Sabtu, 18 Maret 2017



MAKALAH
“Syarat, Rukun, dan Macam-macam
wakaf”
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah ZAKAT dan WAKAF

Dosen Pembimbing :

Nur Fadlilah, S.H.I., M.H.



Disusun Oleh :
Kelompok  3
Hesti Handayani
Irfa’ani
Lina Indah Yunaini
Sukma

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG 2015
KATA PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Alhamdulillah puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Syarat, Rukun, dan Macam-macam wakaf” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafa’atnya di yaumul akhir.
Tujuan dan maksud dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Zakat dan Wakaf pada semester III (tiga), serta dengan adanya tugas ini diharapkan dapat memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap materi yang akan dikaji.
Makalah ini dapat terwujud berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1.    Nur Fadlilah, S.H.I., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Zakat dan Wakaf yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini,
2.    Teman-teman yang memberikan tanggapan dan masukan, serta
3.    Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan. Dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.
           

Tulungagung,    September 2015

                                               Penyusun


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... .... i   
KATA PENGANTAR..................................................................................... .... ii  
DAFTAR  ISI....................................................................................................... iii 
BAB I   : PENDAHULUAN..........................................................................
A.    Latar Belakang.....................................................................................
B.     Rumusan Masalah.................................................................................
C.     Tujuan...................................................................................................
BAB II  : PEMBAHASAN..................................................................................
BAB III   :........................................................................................................ PENUTUP              
A.    Kesimpulan ..........................................................................................
B.     Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA           


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Sumber utama institusi wakaf adalah Alquran. Walaupun dalam Alquran, kata wakaf yang bermakna memberikan harta tidak ditemukan sebagaimana zakat, tetapi merupakan interprestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan harta berupa sedekah dan amal jariah. Diantara ayat-ayat tersebut; QS. Ali Imran (3) : 92 dan QS. Al-hajj (22) : 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut sebagai ibadah wakaf. Diantara mufassir itu ditemukan dalam Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid Ridha. Kendatipun di dalam Alquran terdapat kata-kata wakaf ditemui sebanyak empat kali; yaitu pada QS. Al-an’am (6) : 27 dan 30, QS. Saba’ (34) : 31, QS. Al-saffat (37) : 24, tetapi wakaf dalam ayat-ayat tersebut bukan bermakna wakaf sebagai pemberian. Tiga ayat pertama berarti mengedepakan sedangkan ayat keempat bermakna berhenti atau menahan. Konteks pembicaraan dalam ayat ini adalah proses ahli neraka yang akan dimasukkan kedalam neraka. Meski demikian, Alquran dapat dikatakan sebagai sumber utama perwakafan.
Wakaf salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan hubungan antara kehidupan spritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat muslim. Wakaf  selain berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga berfungsi sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manisfestasi dari rasa keimanan seseorang yang  mantap dan rasa solidaritad yang tinggi terhadap sesama umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “hablumminallah, wa hablum minannas”, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama manusia. Selanjutnya akan  dibahas lebih dalam tentang wakaf pada makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
Para mujtahid berbeda pendapat mengenai wakaf dan perbaan pendapat itu tercermin dalam perumusan mereka, namun semuanya berpendapat bahwa dalam pembentukan lembaga wakaf diperlukan beberapa rukun. Adapun rukun sendiri mempunyai arti sudut, tiang penyangga, yang merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Wakaf memiliki beberapa unsur pemebntykan yang para ulama mempunyai pendapat masing-masing.
A.      Rukun Wakaf
Dalam perspektif fiqh islam, adanya wakaf harus dipenuhi dengan empat rukun atau unsur, antara lain :
1.      Adanya orang yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) disebut wakif
2.      Adanya benda yang di wakaf kan (mauquf bih) sebagai objek wakaf
3.      Adanya penerima wakaf (sebagai sujek wakaf) disebut nadzir
4.      Adanya aqad atau lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan wakif kepada orang atau tempat berwakaf (simauquf alaih)
Menurut jumhur madzhab Syafi’i, maliki, dan hambali rukun wakaf ada empat perkara seperti diatas. Adapun menurut khatib As Sarbun dalam muhni Al Muhtaj empat rukun wakaf tersebut adalah orang yang berwakaf (al waqif), benda yang di wakafkan (al mauquf), orang atau objek yang diberi wakaf ( al mauquf alaih), dan sigat wakaf[1] .

B.  Syarat-Syarat Wakaf
1)             Syarat orang yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) disebut wakif
Unsur pertama wakaf yaitu adanya subjek wakaf (wakif) dalam hal ini adanya orang yang mewakafka hartanya, dan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Bagi subjek wakaf diisyartakna orang yang berhak berbuat kebaikan, walau bukan islam, dengan kehendak sendiri dengan tidak ada paksaan.  Sebjek wakaf yang berhak tersebut adalah mereka yang berakal, tidak gila dan bodoh, keadaan tidak mubadzir (pemboros), karena orang  pemboros hartanya di bawah bawah wali dan baligh. Dengan kata lain, wakif harus memenuhi syarat mempunyai kecakapan mellaui tabaruq melepaskna hak milik tanpa imbangan materiil.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, yang menjadi titik berta dalam menentukan apakah seseorang dipandang cakap ber tabaruq atau tidak adalah adanya pertimbangan akal yang sempurna pada orang yang telah mencapai umur baliqh. Menurut fiqh islam orang yang cukup bertabaruq adalah berumur 15 tahun akan tetapi jika dilihat saat ini umur 15 tahun masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Oleh karena itu membatasi orang yang berumur 15 tahun sebagai cakap bertabaruq ini belum bisa di pastikan mutlak masih perlu peninjauan kembali sesuai tempat dan waktu.
Untuk amalan wakaf tidak diisyaratkan bahwa wakif harus beragama islam. apabila orang seorang nasrani yang ingin mewakafkan harta atau bendanya maka dipandang sah juga.
Adakalanya seseorang yang mewakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana, dan pelaksaan dikaitkan dengan kerelaan orang lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan masalah ini[2] :
a.    Orang yang mempunyai hutang, maka hukum waqaf nya ada tiga macam:
·      Jika mereka dibawah pengampunan karena hutang dan mewakafkan sebagian atau seluruh hartanya., sedangkan hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum waqafnya sah. Tetapi pelaksanaanya tergantung pada kerelaan para krediturnya. Apabila mereka merelakan, maka waqaf terlaksana sebab para kreditur telah menggugurkan hak mereka untuk mencegah atau membatalkan waqaf debitur, akna tetpi jika mereka tidak merelakan maka waqaf tidak akan terlaksana.
·      Jika ia berada dibawah pengampunan atas hutang, dan mawakafkan seluruh atau sebagian harta ketika sedang menderita sakit parah, maka hukum wakaf nya seperti hukum wakaf orang yang di bawah pengampunan orang yang di bawah hutang yakni wakafnya sah tetapi pelaksanaannya menunggu kerelaan dari para kreditur.
b.    Apabila wakif mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah (sakit yang mematikan). Jika ketika mewakafkan hartanya dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik, maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup, sebab selama itu penyakitnya tidak bisa dihukumi sebagai penyakit kematian. Akan tetapi jika kemudianwakif meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka hukum wakaf nya sebagai berikut :
·      Jika dia meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya seperti yang telah diuraikan pada poin (a).
·      Jika tidak meninggal sebagai debitur, maka hukum wakaf yang terjadi ketika sakit seperti hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang di wakafkan tidak lebih dari sepertiga hartanya, maka wakaf terlaksananya sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan selebihnya tergantung pada kerelaan ahli waris, sebab kelebihan dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi hak milik mereka.
2)                  Syarat benda yang di wakaf kan (mauquf bih) sebagai objek wakaf
Syarat kedua adanya wakaf yaitu, adanya harta yang di wakafkan. Yang merupakan objek wakaf. Harta yang diisyartakan harus harta yang memiliki nilai, milik waqif, dan tahan lama dalam penggunaanya. Menurut madzab hanafi harta yang harus diwakafkan harus muttaqawwam yakni segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat)[3]. Karena itu beliau memandang tidak sah mewakafkan sesuatu yang buka harta, seperti mewakafkan tanah sewaan untuk diwakafkan selain itu jua harta yang tidak muttaqawwam, seperti alat-alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku anti islam kerna dapat merusak islam itu sendiri. Latar belakang syarat ini karen aditinjau dari aspek tujuan wakaf yaitu agar wakif mendapatkan pahal dan mauquf ‘alaih(yang diberi wakaf) memperoleh manfaat. Tujuan ini dapat tercapai jika yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan atau dapat dimanfaatkan tapi dilarang oleh islam.
Selain itu objek wakaf harus kepunyaan yang mewakafkan. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuati yang bukan milik wakifkarena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan milik atau sumbangan dan keduanya itu hanya akan terwujud untuk benda yang dimiliki[4].
Walaupun musya (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan yang lain). Milik bersama itu ada kalanya dapat dibagi dan ada kalanya tidak dapat dibagi. Hukum wakaf benda milik bersama misalnya mewakafkna senagian dari musya untuk dijadikan masjid atau tanah makamtidak sah dan tidak menjadikan manfaat, kecuali apabila bagian yang diwakfkan tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-batasnya.
Sebagina ulama besar harta yang di waqafkan itu juga harus aqar(benda tidak bergerak) dan dapat diambil manfaatnya, bendanya harus tetap dan diambil manfaatnya dalam jangka waktu yang lama tidak akan habis. Beberapa ulama berpendapat akan hal ini :
·                               Madzhab Hanafi
Berpendapat bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak ini ‘ain-nya memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatka terus menerus. Selain itu benda bergerak, yang dalam madzhab hanafi dikenal dengan “pada prinsipnya, benda yang diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak”[5]. Madzhab hanafi memeperbolehkan wakaf benda bergerak sebgai pengecualian dari prinsip. Benda seperti ini sah apabila memnuhu beberapa hal : pertama, keadaan benda bergerak itu mnegikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam (1) barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap, misalnya bangunan dan pohon.  (2) benda bergerak yang digunakan untuk membantu benda tidak beregrak, seperti alat untuk membajak, kerbau, yang dipergunakan bekerja dan lain-lain. Kedua, kebolehan benda bergerak itu atas yang membolehkna wakaf senjata dan binatang-binatang yang digunakan untuk perang. Ketiga, wakaf benda bergerak itu mendatangkan pengetahuan seperti wakaf kitab-kitab dan mushaf. Menurut hanafiyah ini diambil kekekalan manfaatnya.
·      Madzhab Syafi’i
Menurut imam syafi’i bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun barang kongsi.
·      Madzhab Maliki
Berependapat boleh juga mewakafkan benda bergerak, baik yang menempel dengan yang lain, baik ada nash yang memperbolehkannya atau tidak, karena madzhab ini tidak mensyaratkan ta’bid(harus selama-lamanya) pada wakaf, bahkan menurut madzab ini wakaf itu sah meskipun sementara.

3)   Syarat penerima wakaf (sebagai sujek wakaf) disebut nadzir
Syarat ketiga adanya wakaf itu adanya penerima wakaf, yaitu mauquf alaih. Penerima wakaf adalah orang yang ahli memiliki syarat seperti bagi orang yang berwakaf. Tujuan wakaf itu juga harus jelas, hendaklah Tujuan wakaf itu juga harus jelas, hendaklah harus disebutkan dengan terang kepada siapa itu diwakafkan.
Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih mengenai syarat penerima wakaf ini, antara lain :
·                               Madzhab Hanafi
Beliau mensyartakan agara penerima wakaf ditujukan untuk ibadah menurut pandangan islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak terwujud salah satunya maka wakaf tidak sah. Karena itu sah wakaf orang islam kepada semua syi’ar-syi’ar islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. dan sah wakaf untuk non muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadah dalam pandangan islam seperti pembangunan masjid, bantuan kepada jamaah haji, dan lain-lain.
·                               Madzhab Maliki
Mensyartakan agar mauquf alaih untuk beribadah menurut pandnagan waqif. Sah wakaf muslim kepada semua syi’ar islam dan badan-badan sosial hukum. Dan tidak sah wakaf muslim kepada masiid dan syi’ar-syi’ar islam.
·                               Madzhab syafi’i dan hambali
Mensyaratkan agar mauquf alaih adalah ibadat menurut pandangan islam saja, tanpa memndnag keyakinan wakif. Oleh karena itu sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan,, tempat peristirahatan, badan kebajikan dalam islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam seperti gereja.
4)   Syarat aqad atau lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan wakif kepada orang atau tempat berwakaf (simauquf alaih)
Syarat terakhir, adanya serah terima(yaitu ijab qabul), yang dilakukan oleh waqif kepada Nadzir. Pernyataan mewakafkan sesuatu dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau isyarat yang dapat memberikan wakaf. Dengan isyarat hanya boleh dilakukan bagi orang yang tidak dapat berbicara atau menulis saja.  Menurut ulama, kalau wakaf tersebut ditujukan kepada orang tertentu, maka hendaklah ada qobul (jawab), akan tetapi apabila wakaf tersebut ditujukan untuk umum, maka tidak diisyaratkan qabul[6].
Adapun lafdz shighat wakaf ada dua macam :
1. lafadz yang jelas (sharih), seperti :

وَقَفْتُ وَ حَبَسْتُ وَ سَبَّلْتُ
Bila lafadz ini dipakai dalam ijab wakaf, maka sah lah wakaf tersebut, sebab lafadz tersebut tidak mengandung suatu pengertian lain kecuali kepada wakaf.
2. lafadz kiasan (kinayah), seperti :

صَدَّ قْتُ وَ حَرَّ مْتُ وَابَّدْتُ
Kalau lafadz ini dipakai, harus dibarengi dengan niat wakaf. Karena lafadz صَدَّ قْتُ bisa berarti sedekah wajib seperti zakat dan sedekah sunah. Lafadz حَرَّ مْتُ bisa berarti dzihar, tapi bisa juga berarti wakaf. Oelh karena itu harus ada ketegasan niat untuk wakaf. Namun demikian, selain penegasan lafadz, perlu juga kiranya memperhatikan pedoman susunan lafdz nya :
1.   menunjukan kata yang jelas yang menunjukan pemberian wakaf
2.   Menyebutkan objek wakaf seperti tanah, rumah, dan lain-lain
3.   Menyebutkan seperlunya keterangan yang jelas tentang keadaan objek wakaf seperti luas tanah, keadaan bangunan, dan alamat.
4.   Tidak perlu mencamtumkan kalimat “saya lepaskan dari milik saya”
5.   Memperhatikan empat syarat-syarta wakaf
Wakaf itu harus berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu. Karena itu apabila didalam ijab terdapat pembatasan wakaf, maka waqaf tersebut batal.
Secara umum, syarat sah nya shighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan :
1.      Shigat harus munjazah (terjadi seketika/selesai). Maksudnya shigat tersebut menunjukan terjadi dan terlaksanakannya wakaf seketika setelah shigat ijab diucapkan atau ditulis.
2.      Shigat tidak diikuti syarat batil(palsu). Maksudnya adalah syarta yang menodai atau mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni kelaziman dan keabadian.
3.      Shigat tidak diikuti batas waktu tertentu dengan kata lain bahwa wakaf tersebut tidak untuk selamanya.
4.      Tidak mengandung suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.
Semua golongan ulama sepakat akan hal diatas akan tetapi dari golongan malikiyah memiliki pendapat yang bertolak belakang dengan syarat-syarta tersebut[7]. Mereka berpendapat bahwa:
1. Tidak disyartakan bahwa perwakafan untuk selamanya, walaupun wakaf itu berupa masjid. Tapi boleh mewakafkan selama setahun atau lebih dalam waktu tertentu,kemudian benda itu kembali menjadi milik si wakif.
2. Tidak harus bebas dari suatu syarat, maka boleh berkata “barang itu diwakafkan kepada sesuatu setelah satu bulan atau satu tahun, atau berkata : kalau rumah ini milik saya, maka saya wakafkan”.
3. Tidak harus ditentukan penggunanya, maka boleh berkata: “ saya wakafkan benda ini kepada Allah SWT, tanpa ditentukan kepada siapa wakaf itu ditujukan”.

C.       Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua macam :
1.                  Wakaf Ahli
Wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu , seorang atau lebih, keluarga si wakaf atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri. Apabila ada seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.
Wakaf keluarga ini menurut hukum islam dibenarkan berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum kerabatnya.
Dalam satu segi, wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturahmi terhadap keluargaa yang diberikan harta wakaf. Takunya nanti anak cucu punah maka wajaf ini dalam ikrarnya ditambah untuk fakir miskin. Akan tetapi pada perkemabangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang daapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan dan pemanfaatannya wakaf oleh keluarga yang disertai harta wakaf
2.                  Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum)[8]. Seperti wakaf yang diserahkan unutk keperluan pembangunan Masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan lain sebagainya.
Wakaf ini ditujukan kepada umum dan tidak terbatas penggunannya yang mencakup semua aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.  Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf ini jauh lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakad ahli, karena tidak terbatasnya pihak-pihak yang ingin mnegambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum.
Secara substansi, wakaf inilah yang merupakan salah satu cara membelanjakan harta di jalan Allah. Dan tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaanya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
Sedangkan menurut Ameer Ali, wakaf dapat dibagi ke dalam tiga golongan, sebagai berikut[9]:
a)      In favour of the richt and the poor alike, yaitu untuk kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda
b)      In favour of the richt and then for the poor, yaitu untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin
c)      In favour of the poor alone, yaitu untuk keperluan yang miskin semata-mata
Wakaf golongan pertama tersebut dapatlah disamakan dengan apa yang disebut oleh hukum modern sebagai public trust yang bersifat amal atau untuk tujuan kebaikan umum, umpamanya sekolah atau rumah sakit yang dibuka untuk semua golongan.
Wakaf golongan kedua meliputi wakaf keluarga yang dimaksudkan untuk kepentingan keluarga yang didirikan wakaf tersebut, sedangkan wujud terakhir adalah untuk kebaikan orang miskin.
Golongan ketiga meliputi lembaga-lembaga yang membagi-bagikan bahan makanan, bahan pakaian, atau obat-obatan bagi mereka yang tidak mampu semata-mata.
BAB III
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
Tt. 2007. Fiqh Wakaf, cet.5. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.
Usman, Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia, cet.1. Jakarta: Sinar Grafika.


[1] Rachmadi usman,  Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 59-60.
[2] Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 23-26.
[3] Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 27.
[4] Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 28.
[5] Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 31.
[6] Rachmadi usman,  Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 60.
[7] Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 60.
[8] Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 16.
[9] Rachmadi usman,  Hukum Perwakafan di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar