MAKALAH
“Syarat,
Rukun, dan Macam-macam
wakaf”
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata
Kuliah “ZAKAT dan WAKAF”
Dosen
Pembimbing :
Nur
Fadlilah, S.H.I., M.H.
Disusun
Oleh :
Kelompok 3
Hesti
Handayani
Irfa’ani
Lina
Indah Yunaini
Sukma
FAKULTAS
SYARIAH DAN ILMU HUKUM
HUKUM EKONOMI SYARIAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG 2015
KATA
PENGANTAR
الرَّحِيمِ الرَّحْمنِ اللهِ بِسْمِ
Alhamdulillah puji syukur
senantiasa kami panjatkan ke hadirat
Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan
makalah
dengan judul “Syarat, Rukun, dan Macam-macam wakaf” dengan tepat waktu. Tidak lupa
shalawat serta
salam
senantiasa
tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang
selalu
kita nantikan syafa’atnya
di yaumul akhir.
Tujuan dan maksud dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Zakat
dan Wakaf pada semester III (tiga), serta dengan adanya tugas ini diharapkan
dapat memperdalam pengetahuan dan pemahaman terhadap materi yang akan dikaji.
Makalah ini dapat terwujud
berkat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, tidak
lupa kami ucapkan terima kasih kepada:
1. Nur
Fadlilah, S.H.I., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Zakat dan Wakaf yang
telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini,
2.
Teman-teman yang memberikan tanggapan dan masukan,
serta
3. Semua
pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
dengan segala kerendahan hati kami mohon kritik dan saran yang bersifat
membangun demi perbaikan.
Dan
untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Tulungagung, September 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... .... i
KATA PENGANTAR..................................................................................... .... ii
DAFTAR ISI....................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN..........................................................................
A.
Latar Belakang.....................................................................................
B.
Rumusan Masalah.................................................................................
C.
Tujuan...................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN..................................................................................
BAB III :........................................................................................................ PENUTUP
A. Kesimpulan
..........................................................................................
B. Saran.....................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sumber
utama institusi wakaf adalah Alquran. Walaupun dalam Alquran, kata wakaf yang
bermakna memberikan harta tidak ditemukan sebagaimana zakat, tetapi merupakan
interprestasi ulama mujtahid terhadap ayat-ayat yang membicarakan pendermaan
harta berupa sedekah dan amal jariah. Diantara ayat-ayat tersebut; QS. Ali Imran (3) : 92 dan QS.
Al-hajj (22) : 77, para ulama memahami ayat-ayat tersebut sebagai ibadah wakaf.
Diantara mufassir itu ditemukan dalam Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Rasyid
Ridha. Kendatipun di dalam Alquran terdapat kata-kata wakaf ditemui sebanyak
empat kali; yaitu pada QS. Al-an’am (6) : 27 dan 30, QS. Saba’ (34) : 31, QS.
Al-saffat (37) : 24, tetapi wakaf dalam ayat-ayat tersebut bukan bermakna wakaf
sebagai pemberian. Tiga ayat pertama berarti mengedepakan sedangkan ayat
keempat bermakna berhenti atau menahan. Konteks pembicaraan dalam ayat ini
adalah proses ahli neraka yang akan dimasukkan kedalam neraka. Meski demikian,
Alquran dapat dikatakan sebagai sumber utama perwakafan.
Wakaf
salah satu bagian yang sangat penting dari hukum Islam. Ia mempunyai jalinan
hubungan antara kehidupan spritual dengan bidang sosial ekonomi masyarakat
muslim. Wakaf selain berdimensi ubudiyah Ilahiyah, ia juga berfungsi
sosial kemasyarakatan. Ibadah wakaf merupakan manisfestasi dari rasa keimanan
seseorang yang mantap dan rasa solidaritad yang tinggi terhadap sesama
umat manusia. Wakaf sebagai perekat hubungan “hablumminallah, wa hablum
minannas”, hubungan vertikal kepada Allah dan hubungan horizontal kepada sesama
manusia. Selanjutnya akan dibahas lebih dalam tentang wakaf pada makalah
ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
Para mujtahid berbeda pendapat
mengenai wakaf dan perbaan pendapat itu tercermin dalam perumusan mereka, namun
semuanya berpendapat bahwa dalam pembentukan lembaga wakaf diperlukan beberapa
rukun. Adapun rukun sendiri mempunyai arti sudut, tiang penyangga, yang
merupakan sendi utama atau unsur pokok dalam pembentukan suatu hal. Wakaf
memiliki beberapa unsur pemebntykan yang para ulama mempunyai pendapat
masing-masing.
A. Rukun
Wakaf
Dalam perspektif fiqh islam, adanya wakaf harus
dipenuhi dengan empat rukun atau unsur, antara lain :
1. Adanya
orang yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) disebut wakif
2. Adanya
benda yang di wakaf kan (mauquf bih) sebagai objek wakaf
3. Adanya
penerima wakaf (sebagai sujek wakaf) disebut nadzir
4. Adanya
aqad atau lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan wakif kepada orang
atau tempat berwakaf (simauquf alaih)
Menurut jumhur madzhab Syafi’i, maliki, dan hambali
rukun wakaf ada empat perkara seperti diatas. Adapun menurut khatib As Sarbun
dalam muhni Al Muhtaj empat rukun wakaf tersebut adalah orang yang berwakaf (al
waqif), benda yang di wakafkan (al mauquf), orang atau objek yang diberi wakaf
( al mauquf alaih), dan sigat wakaf[1]
.
B. Syarat-Syarat
Wakaf
1)
Syarat orang
yang berwakaf (sebagai subjek wakaf) disebut wakif
Unsur pertama wakaf yaitu adanya subjek wakaf
(wakif) dalam hal ini adanya orang yang mewakafka hartanya, dan ini harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. Bagi subjek wakaf diisyartakna orang
yang berhak berbuat kebaikan, walau bukan islam, dengan kehendak sendiri dengan
tidak ada paksaan. Sebjek wakaf yang
berhak tersebut adalah mereka yang berakal, tidak gila dan bodoh, keadaan tidak
mubadzir (pemboros), karena orang
pemboros hartanya di bawah bawah wali dan baligh. Dengan kata lain,
wakif harus memenuhi syarat mempunyai kecakapan mellaui tabaruq melepaskna hak
milik tanpa imbangan materiil.
Menurut Ahmad Azhar Basyir, yang menjadi titik berta
dalam menentukan apakah seseorang dipandang cakap ber tabaruq atau tidak adalah
adanya pertimbangan akal yang sempurna pada orang yang telah mencapai umur
baliqh. Menurut fiqh islam orang yang cukup bertabaruq adalah berumur 15 tahun
akan tetapi jika dilihat saat ini umur 15 tahun masih duduk di bangku sekolah
menengah pertama. Oleh karena itu membatasi orang yang berumur 15 tahun sebagai
cakap bertabaruq ini belum bisa di pastikan mutlak masih perlu peninjauan
kembali sesuai tempat dan waktu.
Untuk amalan wakaf tidak diisyaratkan bahwa wakif
harus beragama islam. apabila orang seorang nasrani yang ingin mewakafkan harta
atau bendanya maka dipandang sah juga.
Adakalanya seseorang yang mewakafkan hartanya,
tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana, dan pelaksaan dikaitkan dengan
kerelaan orang lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan masalah ini[2]
:
a. Orang
yang mempunyai hutang, maka hukum waqaf nya ada tiga macam:
· Jika
mereka dibawah pengampunan karena hutang dan mewakafkan sebagian atau seluruh
hartanya., sedangkan hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum
waqafnya sah. Tetapi pelaksanaanya tergantung pada kerelaan para krediturnya.
Apabila mereka merelakan, maka waqaf terlaksana sebab para kreditur telah
menggugurkan hak mereka untuk mencegah atau membatalkan waqaf debitur, akna
tetpi jika mereka tidak merelakan maka waqaf tidak akan terlaksana.
· Jika
ia berada dibawah pengampunan atas hutang, dan mawakafkan seluruh atau sebagian
harta ketika sedang menderita sakit parah, maka hukum wakaf nya seperti hukum
wakaf orang yang di bawah pengampunan orang yang di bawah hutang yakni wakafnya
sah tetapi pelaksanaannya menunggu kerelaan dari para kreditur.
b. Apabila
wakif mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah (sakit yang mematikan).
Jika ketika mewakafkan hartanya dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik,
maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup, sebab selama
itu penyakitnya tidak bisa dihukumi sebagai penyakit kematian. Akan tetapi jika
kemudianwakif meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka hukum
wakaf nya sebagai berikut :
· Jika
dia meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya seperti yang telah diuraikan
pada poin (a).
· Jika
tidak meninggal sebagai debitur, maka hukum wakaf yang terjadi ketika sakit
seperti hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi wakaf bukan ahli warisnya dan
harta yang di wakafkan tidak lebih dari sepertiga hartanya, maka wakaf terlaksananya
sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan selebihnya tergantung pada kerelaan
ahli waris, sebab kelebihan dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi hak
milik mereka.
2)
Syarat benda
yang di wakaf kan (mauquf bih) sebagai objek wakaf
Syarat kedua adanya
wakaf yaitu, adanya harta yang di wakafkan. Yang merupakan objek wakaf. Harta
yang diisyartakan harus harta yang memiliki nilai, milik waqif, dan tahan lama
dalam penggunaanya. Menurut madzab hanafi harta yang harus diwakafkan harus
muttaqawwam yakni segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan dalam
keadaan normal (bukan dalam keadaan darurat)[3].
Karena itu beliau memandang tidak sah mewakafkan sesuatu yang buka harta,
seperti mewakafkan tanah sewaan untuk diwakafkan selain itu jua harta yang tidak
muttaqawwam, seperti alat-alat musik yang tidak halal digunakan atau buku-buku
anti islam kerna dapat merusak islam itu sendiri. Latar belakang syarat ini
karen aditinjau dari aspek tujuan wakaf yaitu agar wakif mendapatkan pahal dan
mauquf ‘alaih(yang diberi wakaf) memperoleh manfaat. Tujuan ini dapat tercapai
jika yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan atau dapat dimanfaatkan tapi
dilarang oleh islam.
Selain itu objek
wakaf harus kepunyaan yang mewakafkan. Untuk itu tidak sah mewakafkan sesuati
yang bukan milik wakifkarena wakaf mengandung kemungkinan menggugurkan milik
atau sumbangan dan keduanya itu hanya akan terwujud untuk benda yang dimiliki[4].
Walaupun musya
(bercampur dan tidak dapat dipisahkan dengan yang lain). Milik bersama itu ada
kalanya dapat dibagi dan ada kalanya tidak dapat dibagi. Hukum wakaf benda
milik bersama misalnya mewakafkna senagian dari musya untuk dijadikan masjid
atau tanah makamtidak sah dan tidak menjadikan manfaat, kecuali apabila bagian
yang diwakfkan tersebut dipisahkan dan ditetapkan batas-batasnya.
Sebagina ulama
besar harta yang di waqafkan itu juga harus aqar(benda tidak bergerak) dan
dapat diambil manfaatnya, bendanya harus tetap dan diambil manfaatnya dalam
jangka waktu yang lama tidak akan habis. Beberapa ulama berpendapat akan hal
ini :
·
Madzhab Hanafi
Berpendapat
bahwa harta yang sah diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak ini ‘ain-nya
memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat dimanfaatka terus menerus. Selain
itu benda bergerak, yang dalam madzhab hanafi dikenal dengan “pada prinsipnya,
benda yang diwakafkan adalah benda yang tidak bergerak”[5].
Madzhab hanafi memeperbolehkan wakaf benda bergerak sebgai pengecualian dari
prinsip. Benda seperti ini sah apabila memnuhu beberapa hal : pertama,
keadaan benda bergerak itu mnegikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam
(1) barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat dan tetap,
misalnya bangunan dan pohon. (2) benda
bergerak yang digunakan untuk membantu benda tidak beregrak, seperti alat untuk
membajak, kerbau, yang dipergunakan bekerja dan lain-lain. Kedua,
kebolehan benda bergerak itu atas yang membolehkna wakaf senjata dan
binatang-binatang yang digunakan untuk perang. Ketiga, wakaf benda
bergerak itu mendatangkan pengetahuan seperti wakaf kitab-kitab dan mushaf.
Menurut hanafiyah ini diambil kekekalan manfaatnya.
·
Madzhab Syafi’i
Menurut
imam syafi’i bahwa barang yang diwakafkan haruslah barang yang kekal
manfaatnya, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak maupun
barang kongsi.
·
Madzhab Maliki
Berependapat
boleh juga mewakafkan benda bergerak, baik yang menempel dengan yang lain, baik
ada nash yang memperbolehkannya atau tidak, karena madzhab ini tidak
mensyaratkan ta’bid(harus selama-lamanya) pada wakaf, bahkan menurut madzab ini
wakaf itu sah meskipun sementara.
3) Syarat
penerima wakaf (sebagai sujek wakaf) disebut nadzir
Syarat ketiga adanya wakaf itu adanya penerima
wakaf, yaitu mauquf alaih. Penerima wakaf adalah orang yang ahli memiliki
syarat seperti bagi orang yang berwakaf. Tujuan wakaf itu juga harus jelas,
hendaklah Tujuan wakaf itu juga harus jelas, hendaklah harus disebutkan dengan
terang kepada siapa itu diwakafkan.
Namun terdapat perbedaan pendapat antara para faqih
mengenai syarat penerima wakaf ini, antara lain :
·
Madzhab Hanafi
Beliau mensyartakan agara penerima wakaf ditujukan
untuk ibadah menurut pandangan islam dan menurut keyakinan wakif. Jika tidak
terwujud salah satunya maka wakaf tidak sah. Karena itu sah wakaf orang islam
kepada semua syi’ar-syi’ar islam dan pihak kebajikan, seperti orang-orang
miskin, rumah sakit, tempat penampungan dan sekolah. dan sah wakaf untuk non
muslim kepada pihak kebajikan umum seperti tempat ibadah dalam pandangan islam
seperti pembangunan masjid, bantuan kepada jamaah haji, dan lain-lain.
·
Madzhab Maliki
Mensyartakan agar mauquf alaih untuk beribadah
menurut pandnagan waqif. Sah wakaf muslim kepada semua syi’ar islam dan
badan-badan sosial hukum. Dan tidak sah wakaf muslim kepada masiid dan
syi’ar-syi’ar islam.
·
Madzhab syafi’i dan
hambali
Mensyaratkan agar mauquf alaih adalah ibadat menurut
pandangan islam saja, tanpa memndnag keyakinan wakif. Oleh karena itu sah wakaf
muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial seperti penampungan,, tempat
peristirahatan, badan kebajikan dalam islam seperti masjid. Dan tidak sah wakaf
muslim dan non muslim kepada badan-badan sosial yang tidak sejalan dengan Islam
seperti gereja.
4) Syarat
aqad atau lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf dari tangan wakif kepada
orang atau tempat berwakaf (simauquf alaih)
Syarat terakhir, adanya serah terima(yaitu ijab
qabul), yang dilakukan oleh waqif kepada Nadzir. Pernyataan mewakafkan sesuatu
dapat dilakukan dengan lisan, tulisan atau isyarat yang dapat memberikan wakaf.
Dengan isyarat hanya boleh dilakukan bagi orang yang tidak dapat berbicara atau
menulis saja. Menurut ulama, kalau wakaf
tersebut ditujukan kepada orang tertentu, maka hendaklah ada qobul (jawab),
akan tetapi apabila wakaf tersebut ditujukan untuk umum, maka tidak
diisyaratkan qabul[6].
Adapun lafdz shighat wakaf ada dua macam :
1. lafadz yang jelas (sharih), seperti :
وَقَفْتُ
وَ حَبَسْتُ وَ سَبَّلْتُ
Bila lafadz ini dipakai dalam ijab wakaf, maka sah
lah wakaf tersebut, sebab lafadz tersebut tidak mengandung suatu pengertian
lain kecuali kepada wakaf.
2.
lafadz kiasan (kinayah), seperti :
صَدَّ
قْتُ وَ حَرَّ مْتُ وَابَّدْتُ
Kalau lafadz ini dipakai, harus dibarengi dengan
niat wakaf. Karena lafadz صَدَّ قْتُ
bisa berarti sedekah wajib seperti zakat dan sedekah sunah. Lafadz حَرَّ مْتُ bisa berarti dzihar, tapi bisa juga
berarti wakaf. Oelh karena itu harus ada ketegasan niat untuk wakaf. Namun
demikian, selain penegasan lafadz, perlu juga kiranya memperhatikan pedoman
susunan lafdz nya :
1. menunjukan
kata yang jelas yang menunjukan pemberian wakaf
2. Menyebutkan
objek wakaf seperti tanah, rumah, dan lain-lain
3. Menyebutkan
seperlunya keterangan yang jelas tentang keadaan objek wakaf seperti luas
tanah, keadaan bangunan, dan alamat.
4. Tidak
perlu mencamtumkan kalimat “saya lepaskan dari milik saya”
5. Memperhatikan
empat syarat-syarta wakaf
Wakaf itu harus berlaku
untuk selamanya, tidak untuk waktu tertentu. Karena itu apabila didalam ijab
terdapat pembatasan wakaf, maka waqaf tersebut batal.
Secara umum, syarat sah
nya shighat ijab, baik berupa ucapan maupun tulisan :
1.
Shigat harus munjazah
(terjadi seketika/selesai). Maksudnya shigat tersebut menunjukan terjadi
dan terlaksanakannya wakaf seketika setelah shigat ijab diucapkan atau ditulis.
2.
Shigat tidak
diikuti syarat batil(palsu). Maksudnya adalah syarta yang menodai atau
mencederai dasar wakaf atau meniadakan hukumnya, yakni kelaziman dan keabadian.
3.
Shigat tidak
diikuti batas waktu tertentu dengan kata lain bahwa wakaf tersebut tidak untuk
selamanya.
4.
Tidak mengandung
suatu pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang sudah dilakukan.
Semua golongan ulama sepakat akan
hal diatas akan tetapi dari golongan malikiyah memiliki pendapat yang bertolak
belakang dengan syarat-syarta tersebut[7].
Mereka berpendapat bahwa:
1. Tidak
disyartakan bahwa perwakafan untuk selamanya, walaupun wakaf itu berupa masjid.
Tapi boleh mewakafkan selama setahun atau lebih dalam waktu tertentu,kemudian
benda itu kembali menjadi milik si wakif.
2. Tidak
harus bebas dari suatu syarat, maka boleh berkata “barang itu diwakafkan kepada
sesuatu setelah satu bulan atau satu tahun, atau berkata : kalau rumah ini
milik saya, maka saya wakafkan”.
3. Tidak
harus ditentukan penggunanya, maka boleh berkata: “ saya wakafkan benda ini
kepada Allah SWT, tanpa ditentukan kepada siapa wakaf itu ditujukan”.
C. Bila
ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf
dapat dibagi menjadi dua macam :
1.
Wakaf Ahli
Wakaf yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu , seorang atau lebih, keluarga si wakaf
atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri. Apabila ada
seseorang yang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada cucunya,
wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk
dalam pernyataan wakaf.
Wakaf keluarga
ini menurut hukum islam dibenarkan berdasarkan hadist Nabi yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu
Thalhah kepada kaum kerabatnya.
Dalam satu segi,
wakaf ahli ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu
kebaikan dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturahmi terhadap
keluargaa yang diberikan harta wakaf. Takunya nanti anak cucu punah maka wajaf
ini dalam ikrarnya ditambah untuk fakir miskin. Akan tetapi pada perkemabangan
selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang daapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam
pengelolaan dan dan pemanfaatannya wakaf oleh keluarga yang disertai harta
wakaf
2.
Wakaf Khairi
Yaitu wakaf yang
secara tegas untuk kepentingan agama(keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan
umum)[8].
Seperti wakaf yang diserahkan unutk keperluan pembangunan Masjid, sekolah,
jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan lain sebagainya.
Wakaf ini
ditujukan kepada umum dan tidak terbatas penggunannya yang mencakup semua aspek
untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf ini jauh
lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakad ahli, karena tidak terbatasnya
pihak-pihak yang ingin mnegambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang
sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum.
Secara
substansi, wakaf inilah yang merupakan salah satu cara membelanjakan harta di
jalan Allah. Dan tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaanya merupakan salah
satu sarana pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan,
perekonomian, kebudayaan, kesehatan, keamanan, dan sebagainya. Dengan demikian,
benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan
(umum), tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
Sedangkan menurut Ameer Ali, wakaf dapat dibagi ke
dalam tiga golongan, sebagai berikut[9]:
a) In favour of the richt and the poor alike,
yaitu untuk kepentingan yang kaya dan yang miskin dengan tidak berbeda
b) In favour of the richt and then for the poor, yaitu
untuk keperluan yang kaya dan sesudah itu baru untuk yang miskin
c) In favour of the poor alone, yaitu
untuk keperluan yang miskin semata-mata
Wakaf golongan
pertama tersebut dapatlah disamakan dengan apa yang disebut oleh hukum modern
sebagai public trust yang bersifat amal atau untuk tujuan kebaikan umum,
umpamanya sekolah atau rumah sakit yang dibuka untuk semua golongan.
Wakaf golongan
kedua meliputi wakaf keluarga yang dimaksudkan untuk kepentingan keluarga yang
didirikan wakaf tersebut, sedangkan wujud terakhir adalah untuk kebaikan orang
miskin.
Golongan ketiga
meliputi lembaga-lembaga yang membagi-bagikan bahan makanan, bahan pakaian,
atau obat-obatan bagi mereka yang tidak mampu semata-mata.
BAB
III
PENUTUP
DAFTAR
PUSTAKA
Tt.
2007. Fiqh Wakaf, cet.5. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf.
Usman,
Rachmadi. 2009. Hukum Perwakafan di Indonesia, cet.1. Jakarta: Sinar
Grafika.
[1]
Rachmadi usman, Hukum Perwakafan di
Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 59-60.
[2]
Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 23-26.
[3]
Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 27.
[4]
Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 28.
[5]
Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 31.
[6]
Rachmadi usman, Hukum Perwakafan di
Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 60.
[7]
Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 60.
[8]
Tt, Fiqh Wakaf (Jakarta : Direktorat Pemberdayaan Wakaf, 2007), hal. 16.
[9]
Rachmadi usman, Hukum Perwakafan di
Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar