Sabtu, 18 Maret 2017

Studi Komparasi Ijma’ Sebagai Metode Istimbath Hukum Islam Dalam Pespektif Madzab Ushul FIQH



“Studi Komparasi Ijma’ Sebagai Metode Istimbath Hukum Islam Dalam Pespektif Madzab Ushul FIQH”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah USHUL FIQH PERBANDINGAN
Dosen Pembimbing :

Dr. Iffatin Nur, M.Ag


Disusun Oleh :
Kelompok  3
Hesti Handayani
Lina Indah Yunaini
Indra Ika Yulianto

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG 2015
KATA PENGANTAR
Assalamualaiakum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT. Karena dengan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami telah menyelesaikan makalah dengan judul studi komparasi ijma sebagai metode istimbat hukum islam dalam perspektif madzab ushul fiqh.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dan untuk membantu rekan-rekan mahasiswa serta pembaca pada umumnya dalam mempelajari dan sebagai informasi serta untuk menambah wawasan khususnya mengenai Ushul fiqh Perbandingan
Penulis menyadari makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa dukungan, binaan.serta bimbingan dari dosen dan pihak yang mendukung.
Kami selaku penyusun mengucapkan terimakasih kepada :
1.      Dr.Maftukhin, M.Ag selaku Rektor Institut Agama Islam Negri Tulungagung
2.      Dr.Iffatin Nur, M.Ag selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh Perbandingan
3.      Semua pihak yang peduli terhadap kami,demi terwujudnya makalah ini
Demikian yang dapat kami sampaikan,kami menyadari atas kekurangan dalam menyusun makalah. Untuk itu kami mohon maaf dan mohon kritik serta saran yang membangun dengan harapan kedepan lebih baik dan sempurna. Kami mengucapkan terimakasih dan semoga makalh ini benar-benar bermanfaat. Amiin
Tulungagung,september 2015

Penyusun


DAFTAR ISI
Cover  .…………………………………………………….…………..............1
Kata pengantar                  …………..….………………………………….......2
Daftar Isi        ………………………………………………….…………….....3
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang………………………………………………………....4
B.     Rumusan masalah ..…………………………………………………….4
C.     Tujuan Pembahasan    ………………………………………………….4
Bab II Pembahasan
A.    Pengertian Ijma                                   ………… ………………………5
B.     Kualifikasi Ijma                                  ………………………………….8
C.     Klasifikasi Ijma                                   ………………………………….9
D.    Kehujjahan Ijma                                  ………………………………….11
E.     Intensitas Ijma                                                ………………………………….14
Bab III Penutup
       Kesimpulan          ……………………………....………………………….15
Daftar pustaka     ………………………………………………………….16





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ijma merupakan salah satu dalil syara’ yang memiliki tingkatan dibawah Al Quran dan al hadist. Namun, ada komunitas islam yang tidak mengakui dengan adanya Ijma  itu sendiri, mereka hanya berpedoman kepada al quran dan  ala hadist. Mereke berjihat dengan sendirinya akan tetapi tidak terlepas dari al quran dan al hadist. Ijma muncul setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat menetapkan ijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah yang mereka hadapi.
            Imam Madzab adalah merupakan salah satu orang yang diyakini dan seringkali dijadikan pertimbangan ulama terkait dengan suatu permasalahan. Perbedaan yang muncul seringkalikaren ametode istimbath hukum yang digunakan juga berbeda. Meski begitu masing-masing punya alasan tersendiri terkait hal itu. Oleh karena itu, untuk lebih memahami perbandingan apa saja yang ada tentang ijma maka penulis membuat makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendapat para madzab mengenai Ijma?
2.      Bagaimana  saja Kualifikasi Ijma?
3.      Apa saja klasifikasi Ijma?
4.      Bagaimana saja kehujjahan Ijma?
5.      Bagaimana Intensitas Ijma?

C.     Tujuan Makalah
1.      Mengetahui pendapat para madzab mengenai ijma
2.      Memahami kualifikasi Ijma
3.      Mengetahui Pengklasifikasian Ijma
4.      Mengerti Kehujjahan Ijma
5.      Mengetahui Intensitas Ijma


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian
       Pengertian ijma secara etimologi mengandung dua arti
a.     ijma dengan arti ketetapan hati untuk melakukan suatu jeputusan berbuat  atau keputusan berbuat sesuatu. Ijma dalam arti pengambilan keputusan itu dapat dilihat dalam firman Allah dalam surat yunus ayat 71:
 ã@ø?$#ur öNÍköŽn=tã r't6tR ?yqçR øŒÎ) tA$s% ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ÉQöqs)»tƒ bÎ) tb%x. uŽã9x. /ä3øn=tæ ÍG$s)¨B ÎŽÏ.õs?ur ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# n?yèsù «!$# àMù=ž2uqs? (#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur ¢OèO Ÿw ô`ä3tƒ öNä.áøBr& ö/ä3øn=tæ Zp£Jäî ¢OèO (#þqàÒø%$# ¥n<Î) Ÿwur ÈbrãÏàZè? ÇÐÊÈ   
71. dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.
Juga dapat dilihat dalam hadist nabi yang bunyinya:
 لاَ صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يَجْمَعَ الصِّيَامَ مِنَ الَّليْلِ
            Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam
b.        ijma dengan arti “sepakat” dalam arti ini dapat dilihat dalam Al-Quran  surat yusuf ayat 15 :
$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4 !$uZøŠym÷rr&ur ÏmøŠs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏd̍øBr'Î/ #x»yd öNèdur Ÿw tbráãèô±o ÇÊÎÈ  
15. Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
Pengertian ijma secara terminologi menurut para madzab diantaranya ialah
1.    Al-Ghazali
Merumuskan ijma dengan:
فِي عَصرٍ اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِ ينَ مِنْ أمَّةِ مُحَمَّدٍ عَلَى أمْرٍ شَرْعِيٍ مَا بَعْدَ عَصْرهِ
“Kesepakatan umat muhammad secara khusus atas suatu urusan agama”
Meskipun dalam istilah ini di khususkan kepada umat  nabi muhammad, namun mencangkup jumlah yang luas yaitu seluruh umat nabi muhammad atau umat islam.
Pandangan Al-Ghazali ini mengikuti pandangan imam Syafi’i yang menetapkan ijma sbagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan bukan perorangan. Namun, pendapat imam syafi’i mengalami perubahan dan perkembangan ditangan pengikutnya dikemudian hari.
2.    Al Amidi
Merumuskan ijma dengan
“Ijma adalah kesepakatan sejumlah ahlul Halli wal aqid (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) pada umat muhammad pada suatu masa atau hukum suatu kasus.”
Kelihatanyya imam Al Amidi membatasi ijma membatasi ijma itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Nabi Muhammad yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai oengikut para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. dalam hal ini orang awan tidak diikutkan dalam kesepakatnnya.
3.    Al Nazham
Merumuskan ijma dengan :
“Setiap perkataan yang hujjahnya tidak dapat dibantah”.
Maksudnya adalah setiap ucapan atau pendapat yang dapat ditegakkan sebagai hujjah syari’iyah meskipun ucapan seseorang.
4.       Rumusan yang mencangkup kepada pengertian ahl al sunah adalah yang dapat dikemukakan oleh Abdul  Wahab Khallaf. Consensusu semua mujtahid muslim pada suatu massa setelah Rasulullah wafat atau suatu hukum syara’ mengenai suatu kasus.
Dari rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma itu adalah suatu kesepakatan dan semua yang sepakat disini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu massa tertentu sesudah wafatnya nabi. Ijma itu berlaku dalam setiap masaa oleh seluruh mujtahid yang ada pada masa itu, dan bukan berarti kesepakatan mujtahid semua massa sampai hari kiamat.[1]
a.       Kemudian di kalangan Ulama ushul kontemporer terdapat beberapa definisi Sebagai berikut:
Ali Abdur Razak,[2] misalnya menyebutkan:
Ijma’ ialah kesepakatan para mujtahid umat Islam pada suatu masa atas sesuatu perkara hukum syara’.
Sementara itu, Abdul Karim Zaidah,[3] dalam kitab al-Wajiz Fi Ushul al-Fiqh, menyatakan:
Ijma’ ialah kesepakatan dari para mujtahid umat Islam pada satu masa tentang hukum syara’setelah wqfatnya Nabi saw.
Sebetulnya masih terdapat beberapa definisi lai, tetapi tidak mungkin dikemukakan semuanya di sini. Dan keempat definisi yang telah disebutkan di atas, ternyata antara yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan baik dari segi redaksional maupun cakupannya.
Definisi yang dikemukakan oleh al-Ghazali, misalnya, Ijma’ yang dimaksudnya adalah kesepakatan umat Muhammad. Ia menyebutnya dengan kata-kata Description: a.bmp. Sementara tiga defisini lainnya, baik yang dikemukakan oleh al-Subki dan Ali Abdur Razak Abdul Karim Zaidan, mereka menggunakan kata-kata Description: b.bmp (kesepakatan para mujtahid), bukan seluruh umat. Kemudian, dari ketiga definisi yang disebut terakhir ini, dua diantaranya, yaitu definisi yang dikemukakan oleh al-Subki dan Abdul Karim Zaidan sama-sama menyebutkan bahwa ijma’ itu terjadi setelah wafatnya nabi, sedangkan definisi yang dikemukakan oleh al-Ghazali dan Ali Abdur Razak tidak menyebutkan terjadinya ijma’ tersebut.
Memperlihatkan perbedaan-perbedaan di atas, maka sesungguhnya, ijma’ yang dimaksud dalam hubunganya dengan definisi yang dikemukakan di atas, sebagaimana dikemukakan oleh Ali Abdur Razak[4] adalah ijma’ yang didasarkan atas kesepakatan para mujtahid. Kesepatakan yang berasal dari selain mujtahid tidak dinamakan ijma’.
Senada pula dengan Ali Abdur Razak, Zaky al-Din Sya’ban menyebutkan bahwa ijma’ di sini adalah kesepakatan para mujtahid, bukan orang awam. Adapun orang awam adalah orang yang tidak mampu melakukan ijtihad dan mereka tidak berkompeten dan tidak ahli dalam meneliti hukum syara’.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas dan membandingkan antara satu dengan lainnya, maka definisi yang dikemukakan oleh al-Subki, Ali Abdur Razak dan Abdul Karim Zaidan lebih tegas dan rinci, Ali Abdur Razak dan Abdul Karim Zaidan lebih tegas dan rinci, karena disamping menyebtukan kesepakatan itu datangnya dari para mujtahid juga menyebutkan waktu terjadinya kesepakatan tersebut, yaitu pada suatu masa setelah wafatnya Nabi. Dan kesepaktan itu adalah kesepakatan terhadap persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’. Sementara itu, definisi yang dikemuakakn oleh al-Ghazali, agaknya tidak tegas dan rinci. Al-Ghazali tidak menyebutkan kapan terjadinya ijma’ itu dan di samping itu ijma’ (kesepakatan) yang disebutkannya adalah kesepakatan seluruh umat.
Setelah mencermati dan menganalisa dari keempat definisi di atas, ternyata definisi yang dikemuakan oleh al-Ghazali mengandung kelemahan. Sebab persoalan ijma’ adalah menyangkut masalah ijtihadiyah dan hal ini berkaitan dengan aktivatas para mujtahid dalam urusan hukum. Kegiatan ijtihad tidak dapat dilakukan oleh semua umat atau orang-orang awam - kecuali oleh para mujtahid yang mempunyai otoritas tentang itu. Jika al-Ghazali mengatakan ijma’ itu kesepakatan umat, tentu tidak tepat, karena ijma’ itu menyangkut kesepakatan para mujtahid.
B.       Kualifikasi ijma
  1. Kemungkinan diadakan sidang
Ijma tidak akan berlangsung jika tidak mencukupi rukun-rukunnya demikian juga tidak terdapat ukuran untk mengetahui seseoarang itu apakah sudah mencapai tingkat jihad apa belum, untuk mengetahui man yang mujtahid atau yang bukan itu ialah dengan dalih.
Kalau diperlukan masing-masing mujtahid dunia islam pada waktu terjadinya peristiwa maka mereka semua akan berpikir untuk memecahkan peristiwa tersebut. Hal ini dapat dijalankan dengan mempergunanakan keyakinan. Mengumpulkan mereka mengalami banyak kesulitan karena mereka terdapat pada benua-benua yang berbeda.
Alasan yang lebih kuat untuk mengatakan ijma dengan rukun-rukunya sulit untuk dilakukan apabila hela tersebut diwakilkan kepada pribadi-pribadi umat islam, sidang mungkin dilakukan apabila diwakilkan kepada pemerintah islam. tiap-tiap pemerintah itu sanggup menerangkan syarta-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan ijtihad maka tiap-tiap pemerintah harus sanggup mengetahui kemujtahidan seseorang.  Apabila tiap-tiap pemerintah menyetujui akan pendapat mujtahid dalam memecahkan suatu masalah maka akan terwujudlah ijma yang akan dihimpun diatas hukum syari dan wajib diikuti oleh kaum muslim seluruhnya.
  1. Sidang ijma
Sidang ijma belum pernah dilakukan setelah wafatnya Nabi. Dalam hal ini orang kemabali pada peristiwa-peristiwa hukum yang diputuskan oleh para sahabat, pelajaran yang dpat diambil dari hukum yang mereka putuskan itu, inilah yang disebut ijma. Keputusan yang diambil itu hanya atas kesepakatan mereka yang hadir. Pada hakikatnya hukum itu bersumber dari musyawarah, bukan dari pemikiran pribadi
C.      Klasifikasi ijma
1)      Ditinjau dari cara berijma’
Ditinjau dari caranya maka ijma’ itu dibagi menjadi dua, yakni ijma’ qouli dan sukuti.
a)      ijma’ sharih
Dimana setiapmujtahid muslim menyatakan bahwa mereka menerima pendapat ynag disepakati tersebut. Ijma sharih inilah yang disepakati oleh jumhur fuqaha sebagai hujjah. Imam syafii memberikan interpretasi ijma sharih sebaga berikut ;
“ijma sharih adalah salah satu ijma yang engkau atau salah seorang ulama mengatakan, hukum ini telah disepakati” maka niscaya semua ulama yang engkau temui juga mengatakan seperti apa yang engkau katakan.

b) ijma sukuti
imam Syafii tidak memasukan ijma sukuti ini dalam kategori ijma yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Ijma sukuti adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorng mujtahid kemudian pendapat tersebut telah diketahui oleh oara mujtahid yang hidup sesama dengan mujtahid diatas, kan tetapi tidak ada seorangpun yang mengingkarinya.
Mengenai ijma sukuti ulama terbagi dalam tiga pendapat sebgai berikut :
Pertama: ijma’ sukuti bukanlah ijma’, apalagi untuk dijadikan hujjah sekalipun sifatnya zanniy. Ini adalah pendapat dari imam syafi’I dan sebagian pengikut imam malik, Alasannya adalah diamnya mujtahid boleh jadi tidak sampai masalah yang diijtihadkan itu kepada mereka, atau memang mereka tidak berijtihad terhadap masalah tersebut atau karena mereka takut terhadap pemimpin yang kejam jika pendapatnya berlawanan dengan yang lain atau malu atas kehebatan mujtahid lain. Atas dasar ini diamnya mereka tidak dipastikan ijma’.
Kedua: ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qot’i dan tidak bolah di tolak karena ia sama dengan ijma’ sarih meski kekuatannya sedikit lebih rendah. Ini adalah pendapat dari sebagian besar pengikut imam hanafi dan pengikut Imam Ahmad Bin Hanbal, Alasan galongan ini adalah diamnya sejumlah mujtahid atas sesuatu yang diijtihadkan oleh mujtahid lain menunjukan kesepakatan yang ditunjukan dengan sikap diam.
Ketiga: ijma’ sukuti tidak dapat digolongkan sebagai ijma’, tetapi hanya lebih dekat atau dangan mengarah kepada kesepakatan saja, dan bisa dijadikan hujjah yang meski sifatnya zanniy. Ini adalah pendapat dari sebagian pengikut Imam Abu hanifah dan sebagian pengikut imam Syafi’i.[5]Sedangkan ulama habafi berpendapat boleh dijadikan hujjah jika mujtahid tetap berdiam diri, tidak berbicara dan tidak mengeluarkan pendapat. Berdiam diri disini tidak dapat dikategorikan berdiam diri karena takut atau berolok-olok. Karena berdiam diri tidak bersuara pada etmpat berfatwa itu menyatakan sesuatu atau membuat peratuaran atau undang-undang. Disamping itu dia meniadakan terhadapa apa ang menjadi halangan baginya mengemukakan pendapat sekalipun berbeda. Kalau memang ternyata beda maka disini jika berdiam diri akan dipertajam.
Ulama hanafi membagi ijma dalam dua macam :
a. Ijma qathi’ yaitu ijma sharih adalah tidaka ada jalan bagi hukum terhadap suatu peristiwa dengan adanya perbedaan pendapat.
b. Ijma dzanni itu hukumnya masih diragukan, tidak boleh mengeluarkanperistiwa dari lapangan yang dibentuk oleh ijtihad karena merupakan jalan pemikiran dari sebagian mujtahid bukan keseluruhan.
Syarat-syarat adanya ijma’ sukuti antara lain:
1.                       Yang diijma’kan adalah masalah ijtihadiyah.
2.                                                         Yang diijma’kan adalah masalah hukum taklifiyah.
3.              Hendaknya pernyataan pendapat yang disetujui sampai kepada semua mujtahid.
4.             Sikap diam harus benar-benar tanpa komentar sama sekali artinya, tidak ada gelagat pernyataan antara setuju dan tidak setuju. Tidak menunjukkan tanda-tanda sikap ridho atau tidak ridho
2)      Ditinjau dari cara berijma’
Ada beberapa macam ijma’ yang dikenal dan dikatakan orang sebagai ijma’ sesuai dengan siapa orang yang berijma’,yakni:
1.    Ijma’ sahabat yakni, ijma’ seluruh sahabat Nabi SAW.
2.    Ijma’ khalifah empat yakni, abu bakar, umar, usman, ali.
3.    Ijma’ abu bakar dan umar.
4.    Ijma’ ulama madinah.
5.    Ijma’ ulama kuffa dan basroh.
6.    Ijma’ al-‘itrah yakni, ijma’ ahlu [6]bait (golongan syi’ah)



Didalam buku lai disebutkan macam-macam ijma’ terdiri dari:
1.    Ijma’ ummah yaitu, kesepakatan seluruh mujtahid.
2.    Ijma’ sahaby yaitu, kesepakatan seluruh ulama sahabat.
3.    Ijma’ ahli madinah yaitu, kesepakatan ulama madinah.
4.    Ijma’ ahli kuffah yaitu, kesepakatan ulama kufah.
5.    Ijma’ khalifah yang empat yaitu, kesepakatan khalifah empat.
6.    Ijma’ syaikhony yaitu, kesepakatan antara abu bakar dan umar.
7.    Ijma’ ahli bait yaitu, kesepakatan dari keluarga rasulullah.[7]
Dari beberapa macam ijma’ itu, ditinjau berdasarkan definisi ijma’ diatas maka, hanya ijma’ sahabatlah yang betul-betul disebut ijma’. Hal ini karena yang dinamakan ijma’ adalah kesepakatan seluruh ulama’ mujtahid bukan sebagian ulama mujtahid.
Pada zaman sahabat nampak siapa diantara mereka yang terkriteria sebagai mujtahid dan bukan mujtahid. Kemudian jumlah mereka yang masih sedikt dan masih berkumpul disuatu wilayah terbata, yakni madinah, makah, kuffah dan basroh sehingga sangat mungkin terjadi ijma’.
D.  Kehujahan ijma
Kehujjahan ijma dilandasi oleh sejumlah ayat Al-Quran antara lain
1. surat Al Baqarah ayat 143
y7Ï9ºxx.ur öNä3»oYù=yèy_ Zp¨Bé& $VÜyur (#qçRqà6tGÏj9 uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Y9$# tbqä3tƒur ãAqߧ9$# öNä3øn=tæ #YÎgx© 3 $tBur $oYù=yèy_ s's#ö7É)ø9$# ÓÉL©9$# |MZä. !$pköŽn=tæ žwÎ) zNn=÷èuZÏ9 `tB ßìÎ6®Ktƒ tAqߧ9$# `£JÏB Ü=Î=s)Ztƒ 4n?tã Ïmøt7É)tã 4 bÎ)ur ôMtR%x. ¸ouŽÎ7s3s9 žwÎ) n?tã tûïÏ%©!$# yyd ª!$# 3 $tBur tb%x. ª!$# yìÅÒãÏ9 öNä3oY»yJƒÎ) 4 žcÎ) ©!$# Ĩ$¨Y9$$Î/ Ô$râäts9 ÒOŠÏm§ ÇÊÍÌÈ  
143. dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
2. surat An Nisa ayat 115
`tBur È,Ï%$t±ç tAqߧ9$# .`ÏB Ï÷èt/ $tB tû¨üt6s? ã&s! 3yßgø9$# ôìÎ6­Ftƒur uŽöxî È@Î6y tûüÏZÏB÷sßJø9$# ¾Ï&Îk!uqçR $tB 4¯<uqs? ¾Ï&Î#óÁçRur zN¨Yygy_ ( ôNuä!$yur #·ŽÅÁtB ÇÊÊÎÈ  
115. dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu[348] dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.[8]
Disamping itu dilandasi pula oleh sejumlah hadis :
1. hadist yang diriwayatkan oleh Al-Turmudzi
أُ مَّتِي لأ تَجْتَمِعُ عَلَى الْخَطَاِ
“tidak mungkin bersepakat umatku terhadap sesuatu yang keliru”
2. hadist ibnu umar yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi
إِنَّ أمَّتِي لأ يَجْتَمِعُ عَلَى ضَلَا لَةٍ
“tidak mungkin bersepakat umatku terhadap sesuatu yang sesat”.[9]
Kehujahan ijma menurut para ulama madzab
  1. Imam Hanifah
Menurut ulma hanafiah baik ijma sharih maupun ijma sukuti keduanya boleh dijadikan hujah. Ijma sukuti boleh dijadikan hujjah dengan alasan bahwa diamnya mujtahid setelah disodorkan kepadanya peristiwa dan telah sampai akhir pembahasan itu tidak didapati suatu petunjuk, adalah karena takut oleh penguasa atau malu mengakui kehebatan mujtahid yang lain.
  1. Imam malik
Menjadikan ijma sebagai hujjah atau sandaran fatwa setelah Al Quran dan sunah. Imam malik hanya menerima ijma yang bersumber dari fiqh dan ahli ijtihad. Dalam praktiknya ijma ahlu madinah lebih didahulukan dari pada khabar ahad dalam melakukan istimbathukum, karena amalan mereka adalah cerminan Rasul.
  1. Imam Syafi’i
Hanya menjadikan ijma sharih sebagai hujjah, sedangkan ijma sukuti tidak beliau jadikan hujjah dan ia tidak menerima ijma yang bersifat lokal. .ia menempatan ijma pada urutan ketiga setelah Al-Quran dan sunah.
  1. Imam Ahmad Abu Hanbal
Hanya menjadikan hujah ijma yang terjadi pada masa sahabat saja, karena setelah masa itu ulama islam telah bertebaran ke pelosok dunia sehingga untuk mengumpulkan mereka kembali bukalah suatu hal yang mudah.[10]
E.       Sandaran Ijma’
Walau bagaimanapun sebuah Ijma’ ulama’ tidak lahir begitu saja. Sebab Ijma’ bukan wahyu yang turun dari atas langit dari sisi Allah ke bumi. Sehingga sebuah Ijma’ terbentuk dengan berdasarkan sesuatu yang disandarkan atasnya.
 Sandaran untuk sebuah Ijma’ menurut Dr. Abdul Karim Zaidan antara lain :
1.      Nash Al-Quran
Ketika para ulama’ berIjma’ mengharamkan pernikahan antara seorang laki-laki dengan ibunya, atau dengan anak perempuannya, saudari perempuan, atau bibinya, maka sandarannya adalah ayat-ayat Al-Quran Al-Kariem.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ...
 “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.” (QS. An-Nisa’ : 23)
2.      Nash Al-Hadits
Ketika para ulama’ berIjma’ bahwa bagian harta warisan yang diterima oleh seorang kakek yang ditinggal mati oleh cucunya adalah 1/6, maka Ijma’ itu didasarkan pada hadits ahad.
3.    Qiyas
Ketika para ulama’ berIjma’ bahwa minyak babi dan lemaknya adalah najis dan haram dimakan, maka hal itu adalah qiyas yang mereka lakukan terhadap daging babi. Mengingat bahwa yang disebutkan keharamannya adalah daging babi, dan lemaknya tidak ikut disebutkan. Namun qiyas yang mereka lakukan itu sampai ke derajat Ijma’. Artinya, seluruh ulama’ bersepakat mengqiyaskan lemak babi dengan daging babi, tanpa kecuali.

F.       Intensitas ijma’
Rukun ijma ada empat yakni :
a.    pada saat terjadi peristiwa tersebut mujtahid jumlahnya lebih dari seorang. Karena kesepakatan itu tidak akan terwujud kalau pemikiran yang dikeuarkan itu jumlahnya tidak lebih dari seorang, seluruh keputusan itu harus disetujui oleh semua mujtahid
b.    sepakat atas hukum syar’i, karena sidang ijma itu tidak lain selain dengan kesepakatan seluruh mujtahid alam islami pada masa peristiwa itu.
c.    kesepakatan untuk memulai. Semua mujtahid harus mengeluarkan pandapat secara jujur atas suatu peristiwa agar memudahkan mereka untuk memutuskan hukum.
d.    Menetapka kesempatan dari semua mujtahid terhadap suatu hukum untuk mendapatkan penyelesaian.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh para jumhur ulama’, dapat disimpulkan syarat-syarat ijma’ sebagai berikut :
Syarat Pertama berkenaan dengan kesepakatan (الإتِّفَاق), yaitu kesamaan pendapat antara seseorang dengan orang lain, baik dalam hal keyakinan, perkataan atau perbuatan. Dalam hal ini terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi untuk terlaksananya Ijma’;
1.         Kesepakatan itu adalah kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Tidak dipandang ijma’ jika kesepakatan itu hanya dari sebagian mujtahid, sedangkan sebagian lainnya tidak. Akan tetapi para pakar ushul fiqh menilai bahwa kesepakatan mayoritas mujtahid sebagai hujjah.
2.         Kesepakatan mujtahid itu harus dari semua tempat dan golongan.
3.         Kesepakatan para mujtahid harus nyata, baik dinyatakan dengan lisan maupun dapat dilihat dalam perbuatan.
Syarat Kedua berkenaan dengan mujtahid. Syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk menjadi mujtahid,yaitu ;
1.         Memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an, sunnah, dan persoalan-persoalan yang telah menjadi objek ijma’ sebelumnya.
2.         Memiliki pengetahuan ilmu Ushul Fiqh.
3.         Memiliki pengetahuan kebahasaan (arab).
Syarat ketiga adalah bahwa yang melakukan ijma’ haruslah berasal dari umat Muhammad, bukan orang kafir dan bukan pula umat terdahulu.
Syarat keempat adalah bahwa pasti berlangsung setelah wafat nabi Muhammad SAW.
Syarat kelima ; ijma’ merupakan kesepakatan yang berkaitan dengan masalah hukum syara’, seperti wajib, haram, sunnah dan seterusnya.
                  
G. Objek Ijma’
Objek ijma’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadah ghairu mahdlah (ibadah yang tidak langsung ditunjukan kepada Allah SWT) seperti mu’amalat, kemasyarakatan atau semua hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qu’ran dan Hadits.

H.  Kemungkinan Ijma’ Setelah Masa Sahabat
Setelah masa sahabat, yakni masa tabi’in sampai sekarang dimana ulama mujtahid telah tersebar keseluruh pelosok dan penjuru dunia, maka kemungkinan adanya ijma’ sangat kecil sekali,bahkan hampir tidak mungkin akan terjadi ijma’. Untuk dapat terwujudnya ijma’ itu sekurang-kurangnya harus diperhatikan hal-hal berikut:[11]
a.         Penentuan status seorang Mujtahid. Untuk menentukan bahwa seseorang itu ulama’ mujtahid atau bukan, siapa yang menentukannya dan apa parameter-nya. Status kemujtahidan seseorang bukan ditentukan oleh status sosialnya, domisili geografisnya atau terkenal tidaknya, akan tetapi berdasarkan kewara’an dan kedalaman ilmunya.
b.        Untuk bisa terjadi ijma’ maka harus terjadi persamaan pendapat, untuk terjadinya sesuatu persamaan maka masalah itu harus dapat dinukilkan dan diketahui oleh seluruh Ulama’ Mujtahid, (baik mereka yang terkenal atau yang tidak terkenal). Hal ini tidak mungkin, karena boleh jadi sesuatu pendapat bisa saja sampai kepada seorang ulama’ tetapi ia kapasitas kemujtahidannya tidak terpenuhi, atau mungkin ada ulama’ yang terpenuhi kriteria sebagai mujtahid akan tetapi tidak sedang menjadi orang populer sehingga tidak didengar pendapatnya yang muncul sekalipun pendapatnya sangat berbobot. Oleh karenanya, dapatlah dimaklumi apa yang dikatakan oleh Imam Hambal bahwa:

من ادعى وجود الاجماع فهو كادب
Artinya: “siapa yang menyatakan ada ijma sebenarnya ia adalah berdusta.
Ijma’ menurut konsepsi ahli ushul fiqih sesudah zaman sahabat tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin ini hanya pelaksanaanya, tanpa menyinggung prinsip terjadinya ijma’, meskipun dalam bentuk yang lain. Ijma’ yang terjadi pada zaman sekarang ini, tidak berbeda dengan ijma’ dari keputusan musyawarah yang diambil oleh para ulama’ yang mewakili segala lapisan masyarakatnya untuk membicarakan kepentingan kepentingan mereka. Mereka itulah yang dinamakan ulil ‘amri atau ahlul halli wal ‘aqdi. Mereka diberi hak oleh syariat islam untuk membuat undang-undang yang belum ada dalam syara’.
Keputusan dari ahlul halli wal ‘aqdi wajib ditaati dan dijalankan selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas, tetapi jika berlawanan dengan nash syariat betapa dan bagaimana pun keputusan mereka tetap batal.[12]
I.         Perbedaan Ijma’ dengan Ijtihad
Ijma’ adalah kesepakatan (konsessus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas hukum syara’ untuk satu peristiwa (kejadian)
Ijtihad jama’I koletif adalah ijtihad yang dilakukan bersama atau bermusyawarah terhadap suatu masalah dan pengalaman hasilnya menjadi tanggung jawab bersama.

J.        Contoh ijma
Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepakatan tersebut dilandaskan atas ayat 23 Surat an-Nisa’ yang berbunyi:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَا تُكُمْ وَبَنَا تُكُمْ وَأ خَواَتُكُمْ وَعَمَّا تُكُمْ وخَالَاتكم وبَنَاتُ لأخِ و بنات الأخْتِ وأمَّهَا تكم اللَّاتِي أرْضَعْنَكُمْ وأَخَوَاتكم مِنَ الرَّضَاعَةِ وأمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَا ئِكُمُ اللاتي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوادخلتم بهن فَلَاجُنَاحَ عَلَيْكُمْ وحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوابَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إلامَاقَدْ سَلَفَ إِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًارَحِيمًا
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibu-mu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-sauidaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Peng-ampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4:23)

Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Sunnah, kesepakatan ulama bahwa nenek menggantikan ibu bilamana ibu kandung dari si mayit sudah wafat dalam hal mendapat harta warisan.
Kesepakatan tersebut dilandaskan atas Hadist bahwa Rasulullah, ketika ibu si mayit sudah tidak ada, pernah member nenek seperenam dari harta warisan cucunya sebagaimana disebut dalam Hadist:

عن ابْنُ أَبِي عُمَرَقَالَ جَاءَتْ الجَدَّةُ أُمُّ لْأُمِّ وَلأبِ إِلَى أبِي بَكْرِفَسَأَلَ النَّاسَ فَشَهِدَالمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْطَاهَا  (روه اترمذى)
Dari Ibnu Umar berkata, ada seorang nenek yaitu Ibu kandung ibu dan ibu kandung bapak yang dating kepada Abu Bakar (menanyakan sesuatu) maka Abu Bakar bertanya kepada orang-orang dan Al-Mughirah bin Syu’bah lah yang bisa member tahu bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. Memberikan bagian warisan kepada nenek seperenam. (HR. Tirmizi)


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ijma harus menyandar kepada dalil yang ada yaitu kitab, sunah, atau yang mempunyai kaitan baik kepadanya baik langsung maupun tidak langsung. Ijma merupakan hasil istimbath para ulama sehingga ada perbedaan untuk intensitas penggunaannya. Pengelompokan ijma yang bersifat global ada dua yaitu: ijma sharih dan ijma sukuti, diantara macam-macam ijma tersebut untuk ijma sukuti masih diperdebatkan kehujjahannya, khususnya imam syafi’i yang tidak memperbolehkan ijma sukuti sebagai dasar pengambilan hukum. Sedangkan para imam madzhab yang lain ada yang membolehkan kehujjahan ijma.



DAFTAR PUSTAKA

Syariffudin, Amif. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta. PT logos wacana ilmu.
Nuryakin,2000, buku ajar ushul fiqih,pusat penerbitan dan publikasi STAIN Tulungagung.

Irwanto. 2012. Dalam Irwantheone1.blogspot.com/2012/08/ijma-menurut-empat-madz ab.html?m=1 diakses pada 13september 2015 jam 08.56 WIB


[1] Syarifuddin Amir,ushul fiqh jilid I,jakarta:logos wacana ilmu,1997,hlm. 112-115.
[2] Ali Abdur Razak. Al-Ijma’ Fi al-Syari’at al-Islamiyah. Mesir; Dar ar-Fikr al-Arabi, 1974, halaman 9.
[3] Lihat dalam Abdul Karim Zaidan. Op. cit. halaman 176.
[4] Ali Abdur Razak, Op. cit. halaman 7.
[6] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta:Logos,1999), hlm.56.
[7] H.M.Suparta, Djedjen zainudin, Fiqih, Semarang:Toha putra, tanpa tahun), hlm.170.
[8] Syarifuddin Amir,ushul...,hlm. 118-119.
[9] Nuryakin,buku ajar ushul fiqih,(pusat penerbitan dan publikasi STAIN Tulungagung,2000),hlm.54-55
[10] Irwanto. 2012. Dalam Irwantheone1.blogspot.com/2012/08/ijma-menurut-empat-madz ab.html?m=1 diakses pada 13september 2015 jam 08.56 WIB

[11] Ibid.,hlm. 92.
[12] Moh. Rifa’i, Ushul Fiqih,hlm.128.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar