Sabtu, 18 Maret 2017

FILOSOFI SISTEM TRANSAKSI ISLAM DI INDONESIA



FILOSOFI SISTEM TRANSAKSI ISLAM DI INDONESIA
Oleh,
Hesti Handayani
1711143028
Hukum Ekonomi Syariah 4B

Abstrak
Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Nabi Muhammad SAW dipilih sebagai seorang  Rasul (utusan Allah). Rasulullah  mengeluarkan sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan, selain masalah hukum (fiqh), politik (siyasah), juga masalah perniagaan atau ekonomi (muamalah). Masalah-masalah ekonomi umat menjadi perhatian Rasulullah yang harus diperhatikan. Sebagaimana Rasulullah bersabda “kemiskinan membawa orang kepada kekafiran”
Maka upaya mengentaskan kemiskinan merupakan dari kebijakan sosial yang dikeluarkan Rasulullah. Selanjutnya kebijakan tersebut menjadi pedoman para penggantinya yaitu Khaulafaurasyiddin dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Quran dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga oleh para pengikutnya dalam menata perekonomian negara, salah satunya dalam kegiatan transaksi. Kegiatan transaksi sudah ada sejak masa Nabi SAW dan Khulafa urrasyidin.

Kata Kunci : Sejarah; Transaksi; Islam; Indonesia
Pengertian Transaksi Islam
Sistem ekonomi islam adalah sistem ekonomi yang dijalankan berdasarkan syariat islam atau aturan-aturan Allah. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir pada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat islam.
Dalam segala kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia harus sesuai dengan ketentuan Allah baik dalam hal jual beli, simpan pinjam, investasi[1].
Dalam islam konsep kepemilikan harta adalah harta sepenuhnya adalah milik Allah sementara manusia sebagai khalifah atas harta tersebut. Selain itu juga islam sangat melarang manusia melakukan tindakan Maisyir, Gharar, Haram, Dzalim, ikhtikar, Riba.

Sejarah Transaksi Islam
1.    Transaksi Arab Pra Islam
Kegiatan transaksi sebenarnya sudah ada di Arab sebelum Islam datang. Bangsa arab yang dalam kegiatan kesehariannya berdagang, sangat piawai dalam melakukan akad musyarakah dan mudharabah. Selain itu, bangsa Arab juga dominan dalam kegiatan berdagang. Dalam kegiatan dagang, mereka menggunakan alat pembayaran kredit dan masih menggunakan transaksi ribawi. Terdapat beberapa model transaksi ribawi yang dilakukan oleh bangsa Arab, yaitu:
a.    Seseorang menjual sesuatu barang kepada orang lain dengan membuat kesepakatan bahwa pembayarannya dilakukan pada tanggal yang telah disepakati. Tetapi, ketika sudah jatuh tempo dan orang tersebut belum bisa membayarnya, maka pembeli saat membayarnya nanti harus membayar dengan jumlah yang lebih besar daripada harga awal.
b.    Seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan syarat ketika sudah jatuh tempo pembayaran, maka peminjam harus membayar pokok modal bersama dengan suatu jumlah tetap tambahan (bunga).[2]
c.    Antara peminjam dengan pemberi pinjaman melakukan kesepakatan terhadap suatu tingkat riba selama jangka waktu tertentu.

2.    Transaksi Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Ketika Nabi Muhammad SAW belum menjadi Nabi, beliau berprofesi sebagai pedagang. Dalam kegiatan berdagang, Muhammad SAW melakukan transaksi-transaksi perdagangan secara jujur, adil, dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh dan kecewa. Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangannya dengan standart dan kualitas sesuai dengan permintaan pelanggan. Beliau selalu memperhatikan rasa tanggungjawab terhadap setiap transaksi yang dilakukan.
Ketika Muhammad SAW diangkat menjadi Nabi, beliau hijrah ke Madinah dan diangkat sebagai kepala negara kota Madinah. Ketika menjadi kepala negara, beliau menggunakan prinsip jujur, adil, dan saling menguntungkan dua belah pihak dalam melakukan transaksi. beliau merupakan pemikir dan aktivis pertama ekonomi Syari’ah.[3]
Selain itu ada beberapa larangan yang diberlakukan Rasulullah untuk menjaga seseorang agar dapat berbuat adil dan jujur, antara lain:
a.    Larangan Najsy, adalah sebuah praktik dagang dimana seorang penjual menyuruh orang lain untuk memuji barang dagangannya, menawar barang dengan harga yang tinggi calon pembeli yang lain tertarik untuk membeli barang dagangannya. Najsy dilarang karena kenaikan harga barang-barang yang dibutuhkan oleh para pembeli.
b.    Larangan Bay’ Ba’adh ‘Ala Ba’adh, Praktik bisnis ini adalah dengan melakukan lompatan atau penurunan harga oleh seorang dimana kedua belah pihak yang terlibat tawar menawar masih dalam tahap negosiasi atau baru akan menyelasaikan penetapan harga. Rasulullah melarang praktik semacam ini karena hanya akan menimbulkan kenaikan harga yang tidak diinginkan.
c.    Larangan Tallaqi Al-Rukban, adalah dengan cara mencegat orang-orang yang membawa barang dari desa dan membeli barang tersebut sebelum sampai di pasar. Rasulullah melarang praktik semacam ini dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kenaikan harga.
d.   Larangan Ihtimaz dan Ihtikar, merupakan praktik penimbunan harta seperti emas, perak dan lain sebagainya. Sedangkan ihtikar adalah penimbunan barang- barang seperti makanan dan kebutuhan sehari-hari. Penimbunan barang dan pencegahan peredarannya sangat dilarang dan dicela dalam islam.

3.    Transaksi Pada Masa Khulafa Urrasyidin
              Pada masa ini, transaksi dengan penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya kegiatan perdagangan antara negeri Syam dengan  negeri Yaman. Pada masa Umar bin Khattab, fungsi cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini mereka menggunkannya untuk mengambil gandum di Baitul maal yang dikirim dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti Mudharabah, musyarakah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum muhajirin dan kaum Ansar. 
              Pada Masa Rasulullah banyak invidu yang telah melakukan fungsi perbankan meskipun tidak melaksanakan fungsi seluruhnya, ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan  modal kerja.

Perkembangan Praktik Transaksi Islam
            Pada masa Rasulullah dan sahabat sebenarnya sudah melaksanakan fungsi perbankan antara lain menerima simpanan uang, meminjamkan uang atau meberikan pembiayaan dalam bentu mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah, selain itu juga memberikan jasa pengiriman atau tranfer uang. Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan di duga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit yang menjadi bahasa inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq dalam bahasa arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan di transfer kedalam bahasa inggris dengan sedikit perubahan menjadi shek atau cheque dalam bahasa prancis.
Pada zaman itu tidak dikenal istilah bank, akan tetapi pelaksanaan atau fungsinya telah terlaksana sesuai dengan akad syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rasulullah dilaksanakan oleh satu orang saja. Sedangkan di jaman abasiyah ketiga fungsi tersebut dilaksanakan oleh satu individu. Perbankan berkembang setelah munculnya berbagai jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian maka diperlukan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut dalam bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus disebut naqif, sarraf, dan jihbis yang kemudian akan menjadi cikal bakal praktek pertukaran uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir. Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah perbankan islam mencatat saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (spanyol).
Dari perkembangan transaksi tersebut, dalam setiap transaksi terdapat beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’[4], antara lain:
1.    Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’., Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati.
2.    Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.

Jenis-Jenis Transaksi Islam
1.    Jual beli
       Jual beli adalah saling menukar harta dengan harta yang lain yang bermanfaat dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan atas dasar saling rela sama rela menurut cara yang dibenarkan. dalam jual beli, terdapat rukun-rukunnya, yaitu menurut jumhur ulama berpendapat bahwa rukun jual beli ini ada empat, antara lain: penjual dan pembeli, ijab dan qabul, Ma’qud alaih, dan nilai tukar pengganti barang. Selain itu, juga terdapat macam-macam jual beli, diantaranya[5]:
a.    Jual Beli Muqayadhah (Bai’ al-Muqayadah), yaitu jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, yang lazim disebut denganjual beli barter, seperti menukar baju dengan sepatu.
b.    Jual Beli Mutlaq (Bai’ al-Mutlaq), yaitu jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukarannya seperti dirham, rupiah atau dolar.
c.    Jual Beli Alat Penukar dengan Alat Penukar (Bai’ al-Sharf), yaitu menjual belikan alat pembayaran dengan alat pembayaran lainnya, seperti uang perak dengan uang emas (dinar, dirham, dolar, atau alat-alat pembayaran lainnya yang berlaku secara umum).
d.   Jual Beli Salam (Bai’ al-Salam), yaitu jual beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar bekalangan.
1.    Pinjam meminjam
          Dalam akad pinjam meminjam ini, pihak peminjam yang hanya mengambil manfaat dari barang yang dipinjam pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian, maka ia harus mengembalikannya seperti keadaan semula, baik pinjaman itu berupa uang ataupun barang.[6] Dalam transaksi ini, terdapat rukun syaratnya, antara lain:
a.    Yang berpiutang dan yang berutang, syaratnya sudah baligh dan berakal sehat. Yang berpiutang, tidak boleh meminta pembayaran melebihi pokok piutang. Sedangkan peminjam tidak boleh melebihi atau menunda-nunda pembayaran utangnya.
b.    Barang (uang) yang diutangkan atau dipinjamkan adalah milik sah dari yang meminjamkan. Pengembalian utang atau pinjaman tidak boleh kurang nilainya, bahkan sunah bagi yang berutang mengembalikan lebih dari pokok hutangnya.
2.    Ijarah
Dalam transaksi ijarah, terdapat rukun dan syarat sahnya, yaitu:
a.    Rukun ijarah, meliputi:
1)      Orang yang berakal
2)      Sewa/ imbalan
3)      Manfaat
4)      Sigat atau ijab Kabul.
b.    Syarat ijarah, meliputi:
1)      Kedua orang yang bertransaksi sudah balig dan  berakal sehat.
2)      Kedua pihak bertransaksi dengan kerelaan, artinya tidak terpaksa atau dipaksa.
3)      Barang yang akan disewakan diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4)      Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5)      Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6)      Hal yang disewakan tidak termkasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7)      Objek ijarah adalah sesuatu yang bisa disewakan.
8)      Upah/ sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
Selain itu, transaksi ini juga bisa berakhir apabila Objek ijarah hilang atau musnah, serta habisnya tanggang waktu yang disepakati dalam akad/ taransaksi ijarah.

Jenis-Jenis Transaksi Yang Dilarang
              Dalam melakukan transaksi, setiap individu harus memperhatikan hukum syara’ yang membatasinya, supaya terhindar dari jenis-jenis transaksi yang dilarang. Adapun jenis-jenis transaksi yang dilarang ialah[7]:
a.      Transaksi yang bersifat riba
Yang dimaksud dengan transaksi yang bersifat riba ialah suatu transaksi, baik dalam jual beli maupun hutang piutang terdapat suatu kelebihan harga atau jumlah hutang pada saat penyerahan suatu barang atau pengembalian hutang.
b.      Transaksi yang bersifat maisir
Yang dimaksud dengan transaksi maisir ialah transaksi yang mengandung unsur perjudian, dimana pihak yang bertransaksi tidak memiliki informasi sama sekali mengenai peluang hasil dan hasil yang terjadi.
c.      Transaksi yang bersifat gharar
 Transaksi yang mengandung unsur ketidakjelasan, dimana para pihak yang bertransaksi tidak memiliki informasi yang jelas mengenai objek transaksinya.
d.     Transaksi yang bersifat tadlis (talaqi rukban)
Yaitu transaksi yang mengandung unsur penipuan, dimana salah satu pihak yang bertransaksi mempunyai informasi yang berpotensi menguntungkan pihaknya dan merugikan pihak lain yang tidak mengetahui informasinya secara sama, misalnya dalam hal kulitas, kuantitas, harga, ataupun waktu penyerahan atas objek yang ditransaksikan.
e.      Transaksi yang berobjek haram
Suatu transaksi dikatakan haram apabila terdapat barang-barang haram dalam objek transaksi, meskipun sebenarnya dalam proses pembuatannya dilakukan secara halal.
f.       Transaksi yang bersifat ta’alluq
Terjadi apabila terdapat dua akad yang saling berkaitan, dimana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua. Misalnya: pemilik A akan membeli mobil dengan harga Rp 50juta kepada pihak B, dengan syarat B harus membeli montor pihak A seharga Rp 10juta.
g.      Transaksi yang bersifat bai’ najsy
Transaksi dengan cara berpura-pura menjual suatu barang dengan harga yang tinggi, supaya pihak lain ikut menawarnya dengan harga yang jauh lebih tinggi sehingga pihak tersebut tertipu.
h.      Transaksi yang bersifat bai’ al-ma’dum
Melakukan penjualan atas objek barang yang tidak ada. Hal ini sangatlah jelas dilarang karena bisa menimbulkan kezaliman bagi pihak lain dan barang yang dijual tersebut tidak ada.
i.        Transaksi yang bersifat ikhtikar
Dimana penjual mengabil keuntungan diatas keuntungan normalnya dengan cara mengurangi penawaran agar produk yang dijualnya naik.
j.        Transaksi yang mengadung risywah (suap)
k.      Transaksi yang bersifat ghabn
Yaitu transaksi yang memanfaatkan ketidaktauan pembeli akan harga pasar dengan menaikkan harga suatu barang diatas harga pasar.
l.        Transaksi yang bersifat ikrah (pemaksaan)
m.    Transaksi yang bersifat al-mudtarr (memanfaatkan orang lain yang sedang dalam keadaan terdesak)

Faktor-Faktor Dilarangnya Suatu Transaksi
          Penyebab dilarangnya sebuah transaksi karena disebabkan oleh beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi transaksi tersebut, yaitu:
1.    Haram zatnya
Transaksi dilarang karena obyek (barang atau jasa) yang ditransaksikan juga dilarang atau haram, misalnya minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya. Jadi, transaksi jual beli minuman keras serta yang disebutkan diatas adalah haram, walaupun akad jual belinya sah.[8]

2.    Haram selain zatnya
Haram selain zatnya terbagi menjadi dua bentuk yaitu:
a.    Melanggar prinsip ’an taradin minkum, yaitu melanggar dengan cara penipuan (tadlis) yang berarti dimana keadaan salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui orang lain. Seharusnya mereka mempunyai informasi yang sama sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurang. Dan dapat terjadi dalam empat hal, yaitu: kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan.
b.    Melanggar prinsip la tuzlimuna wa la tuzlamun, yaitu jangan menzalimi dan jangan dizalimi. Praktek-praktek yang melanggar prinsip ini diantaranya: gharar, rekayasa pasar dalam supply, rekayasa pasar dalam demand, riba, dan suap-menyuap.
c.    Tidak sah atau tidak lengkap akadnya, merupakan suatu transaksi yang dapat dikatakan tidak sah dan atau tidak lengkap akadnya, bila terjadi salah satu (atau lebih) dari faktor-faktor sebagai berikut: rukun dan syarat, ta’alluq, dan two in one.
Pendekatan ekonomi islam
Pendekatan ekonomi islam dalam mengambil sebuah kebijakan sistem yang telah ada:
a.    Pendekatan menolak (negation)
       Maksudnya bahwa tidak semua paradigma ekonomi konvensional bisa diterima masuk dalam ekonomi islam. Sebagian paradigma ekonomi konvesional, bahkan mungkin bagian yang paling fundamental, harus ditolak dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran islam.
b.    Pendekatan memadukan (integration)
Selain menolak yang tidak sesuai, islam juga megakui kebaikan-kebaikan yang ada pada sistem lain. Ekonomi konvensional yang tidak bertentangan dengan ajaranislam mesti diterima oleh ekonomi islam. Karena integralisme merupakan salah satu unsur dari islamisasi
c.    Pendekatan menambah nilai (value addition)
Ekonomi islam mampu memberikan nilai tambah yang baru dan memberikan nilai tambah yang baru dan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Pada tataran ini peranan islamisasi ekonomi adalah dengan memasukkan nilai-nilai khusus islam yang tidak ada pada ekonomi konvensional[9].
Transaksi Islam di Indonesia
Akuntansi syariah pertama kali di terapkan Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba / bagi hasil) pada tahun 1963. Kemudian pada tahun ’70-an, telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut
usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung[10].
Baru kemudian berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam.
Kemudian setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation (1983).
Akuntansi pertama kali dikenal di Indonesia sekitar tahun 1960an, sementara akuntansi  konvensional yang kita pahami dari berbagai literature menyebutkan bahwa akuntansi pertama kali berkembang di Italia dan dikembangkan oleh Lucas Pacioli (1494). Pemahaman ini sudah mendarah daging pada masyarakat akuntan kita. Olehnya itu, ketika banyak ahli yang mengemukakan pendapat bahwa akuntansi sebenarnya telah berkembang jauh sebelumnya dan di mulai di arab, akan sulit diterima oleh masyrakat akuntan.
Perkembangan akuntansi syariah beberapa tahun terakhir sangat meningkat ini di tandai dengan seringnya kita menemukan seminar, workshop, diskusi dan berbagai pelatihan yang membahas berbagai kegiatan ekonomi dan akuntansi Islam, mulai dari perbankan, asuransi, pegadaian, sampai pada bidang pendidikan semua berlabel syariah.
Namun dokumen tertulis yang menyiratkan dan mencermikan proses perjuangan perkembangan akuntansi syariah masih sangat terbatas jumlahnya. Demikian pula dengan sejarah perkembangan akuntansi syariah di Indonesia. Kekurang tertarikan banyak orang terkait masalah ini, baik sebagai bagian dari kehidupan penelitian maupun sebagai sebuah ilmu pengetahuan menjadikan sejarah akuntansi syariah masih sangat minim di temukan. Bank syariah sebagai landasan awal perkembangan akuntansi syariah.
Perkembangan akuntansi syariah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari proses pendirian Bank Syariah. Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) merupakan landasan awal diterapkannya ajaran Islam menjadi pedoman bermuamalah. Pendirian ini dimulai dengan serangkaian proses perjuangan sekelompok masyarakat dan para pemikir Islam dalam upaya mengajak masyarakat Indonesia bermuamalah yang sesuai dengan ajaran agama. Kelompok ini diprakarsai oleh beberapa orang tokoh Islam, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada waktu itu, sekitar tahun 1990-1991.
Setelah didirikannya bank syariah, terdapat keganjilan ketika bank membuat laporan keuangan. Dimana pada waktu itu proses akuntansi belumlah mengacu pada akuntansi yang dilandasi syariah Islam. Maka selanjutnya munculah kebutuhan akan akuntansi syariah Islam. Dan dalam proses kemunculannya tersebut juga mengalami proses panjang.
Berdirinya bank syariah tentunya membutuhkan seperangkat aturan yang tidak terpisahkan, antara lain, yaitu peraturan perbankan, kebutuhan pengawasan, auditing, kebutuhan pemahaman terhadap produk-produk syariah dan Iain-Iain. Dengan demikian banyak peneliti yang meyakini bahwa kemunculan kebutuhan, pengembangan teori dan praktik akuntansi syariah adalah karena berdirinya bank syariah. Pendirian bank syariah adalah merupakan salah satu bentuk implementasi ekonomi Islam.
Dengan demikian, berdasarkan data dokumen, dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan sejarah pemikiran tentang akuntansi syariah adalah setelah adanya standar akuntansi perbankan syariah, setelah terbentuknya pemahaman yang lebih konkrit tentang apa dan bagaimana akuntansi syariah, dan terbentuknya lembaga-lembaga yang berkonsentrasi pada akuntansi syariah. jadi secara historis, sejak tahun 2002 barulah muncul ide pemikiran dan keberadaan akuntansi syariah, baik secara pengetahuan umum maupun secara teknis. Sebagai catatan, IAI baru membentuk Komite Akuntansi Syariah di Indonesia.
pada tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan
Sedangkan untuk pertumbuhan asetnya, sistem perbankan Islam telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat sebesar 74% per tahun selama kurun waktu 1998 sampai 2002 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi 2.718 milyar pada tahun 2001). Dana pihak ketiga telah meningkat dari Rp. 392 Milyar menjadi 1.806 milyar. (Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia, 2002: 5). Volume usaha mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun sebesar 64,98 % pada periode 2001-2003, bahkan pada tahun 2004 pertumbuhannya mencapai 80,56 %. Dari sisi ekspansi untuk pembiayaan meningkat sebesar 101,08 % dengan pertumbuhan dana yang dihimpun dari pihak ketiga sebesar 85,33%.(
Berdasarkan perhitungan Bank Indonesia sampai akhir November 2004 rasio antara pembiayaan dan penghimpunan dana (financing to deposit ratio/FDR) mencapai 104,81 % dan ini merupakan angka tertinggi bila dibandingkan dengan semua perbankan syariah di negara-negara lain. Angka LDR (Loan Deposit Ratio) mencapai tingkat yang lebih tinggi dibanding perbankan konvensional Indonesia yang mencapai rata-rata sebesar 48 %.
Sektor syariah yang sedang berkembang adalah transaksi investasi syariah dan sektor keuangan non-bank  Transaksi ini terus mengalami peningkatan, diantaranya:
  1. Obligasi Syariah (Sukuk)
  2. Pasar Modal Syariah
  3. Dana Pensiun Syariah
  4. Pendanaan Proyek Syariah
  5. Real Estat Syariah
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa transaksi Islam sudah ada sejak sebelum datangnya Islam. Transaksi sudah dilakukan oleh bangsa Arab yang dominan dalam kegiatan berdagang. Dalam kegiatan dagang, mereka menggunakan alat pembayaran kredit dan masih menggunakan transaksi ribawi. Kemudian pada saat Islam datang, dalam kegiatan transaksi yang dilakukan Nabi Muhammad telah disesuaikan berdasarkan ajaran Islam. Nabi SAW membuat kebijakan dalam kegiatan transaksi, seperti larangan najsy, larangan bai’ badh ‘ala badh, larangan tallaqi rukban dan larangan ihtimaz dan ikhtikar.
Dalam perkembangannya, transaksi Islam sudah melaksanakan fungsi perbankan antara lain menerima simpanan uang, meminjamkan uang atau meberikan pembiayaan dalam bentu mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah, selain itu juga memberikan jasa pengiriman atau tranfer uang. Pada zaman itu tidak dikenal istilah bank, akan tetapi pelaksanaan atau fungsinya telah terlaksana sesuai dengan akad syariah. Sejarah perbankan islam mencatat saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (spanyol).
Adapun jenis-jenis transaksi Islam meliputi jual beli, simpan meminjam, dan ijarah. Selain itu, juga terdapat jenis-jenis transaksi Islam yang dilarang, seperti transaksi yang bersifat riba, maisir, gharar, tadlis, berobjek haram, ta’alluq, najsy, bai’ al-ma’dum, ikhtikar, suap, ghabn, pemaksaan, dan al-mudtarr. Faktor-faktor yang mempengaruhi dilarangnya suatu transaksi, meliputi haram zatnya dan haram selain zatnya.
Daftar Pustaka
An-Nadwi, Abdul Hasan ‘Ali al-Hasan. 2005. Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, Penerj. Muhammad Halabi Hamdi, dkk., Cet.I. Yogyakarta: Mardhiyah Press.
Asmawi. 2009. Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Teras.
Praja, Juhaya S. 2012. Ekonomi Syari’ah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Adiwarman A.. Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Syafei, Rahmat. Fiqh Muamalah.
https://www.academia.edu/9122047/Transaksi_yang_dilarang_Islam, diakses pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 18.29 WIB.
https://anekajuice.wordpress.com20121213transaksi-ekonomi-dalam-islam, diakses pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 16.37 WIB.


[1] Diakses http://www.ilmuekonomi.net/2015/10/pengertian-dan-ciri-ciri-sistem-ekonomi-islam..html
[2] Abdul Hasan ‘Ali al-Hasan An-Nadwi, Sejarah Lengkap Nabi Muhammad SAW, Penerj. Muhammad Halabi Hamdi, dkk., Cet.I, (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2005), hlm. 28.
[3] Juhaya S. Praja, Ekonomi Syari’ah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 41.
[4] https://anekajuice.wordpress.com20121213transaksi-ekonomi-dalam-islam, diakses pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 16.37 WIB.
[5] Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, hlm. 101.
[6] Asmawi, Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 97.
[7] https://www.academia.edu/9122047/Transaksi_yang_dilarang_Islam, diakses pada tanggal 4 Maret 2016 Pkl. 18.29 WIB.
[8] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,...), hlm. 30.
[9] Diakses http://www.ilmuekonomi.net/2015/10/pengertian-dan-ciri-ciri-sistem-ekonomi-islam..html
[10] Diakses http://blogjunitacinkenshi.blogspot.co.id/2013/06/akuntansi-syariah-dan-perkembangan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar