكم اللَّاتِي
أرْضَعْنَكُمْ وأَخَوَاتكم مِنَ الرَّضَاعَةِ وأمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَا ئِكُمُ اللاتي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوادخلتم بهن فَلَاجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وحَلَائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوابَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إلامَاقَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًارَحِيمًا
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibu-mu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-sauidaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua);
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan),
maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah
Maha Peng-ampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4:23)
Contoh ijma’ yang dilandaskan
atas Sunnah, kesepakatan ulama bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu
kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta warisan.
Kesepakatan tersebut
dilandaskan atas Hadist bahwa Rasulullah, ketika ibu si mayit sudah tidak ada,
pernah member nenek seperenam dari harta warisan cucunya sebagaimana disebut
dalam Hadist:
عن ابْنُ أَبِي عُمَرَقَالَ جَاءَتْ الجَدَّةُ أُمُّ لْأُمِّ وَلأبِ إِلَى
أبِي بَكْرِفَسَأَلَ النَّاسَ فَشَهِدَالمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا (روه اترمذى)
Dari Ibnu Umar
berkata, ada seorang nenek yaitu Ibu kandung ibu dan ibu kandung bapak yang
dating kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya kepada
orang-orang dan Al-Mughirah bin Syu’bah lah yang bisa member tahu bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW. Memberikan bagian warisan kepada nenek seperenam. (HR. Tirmizi)
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu
kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan baik kepadanya baik langsung maupun
tidak langsung. Ijma merupakan hasil istimbath para ulama sehingga ada
perbedaan untuk intensitas penggunaannya. Pengelompokan ijma yang bersifat
global ada dua yaitu: ijma sharih dan ijma sukuti, diantara macam-macam ijma
tersebut untuk ijma sukuti masih diperdebatkan kehujjahannya, khususnya imam
syafi’i yang tidak memperbolehkan ijma sukuti sebagai dasar pengambilan hukum.
Sedangkan para imam madzhab yang lain ada yang membolehkan kehujjahan ijma.
DAFTAR
PUSTAKA
Syariffudin, Amif. 1997. Ushul
Fiqh Jilid 1. Jakarta. PT logos wacana ilmu.
Nuryakin,2000, buku ajar ushul
fiqih,pusat penerbitan dan publikasi STAIN Tulungagung.
Irwanto. 2012. Dalam Irwantheone1.blogspot.com/2012/08/ijma-menurut-empat-madz
ab.html?m=1 diakses pada 13september 2015 jam 08.56 WIB
[1]
Syarifuddin Amir,ushul fiqh jilid I,jakarta:logos wacana ilmu,1997,hlm.
112-115.
[2]
Ali Abdur Razak. Al-Ijma’ Fi al-Syari’at al-Islamiyah. Mesir; Dar
ar-Fikr al-Arabi, 1974, halaman 9.
[3]
Lihat dalam Abdul Karim Zaidan. Op. cit. halaman 176.
[4]
Ali Abdur Razak, Op. cit. halaman 7.
[6]
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Logos,1999), hlm.56.
[7]
H.M.Suparta, Djedjen zainudin, Fiqih, Semarang:Toha putra, tanpa tahun),
hlm.170.
[8]
Syarifuddin Amir,ushul...,hlm. 118-119.
[9]
Nuryakin,buku ajar ushul fiqih,(pusat penerbitan dan publikasi STAIN Tulungagung,2000),hlm.54-55
[10] Irwanto.
2012. Dalam Irwantheone1.blogspot.com/2012/08/ijma-menurut-empat-madz
ab.html?m=1 diakses pada 13september 2015 jam 08.56 WIB
[11]
Ibid.,hlm. 92.
[12]
Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih,hlm.128.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar