FILOSOFI
SISTEM TRANSAKSI ISLAM DI INDONESIA
Oleh,
Hesti Handayani
1711143028
Hukum Ekonomi
Syariah 4B
Abstrak
Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak
Nabi Muhammad SAW dipilih sebagai seorang
Rasul (utusan Allah). Rasulullah
mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang
berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqh), politik
(siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah
ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah yang harus diperhatikan. Sebagaimana
Rasulullah bersabda “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”
Maka upaya mengentaskan kemiskinan
merupakan dari kebijakan sosial yang dikeluarkan Rasulullah. Selanjutnya
kebijakan tersebut menjadi pedoman para penggantinya yaitu Khaulafaurasyiddin
dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Quran dan Al-Hadist digunakan
sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga oleh para pengikutnya dalam
menata perekonomian negara, salah satunya dalam kegiatan transaksi. Kegiatan
transaksi sudah ada sejak masa Nabi SAW dan Khulafa urrasyidin.
Kata Kunci : Sejarah; Transaksi; Islam;
Indonesia
Pengertian
Transaksi Islam
Sistem
ekonomi islam adalah sistem ekonomi yang dijalankan berdasarkan syariat islam
atau aturan-aturan Allah. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir
pada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat islam.
Dalam segala kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia harus sesuai dengan
ketentuan Allah baik dalam hal jual beli, simpan pinjam, investasi[1].
Dalam islam
konsep kepemilikan harta adalah harta sepenuhnya adalah milik Allah sementara
manusia sebagai khalifah atas harta tersebut. Selain itu juga islam sangat
melarang manusia melakukan tindakan Maisyir, Gharar, Haram, Dzalim, ikhtikar,
Riba.
Sejarah
Transaksi Islam
1. Transaksi
Arab Pra Islam
Kegiatan transaksi sebenarnya sudah ada di Arab
sebelum Islam datang. Bangsa arab yang dalam kegiatan kesehariannya berdagang,
sangat piawai dalam melakukan akad musyarakah dan mudharabah.
Selain itu, bangsa Arab juga dominan dalam kegiatan berdagang. Dalam kegiatan
dagang, mereka menggunakan alat pembayaran kredit dan masih menggunakan
transaksi ribawi. Terdapat beberapa model transaksi ribawi yang dilakukan oleh
bangsa Arab, yaitu:
a. Seseorang
menjual sesuatu barang kepada orang lain dengan membuat kesepakatan bahwa
pembayarannya dilakukan pada tanggal yang telah disepakati. Tetapi, ketika
sudah jatuh tempo dan orang tersebut belum bisa membayarnya, maka pembeli saat
membayarnya nanti harus membayar dengan jumlah yang lebih besar daripada harga
awal.
b. Seseorang
meminjamkan uang kepada orang lain dengan syarat ketika sudah jatuh tempo
pembayaran, maka peminjam harus membayar pokok modal bersama dengan suatu
jumlah tetap tambahan (bunga).[2]
c.
Antara peminjam dengan pemberi pinjaman melakukan
kesepakatan terhadap suatu tingkat riba selama jangka waktu tertentu.
2.
Transaksi Pada
Masa Nabi Muhammad SAW
Ketika Nabi Muhammad SAW belum menjadi Nabi, beliau
berprofesi sebagai pedagang. Dalam kegiatan berdagang, Muhammad SAW melakukan
transaksi-transaksi perdagangan secara jujur, adil, dan tidak pernah membuat
pelanggannya mengeluh dan kecewa. Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan
barang dagangannya dengan standart dan kualitas sesuai dengan permintaan
pelanggan. Beliau selalu memperhatikan rasa tanggungjawab terhadap setiap
transaksi yang dilakukan.
Ketika Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi, beliau
hijrah ke Madinah dan diangkat sebagai kepala negara kota Madinah. Ketika
menjadi kepala negara, beliau menggunakan prinsip jujur, adil, dan saling
menguntungkan dua belah pihak dalam melakukan transaksi. beliau merupakan
pemikir dan aktivis pertama ekonomi Syari’ah.[3]
Selain itu ada beberapa larangan yang diberlakukan
Rasulullah untuk menjaga seseorang agar dapat berbuat adil dan jujur, antara
lain:
a.
Larangan Najsy,
adalah sebuah praktik dagang dimana seorang penjual menyuruh orang lain untuk
memuji barang dagangannya, menawar barang dengan harga yang tinggi calon
pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Najsy dilarang
karena kenaikan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para pembeli.
b.
Larangan Bay’
Ba’adh ‘Ala Ba’adh, Praktik bisnis ini adalah dengan
melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana kedua belah pihak
yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap negosiasi atau baru akan
menyelasaikan penetapan harga. Rasulullah melarang praktik semacam ini karena
hanya akan menimbulkan kenaikan harga yang tidak diinginkan.
c. Larangan Tallaqi Al-Rukban, adalah
dengan cara mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli
barang tersebut sebelum sampai di pasar. Rasulullah melarang praktik semacam
ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga.
d. Larangan Ihtimaz dan Ihtikar, merupakan
praktik penimbunan harta seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan
ihtikar adalah penimbunan barang- barang seperti makanan dan kebutuhan
sehari-hari. Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya sangat dilarang dan
dicela dalam islam.
3. Transaksi
Pada Masa Khulafa Urrasyidin
Pada
masa ini, transaksi dengan penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan
dengan meningkatnya kegiatan perdagangan antara negeri Syam dengan negeri Yaman. Pada masa Umar bin Khattab,
fungsi cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini
mereka menggunkannya untuk mengambil gandum di Baitul maal yang dikirim
dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti Mudharabah,
musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum
muhajirin dan kaum Ansar.
Pada
Masa Rasulullah banyak invidu yang telah melakukan fungsi perbankan meskipun
tidak melaksanakan fungsi seluruhnya, ada sahabat yang melaksanakan fungsi
menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam
uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang
memberikan modal kerja.
Perkembangan
Praktik Transaksi Islam
Pada
masa Rasulullah dan sahabat sebenarnya sudah melaksanakan fungsi perbankan
antara lain menerima simpanan uang, meminjamkan uang atau meberikan pembiayaan
dalam bentu mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah, selain itu juga
memberikan jasa pengiriman atau tranfer uang. Istilah-istilah fiqh di bidang
ini pun muncul dan di duga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern,
seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit yang menjadi bahasa
inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq dalam bahasa arab harfiah berarti
pasar bergeser menjadi alat tukar dan di transfer kedalam bahasa inggris dengan
sedikit perubahan menjadi shek atau cheque dalam bahasa prancis.
Pada zaman itu tidak dikenal istilah bank, akan
tetapi pelaksanaan atau fungsinya telah terlaksana sesuai dengan akad syariah.
Fungsi-fungsi itu di zaman Rasulullah dilaksanakan oleh satu orang saja.
Sedangkan di jaman abasiyah ketiga fungsi tersebut dilaksanakan oleh satu
individu. Perbankan berkembang setelah munculnya berbagai jenis mata uang
dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian maka diperlukan
keahlian khusus bagi mereka yang bergelut dalam bidang pertukaran uang. Maka
mereka yang mempunyai keahlian khusus disebut naqif, sarraf, dan jihbis yang
kemudian akan menjadi cikal bakal praktek pertukaran uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abasiyah mulai populer pada
pemerintahan Khalifah al-Muqtadir. Sementara itu, suq (cek) digunakan secara
luas sebagai media pembayaran. Sejarah perbankan islam mencatat saefudaulah
al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring
antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (spanyol).
Dari perkembangan transaksi tersebut, dalam setiap
transaksi terdapat beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’[4],
antara lain:
1. Setiap
transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’., Pihak-pihak
yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak
boleh saling mengkhianati.
2. Setiap
transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
Jenis-Jenis Transaksi Islam
1. Jual beli
Jual
beli adalah saling menukar harta dengan harta yang lain yang bermanfaat dalam
bentuk pemindahan milik dan kepemilikan atas dasar saling rela sama rela
menurut cara yang dibenarkan. dalam jual beli, terdapat rukun-rukunnya, yaitu
menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun jual beli ini ada empat, antara
lain: penjual dan pembeli, ijab dan qabul, Ma’qud alaih, dan nilai tukar
pengganti barang. Selain itu, juga terdapat macam-macam jual beli, diantaranya[5]:
a. Jual Beli Muqayadhah (Bai’ al-Muqayadah),
yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, yang lazim disebut
denganjual beli barter, seperti menukar baju dengan sepatu.
b. Jual Beli Mutlaq (Bai’ al-Mutlaq),
yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat
pertukarannya seperti dirham, rupiah atau dolar.
c. Jual Beli Alat Penukar dengan Alat Penukar (Bai’
al-Sharf), yaitu menjual belikan alat
pembayaran dengan alat pembayaran lainnya, seperti uang perak dengan uang emas
(dinar, dirham, dolar, atau alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara
umum).
d. Jual Beli Salam (Bai’ al-Salam),
yaitu jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan
terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar bekalangan.
1. Pinjam
meminjam
Dalam
akad pinjam meminjam ini, pihak peminjam yang hanya mengambil manfaat dari
barang yang dipinjam pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian, maka ia
harus mengembalikannya seperti keadaan semula, baik pinjaman itu berupa uang
ataupun barang.[6] Dalam
transaksi ini, terdapat rukun syaratnya, antara lain:
a. Yang
berpiutang dan yang berutang, syaratnya sudah baligh dan berakal sehat. Yang
berpiutang, tidak boleh meminta pembayaran melebihi pokok piutang. Sedangkan
peminjam tidak boleh melebihi atau menunda-nunda pembayaran utangnya.
b. Barang
(uang) yang diutangkan atau dipinjamkan adalah milik sah dari yang meminjamkan.
Pengembalian utang atau pinjaman tidak boleh kurang nilainya, bahkan sunah bagi
yang berutang mengembalikan lebih dari pokok hutangnya.
2. Ijarah
Dalam transaksi ijarah, terdapat rukun dan
syarat sahnya, yaitu:
a. Rukun
ijarah, meliputi:
1)
Orang yang
berakal
2)
Sewa/ imbalan
3)
Manfaat
4)
Sigat atau ijab
Kabul.
b. Syarat
ijarah, meliputi:
1)
Kedua orang yang
bertransaksi sudah balig dan berakal sehat.
2)
Kedua pihak
bertransaksi dengan kerelaan, artinya tidak terpaksa atau dipaksa.
3)
Barang yang akan
disewakan diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4)
Objek ijarah
bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5)
Objek ijarah merupakan
sesuatu yang dihalalkan syara’.
6)
Hal yang
disewakan tidak termkasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7)
Objek ijarah adalah
sesuatu yang bisa disewakan.
8)
Upah/ sewa dalam
transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
Selain itu, transaksi ini
juga bisa berakhir apabila Objek ijarah hilang atau musnah, serta
habisnya tanggang waktu yang disepakati dalam akad/
taransaksi ijarah.
Jenis-Jenis Transaksi Yang Dilarang
Dalam
melakukan transaksi, setiap individu harus memperhatikan hukum syara’ yang
membatasinya, supaya terhindar dari jenis-jenis transaksi yang dilarang. Adapun
jenis-jenis transaksi yang dilarang ialah[7]:
a.
Transaksi yang
bersifat riba
Yang dimaksud dengan transaksi yang bersifat riba
ialah suatu transaksi, baik dalam jual beli maupun hutang piutang terdapat
suatu kelebihan harga atau jumlah hutang pada saat penyerahan suatu barang atau
pengembalian hutang.
b.
Transaksi yang
bersifat maisir
Yang dimaksud dengan transaksi maisir ialah
transaksi yang mengandung unsur perjudian, dimana pihak yang bertransaksi tidak
memiliki informasi sama sekali mengenai peluang hasil dan hasil yang terjadi.
c.
Transaksi yang
bersifat gharar
Transaksi
yang mengandung unsur ketidakjelasan, dimana para pihak yang bertransaksi tidak
memiliki informasi yang jelas mengenai objek transaksinya.
d.
Transaksi yang
bersifat tadlis (talaqi rukban)
Yaitu transaksi yang mengandung unsur penipuan,
dimana salah satu pihak yang bertransaksi mempunyai informasi yang berpotensi
menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain yang tidak mengetahui
informasinya secara sama, misalnya dalam hal kulitas, kuantitas, harga, ataupun
waktu penyerahan atas objek yang ditransaksikan.
e.
Transaksi yang
berobjek haram
Suatu transaksi dikatakan haram apabila terdapat
barang-barang haram dalam objek transaksi, meskipun sebenarnya dalam proses
pembuatannya dilakukan secara halal.
f.
Transaksi yang
bersifat ta’alluq
Terjadi apabila terdapat dua akad yang saling
berkaitan, dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Misalnya:
pemilik A akan membeli mobil dengan harga Rp 50juta kepada pihak B, dengan
syarat B harus membeli montor pihak A seharga Rp 10juta.
g.
Transaksi yang
bersifat bai’ najsy
Transaksi dengan cara berpura-pura menjual suatu
barang dengan harga yang tinggi, supaya pihak lain ikut menawarnya dengan harga
yang jauh lebih tinggi sehingga pihak tersebut tertipu.
h.
Transaksi yang
bersifat bai’ al-ma’dum
Melakukan penjualan atas objek barang
yang tidak ada. Hal ini sangatlah jelas dilarang karena bisa menimbulkan
kezaliman bagi pihak lain dan barang yang dijual tersebut tidak ada.
i.
Transaksi yang
bersifat ikhtikar
Dimana penjual mengabil keuntungan
diatas keuntungan normalnya dengan cara mengurangi penawaran agar produk yang
dijualnya naik.
j.
Transaksi yang
mengadung risywah (suap)
k.
Transaksi yang
bersifat ghabn
Yaitu transaksi yang memanfaatkan
ketidaktauan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga suatu barang
diatas harga pasar.
l.
Transaksi yang
bersifat ikrah (pemaksaan)
m.
Transaksi yang
bersifat al-mudtarr (memanfaatkan orang lain yang sedang dalam keadaan
terdesak)
Faktor-Faktor Dilarangnya Suatu
Transaksi
Penyebab
dilarangnya sebuah transaksi karena disebabkan oleh beberapa faktor-faktor yang
mempengaruhi transaksi tersebut, yaitu:
1. Haram
zatnya
Transaksi dilarang karena obyek (barang atau jasa)
yang ditransaksikan juga dilarang atau haram, misalnya minuman keras, bangkai,
daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi jual beli minuman keras serta yang
disebutkan diatas adalah haram, walaupun akad jual belinya sah.[8]
2. Haram
selain zatnya
Haram
selain zatnya terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
a. Melanggar prinsip ’an taradin minkum,
yaitu melanggar dengan cara penipuan (tadlis) yang berarti dimana keadaan salah
satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui orang lain. Seharusnya
mereka mempunyai informasi yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa
dicurang. Dan dapat terjadi dalam empat hal, yaitu: kualitas, kuantitas, harga,
dan waktu penyerahan.
b. Melanggar prinsip la tuzlimuna wa la tuzlamun,
yaitu jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktek-praktek yang melanggar
prinsip ini diantaranya: gharar, rekayasa pasar dalam supply,
rekayasa pasar dalam demand, riba, dan suap-menyuap.
c. Tidak
sah atau tidak lengkap akadnya, merupakan suatu transaksi yang dapat dikatakan
tidak sah dan atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih)
dari faktor-faktor sebagai berikut: rukun dan syarat, ta’alluq, dan two
in one.
Pendekatan
ekonomi islam
Pendekatan
ekonomi islam dalam mengambil sebuah kebijakan sistem yang telah ada:
a. Pendekatan
menolak (negation)
Maksudnya bahwa tidak
semua paradigma ekonomi konvensional bisa diterima masuk dalam ekonomi islam.
Sebagian paradigma ekonomi konvesional, bahkan mungkin bagian yang paling
fundamental, harus ditolak dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran islam.
b.
Pendekatan
memadukan (integration)
Selain menolak
yang tidak sesuai, islam juga megakui kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem
lain. Ekonomi konvensional yang tidak bertentangan dengan ajaranislam mesti
diterima oleh ekonomi islam. Karena integralisme merupakan salah satu unsur
dari islamisasi
c.
Pendekatan
menambah nilai (value addition)
Ekonomi islam
mampu memberikan nilai tambah yang baru dan memberikan nilai tambah yang baru
dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Pada tataran ini peranan
islamisasi ekonomi adalah dengan memasukkan nilai-nilai khusus islam yang tidak
ada pada ekonomi konvensional[9].
Transaksi Islam di Indonesia
Akuntansi syariah pertama kali di terapkan Perbankan Islam pertama kali muncul
di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran
rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis.
Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama yang dikembangkan adalah
mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing
(pembagian laba / bagi hasil) pada tahun 1963. Kemudian pada tahun ’70-an,
telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut
usaha-usaha perdagangan dan industri
secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang
didapat dengan para penabung[10].
Baru kemudian berdiri Islamic
Development Bank pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam, yang menyediakan jasa finansial berbasis fee
dan profit sharing untuk negara-negara anggotanya dan secara eksplisit
menyatakan diri berdasar pada syariah Islam.
Kemudian setelah itu, secara
berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis Islam antara lain berdiri
Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic
Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank
(1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation
(1983).
Akuntansi pertama kali dikenal di
Indonesia sekitar tahun 1960an, sementara akuntansi konvensional yang
kita pahami dari berbagai literature menyebutkan bahwa akuntansi pertama kali
berkembang di Italia dan dikembangkan oleh Lucas Pacioli (1494). Pemahaman ini
sudah mendarah daging pada masyarakat akuntan kita. Olehnya itu, ketika banyak
ahli yang mengemukakan pendapat bahwa akuntansi sebenarnya telah berkembang
jauh sebelumnya dan di mulai di arab, akan sulit diterima oleh masyrakat
akuntan.
Perkembangan akuntansi syariah
beberapa tahun terakhir sangat meningkat ini di tandai dengan seringnya kita
menemukan seminar, workshop, diskusi dan berbagai pelatihan yang membahas
berbagai kegiatan ekonomi dan akuntansi Islam, mulai dari perbankan, asuransi,
pegadaian, sampai pada bidang pendidikan semua berlabel syariah.
Namun dokumen tertulis yang
menyiratkan dan mencermikan proses perjuangan perkembangan akuntansi syariah
masih sangat terbatas jumlahnya. Demikian pula dengan sejarah perkembangan
akuntansi syariah di Indonesia. Kekurang tertarikan banyak orang terkait
masalah ini, baik sebagai bagian dari kehidupan penelitian maupun sebagai
sebuah ilmu pengetahuan menjadikan sejarah akuntansi syariah masih sangat minim
di temukan. Bank syariah sebagai landasan awal perkembangan akuntansi syariah.
Perkembangan akuntansi syariah di
Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses pendirian Bank Syariah. Pendirian
Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan landasan awal diterapkannya ajaran
Islam menjadi pedoman bermuamalah. Pendirian ini dimulai dengan serangkaian
proses perjuangan sekelompok masyarakat dan para pemikir Islam dalam upaya
mengajak masyarakat Indonesia bermuamalah yang sesuai dengan ajaran agama.
Kelompok ini diprakarsai oleh beberapa orang tokoh Islam, Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada waktu
itu, sekitar tahun 1990-1991.
Setelah didirikannya bank syariah,
terdapat keganjilan ketika bank membuat laporan keuangan. Dimana pada waktu itu
proses akuntansi belumlah mengacu pada akuntansi yang dilandasi syariah Islam.
Maka selanjutnya munculah kebutuhan akan akuntansi syariah Islam. Dan dalam
proses kemunculannya tersebut juga mengalami proses panjang.
Berdirinya bank syariah tentunya
membutuhkan seperangkat aturan yang tidak terpisahkan, antara lain, yaitu
peraturan perbankan, kebutuhan pengawasan, auditing, kebutuhan pemahaman
terhadap produk-produk syariah dan Iain-Iain. Dengan demikian banyak peneliti
yang meyakini bahwa kemunculan kebutuhan, pengembangan teori dan praktik
akuntansi syariah adalah karena berdirinya bank syariah. Pendirian bank syariah
adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ekonomi Islam.
Dengan demikian, berdasarkan data
dokumen, dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan sejarah pemikiran tentang
akuntansi syariah adalah setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah,
setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana
akuntansi syariah, dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada
akuntansi syariah. jadi secara historis, sejak tahun 2002 barulah muncul ide
pemikiran dan keberadaan akuntansi syariah, baik secara pengetahuan umum maupun
secara teknis. Sebagai catatan, IAI baru membentuk Komite Akuntansi Syariah di
Indonesia.
pada tahun 2007, terdapat setidaknya
3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank
Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank umum yang telah memiliki
unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank
Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah
juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang
104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru
tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan
Sedangkan untuk pertumbuhan asetnya,
sistem perbankan Islam telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sebesar 74%
per tahun selama kurun waktu 1998 sampai 2002 (nominal dari Rp. 479 milyar pada
tahun 1998 menjadi 2.718 milyar pada tahun 2001). Dana pihak ketiga telah meningkat
dari Rp. 392 Milyar menjadi 1.806 milyar. (Bank Indonesia, Cetak Biru
Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, 2002: 5). Volume usaha
mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 64,98 % pada periode
2001-2003, bahkan pada tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 80,56 %. Dari sisi
ekspansi untuk pembiayaan meningkat sebesar 101,08 % dengan pertumbuhan dana
yang dihimpun dari pihak ketiga sebesar 85,33%.(
Berdasarkan perhitungan Bank
Indonesia sampai akhir November 2004 rasio antara pembiayaan dan penghimpunan
dana (financing to deposit ratio/FDR) mencapai 104,81 % dan ini merupakan angka
tertinggi bila dibandingkan dengan semua perbankan syariah di negara-negara
lain. Angka LDR (Loan Deposit Ratio) mencapai tingkat yang lebih tinggi
dibanding perbankan konvensional Indonesia yang mencapai rata-rata sebesar 48
%.
Sektor syariah yang sedang
berkembang adalah transaksi investasi syariah dan sektor keuangan
non-bank Transaksi ini terus mengalami peningkatan, diantaranya:
- Obligasi Syariah (Sukuk)
- Pasar Modal Syariah
- Dana Pensiun Syariah
- Pendanaan Proyek Syariah
- Real Estat Syariah
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat
disimpulkan bahwa transaksi Islam sudah ada sejak sebelum datangnya Islam.
Transaksi sudah dilakukan oleh bangsa Arab yang dominan dalam kegiatan
berdagang. Dalam kegiatan dagang, mereka menggunakan alat pembayaran kredit dan
masih menggunakan transaksi ribawi. Kemudian pada saat Islam datang, dalam
kegiatan transaksi yang dilakukan Nabi Muhammad telah disesuaikan berdasarkan
ajaran Islam. Nabi SAW membuat kebijakan dalam kegiatan transaksi, seperti
larangan najsy, larangan bai’ badh ‘ala badh, larangan tallaqi rukban dan
larangan ihtimaz dan ikhtikar.
Dalam perkembangannya, transaksi Islam sudah
melaksanakan fungsi perbankan antara lain menerima simpanan uang, meminjamkan
uang atau meberikan pembiayaan dalam bentu mudharabah, musyarakah, muzara’ah
dan musaqah, selain itu juga memberikan jasa pengiriman atau tranfer uang. Pada
zaman itu tidak dikenal istilah bank, akan tetapi pelaksanaan atau fungsinya
telah terlaksana sesuai dengan akad syariah. Sejarah perbankan islam mencatat
saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk
keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (spanyol).
Adapun jenis-jenis transaksi Islam meliputi jual
beli, simpan meminjam, dan ijarah. Selain itu, juga terdapat jenis-jenis
transaksi Islam yang dilarang, seperti transaksi yang bersifat riba, maisir,
gharar, tadlis, berobjek haram, ta’alluq, najsy, bai’ al-ma’dum, ikhtikar,
suap, ghabn, pemaksaan, dan al-mudtarr. Faktor-faktor yang mempengaruhi
dilarangnya suatu transaksi, meliputi haram zatnya dan haram selain zatnya.
Daftar Pustaka
An-Nadwi, Abdul Hasan ‘Ali al-Hasan.
2005. Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, Penerj. Muhammad Halabi Hamdi,
dkk., Cet.I. Yogyakarta: Mardhiyah Press.
Asmawi. 2009. Filsafat Hukum Islam.
Yogyakarta: Teras.
Praja, Juhaya S. 2012. Ekonomi
Syari’ah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Adiwarman A.. Bank Islam:
Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Syafei, Rahmat. Fiqh Muamalah.
https://www.academia.edu/9122047/Transaksi_yang_dilarang_Islam,
diakses pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 18.29 WIB.
https://anekajuice.wordpress.com20121213transaksi-ekonomi-dalam-islam,
diakses pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 16.37 WIB.
[1]
Diakses http://www.ilmuekonomi.net/2015/10/pengertian-dan-ciri-ciri-sistem-ekonomi-islam..html
[2] Abdul Hasan ‘Ali
al-Hasan An-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, Penerj. Muhammad
Halabi Hamdi, dkk., Cet.I, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2005), hlm.
28.
[3] Juhaya S. Praja,
Ekonomi Syari’ah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 41.
[4]
https://anekajuice.wordpress.com20121213transaksi-ekonomi-dalam-islam, diakses
pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 16.37 WIB.
[5] Rahmat Syafei, Fiqh
Muamalah, hlm. 101.
[6] Asmawi, Filsafat
Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 97.
[7] https://www.academia.edu/9122047/Transaksi_yang_dilarang_Islam, diakses pada
tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 18.29 WIB.
[8] Adiwarman A.
Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada,...), hlm. 30.
[9]
Diakses http://www.ilmuekonomi.net/2015/10/pengertian-dan-ciri-ciri-sistem-ekonomi-islam..html
[10]
Diakses http://blogjunitacinkenshi.blogspot.co.id/2013/06/akuntansi-syariah-dan-perkembangan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar